Kini, A sedang berada di atas ranjangnya sedang beristirahat selesai makan malam tadi. Makanan aneh itu cukup enak juga. Untung saja tidak ada semur jamur atau sup jamur yang membuatnya alergi nanti.
A terus memikirkan tentang balas dendamnya. Ia harus menuntaskan rencana itu. Dendamnya akan terpenuhi secara perlahan.
Pukul 7 malam, A membuka matanya. Lalu melirik ke samping melihat ranjang Jie. Ranjang itu kosong, tak ada gadis bodoh itu.
"Kemana dia?" tanya A.
A pun mengubah posisi tidurnya menjadi duduk. Ia melihat sekelilingnya. Ternyata hanya dia yang berada di dalam ruangan ini. Tak ada seorang pun di dalam ini.
Dengan susah payah A meneguk salivanya. Bulu kuduknya kembali menegang. Seketika A langsung kocar-kacir keluar dari ruangan itu yang terlihat horor seketika.
"Jie, kemana? Gadis bodoh itu pasti sedang melakukan hal gila," celetuknya.
Dengan sedikit keberanian, A mencari gadis itu hingga ia tak sengaja mendengar suara orang yang tertawa. Dan suara itu berasal dari ruang tamu panti jompo ini. Ruangan itu terlihat ramai.
A geleng-geleng kepala sembari memasuki ruangan itu. Betapa terbelalaknya dia kala melihat murid-murid itu sedang bercanda ria dengan para lansia-lansia itu.
Ruang tamu itu terlihat sedikit bersih bukan seperti tadi. Karena murid-murid itu sempat membantu para pengurus panti itu untuk bersih-bersih. Jujur, A tadi ikut dalam hal sukarelawan pertama itu.
Seketika, perhatian mereka tertuju kepada A yang berdiri di ambang pintu.
"Kek, itu ketua kami. Tampan bukan?" ucap Jie yang juga berada di sana.
"Hei, Nak. Ayo ke sini," panggil seorang kakek.
"Iya, A. Ayo kemari," timpal Gilang sang kakak.
Dengan perlahan A berjalan menghampiri kumpulan remaja dan lansia itu, dan duduk di samping kakaknya Gilang.
"Tahu? Kakek dulu setampan dia," ungkap sang kakek ditanggapi tawa oleh yang lain, kecuali A yang diam saja.
"Yang benar saja, Kek," timpal Jie.
"A itu adalah kekasihku, pasti dia tamp...." Ucapan Jie terpotong kala A tiba-tiba berdiri dan menarik tangan Jie untuk mengikutinya.
"Sebentar, anaknya gue pinjam dulu!" seru A. Semua mata menatap kepergian A dan Jie dengan tatapan sedikit tak suka, terlebih kaum hawa.
Sekarang, A dan Jie sudah berada di dalam kamar dengan pintu yang terkunci. Jelaslah karena A adalah pemimpin maka, kunci kamar diserahkan kepadanya.
"Kenapa?" tanya Jie.
"Lo masih ingat rencana gue?" tanya A.
"Masih, emang kenapa?"
A menghela nafas. "Konek lu buruk banget. Gini, besok kita akan pergi dari sini jam 6 pagi dengan diam-diam. Jangan sampai ada yang tahu."
"Lah kenapa? Gue gak mau! Gue takut," tukas Jie.
"Tapi, gue masih bingung, siapa Avar?" lanjut Jie bertanya.
"Avar? Dia adalah teman gue. Udah deh jangan banyak tanya. Ikutin aja. Lagipula, gue pilih tempat ini, karena Avar ada di daerah ini," jelas A.
"Hmmm, baiklah kekasihku," sinis Jie sembari menatap A dengan malas.
Jie kembali keluar dari kamar itu bersama A dan kembali berkumpul di ruang tamu bersama lansia. Sepertinya, A harus terbiasa dengan ini semua.
Lama muda-mudi itu berbicara dengan para lansia, mereka pun akhirnya memutuskan untuk tidur. Karena besok mereka harus bangun lebih pagi, terutama kaum hawa yang akan membantu pengurus panti untuk membuat sarapan pagi. Sementara laki-laki, mereka akan memperbaiki keramik kamar mandi dan genting panti yang bocor.
Semua sudah berada di ranjang masing-masing, mata mulai tertutup. Namun, berbeda dengan dua insan yang masih terjaga ini.
"A, ini apa? Kok bentuknya aneh bener?" tanya Jie dengan dahi yang sudah mengerut melihat benda persegi empat dari dalam tas A.
"Hei! Lo apa-apaan sih? jangan sentuh! Kembalikan pada tempatnya!" tukas A sembari menata kasurnya, karena merasa kasur ini terlalu keras untuk ia tidur.
"idih, cuman pengen liat doang kok." Jie mengembalikkan benda itu ke dalam tas A dengan bibir yang manyun ke depan.
Tak berhenti disitu, Jie malah menelusuri isi tas A kembali, meski sudah diperingati oleh A untuk tidak menyentuh barang-barangnya, tapi gadis ini malah ngeyel gak bisa dibilangin.
"Ini apa A, air biru dalam bot...."
"Jangan sentuh! Udah gue bilang jangan sentuh barang-barang gue, ehk nih anak masih ngeyel. Tuh telinga perlu disensor deh," cetus A dan langsung mengambil botol yang merupakan obat kumurnya itu dari tangan Jie.
"Sensian banget lo. Apa-apa jangan sentuh. Jiwa lo tuh yang perlu disensor." Jie ngambek.
A menatap wajah Jie yang cemberut sambil memerah itu. "Ngambekkan, udah deh mendingan lo tidur gih," titah A.
"Gak mau!" tegas Jie.
"Yaudah terserah lo. Gue mau gosok gigi dulu."
"Eh, gue ikut!" Jie tersenyum sumringah sembari mengekori A yang sudah keluar dari kamar.
A terus berceloteh sepanjang perjalanan ke kamar mandi membuat Jie mengorek telinganya karena berisik.
Terlebih A yang terus memegang tangannya karena takut pada kegelapan.
"Lo cowok ngapain takut?"
"Bukan takut, cuman ngeri doang. Kamar mandi pake jauh banget lagi," A mengedarkan sedikit pandangannya. Ia melihat ruangan yang di atasnya bertuliskan 'toilet.'
"Lo temanin gue masuk, ya?" pinta A saat ia dan Jie sudah berada di depan toilet.
"Gak akh! Gue, 'kan cewek." Tolak Jie.
"Ayo dong, please. Lo, 'kan pacar gue."
"Iya deh. Dasar penakut!"
A tersenyum jahil saat Jie mengikuti permintaannya. Otaknya kembali melancarkan sebuah ide yang pasti akan 'boom' malam ini.
"Lo masuk duluan aja," ujar A sembari tersenyum jahil.
Dengan cepat A mendorong gadis itu ke dalam kamar mandi lalu mengunci pintu dari luar.
"Hey! A! Buka gak pintunya!" teriak Jie dari dalam kamar mandi. Sedangkan A, lelaki itu sudah tersenyum smirk bagai iblis. Rencananya malam ini akan berhasil juga.
A berjalan dengan mengendap-endap ke dalam kamar untuk mengambil sesuatu. Apalagi kalo bukan handohonenya.
Dengan tergesa-gesa A kembali keluar dari kamar tidur, lalu berniat untuk keliar dari panti ini. Sembari melihat jamnya yang sudah menunjukkan pukul 11 malam, dengan kecerdasannya A mampu keluar dari panti jompo ini.
Sedang di sisi lain, Jie yang terus berteriak memanggil seseorang untuk membukakan pintu berhenti sejenak. Jie memegang pelipisnya.
"A kenapa kunci gue di dalam sini? Apa ... ia akan menjalankan rencananya malam ini tanpa gue?"
Jie meremas tangannya dengan emosi yang sangat tinggi. Ia harus keluar dari tempat ini mau bagaimanapun caranya. Ia tidak boleh membiarkan lelaki itu pergi sendiri tanpanya.