"Mom, hari ini aku sangat bahagia," ucap Brayn.
"Mommy juga turut bahagia untukmu, sayang." Anna mengganti pakaian Brayn dengan pyama, anak itu bersiap untuk tidur.
"Aku senang, Papa menggendongku. Tubuh Papa kuat dan keras, pasti Papa rajin olahraga ya Mom?" Anna hanya mengangguk menimpali ucapan putranya.
"Bisakah lain hari kita olahraga bersama?"
"Tentu," jawab Anna.
"Aku sangat berterima kasih pada Tuhan, Dia memberiku orangtua yang luar biasa." Senyum manisnya menghiasi wajah tampan berkulit putih itu.
"Dan kami juga berterima ksih pada Tuhan, karena telah di karuniai anak setampan dan secerdas kamu, sayang." Anna membawa Brayn kedalam pelukannya.
"Jangan pernah tinggalkan aku ya Mom." Brayn memeluk erat tubuh Anna.
"Tidak akan pernah," jawab Anna.
"Aku dan Papa membutuhkan Mommy," ucapnya lagi. Anna semakin mengeratkan pelukannya, anak ini sangat berharap kehadiran figur orangtua lengkap dalam hidupnya.
"Sekarang tidurlah, besok akan ada hari yang lebih baik siap menyambut kita," ucap Anna. Ia membaringkan tubuh Brayn, lalu memandu Brayn untuk membaca do'a sebelum tidur.
"Mom, aku sangat menyayangi dan mencintaimu, aku berharap Tuhan akan selalu menjagamu untukku dan Papa. Good night and i love you my beautiful mother." Setelah mengucapkan itu Brayn dengan sayang menciumi seluruh wajah cantik Anna.
"Too, sayang," balas Anna setelah itu ia juga melakukan hal yang sama seperti putranya.
Anna mematikan lampu utama di kamar putranya, dan menyalakan lampu tidur, setelah itu ia pergi meninggalkan Brayn yang telah terlelap dalam tidurnya.
Kini Anna sedang duduk di balkon kamar yang sebelumnya ia tempati, malam ini ia ingin sendiri. Tidak ingin bertemu dengan pria yang hari ini bertingkah aneh menurutnya.
Bagaimana bisa pria itu tiba-tiba bersikap hangat dan intim padanya. Padahal sangat jelas Anna mengatakan bahwa ia tidak ingin di sentuh.
Terlepas dari permasalahannya dengan Sebatian, Anna dapat melihat ketulusan di mata pria itu saat menatap putranya.
Meski secara verbal ia tidak mengatakan hal yang manis, tapi secara tindakannya Sebastian menunjukkan sisi seorang ayah yang mengagumkan.
Sebastian tampak menyayangi Brayn, tidak terlihat sedikitpun rasa tidak suka atau penolakan dari tindakan pria itu, lalu kenapa harus menunggu waktu lima tahun untuk bersikap layaknya seorang ayah? Bukankah itu terlalu membuang waktu.
Anna memandang bulan yang bersembunyi di balik awan gelap, rambut panjangnya yang tergerai, bergerak searah angin yang berhembus pelan. Anna yang seperti ini tampak sangat rapuh dan menyedikan. Angin malam sama sekali tidak mengusiknya, saat seperti ini adalah saat terbaik menurutnya untuk merasakan rindu yang membuncah pada sosok yang telah damai di alam baka.
"Apa kamu melihatku dari sana?" ucapnya pelan, "malam ini terasa sangat sunyi dan sedih, apa dia merasakan apa yang aku rasakan sayang?" tanya yang di jawab oleh keheningan malam.
"Fateh, aku pernah berjanji padamu jika aku akan menjalani ini semua dengan baik demi dirimu, menurutmu, apakah aku akan sanggup?" lirihnya.
"Aku pikir, kami bisa menjalani hari tanpa saling menyinggung satu sama lain, tapi sepertinya dia tidak akan membiarkanku tenang. Apa yang membuatnya begitu menyulitkanku, apa kamu sangat memaksanya di masa lalu?" tanya Anna dengan airmata yang sudah mengalir.
"Andai kamu tidak memintanya, pasti hidupku lebih baik, aku bisa menjaga diriku sendiri, Fateh."
"Apa selama ini aku terlalu bergantung padamu? Sehingga kamu tidak yakin aku bisa mandiri. Aku tidak menyangka bahwa kamu begitu mengkhawatirkan aku, aku sama sekali tidak tumbuh menjadi pribadi yang dewasa selama bersamamu."
Malam kembali menjadi saksi Anna yang menangis tersedu sambil meredam suara dengan kedua tangannya.
Untaian kalimat pilu kembali keluar dari bibir mungil Anna, janji untuk tidak menangis lagi sudah ia ingkari beberapa kali. Seberapa pun dia berusaha namum pada akhirnya ia kalah oleh rasa sedih dan kehilangannya.
***
Sementara di ruangan lain tampak sosok pria yang menatap bulan dari jendela ruang kerjanya, dia di temani kegelapan. Tatapan tajamnya menyiratkan banyak hal yang tidak bisa di tebak oleh siapapun. Pikirannya melayang jauh entah kemana, tidak ada yang benar-benar ia pikirkan selain wanita itu.
Wanita yang mengguncang hatinya dalam waktu singkat. Bagaimana Anna bisa secepat itu memberikan pengaruh yang besar untuknya? Ia tidak mengerti dengan cara kerja hatinya.
Dulu ia pernah mencintai seseorang lebih dari hidupnya, tapi getaran yang ia rasakan pada wanita itu tidak sedahsyat yang ia rasakan pada Anna. Padahal waktu yang ia habiskan bersama wanita itu jauh lebih lama daripada bersama Anna.
Sebastian tidak percaya cinta pada pandangan pertama, baginya itu hanya omong kosong yang menggelikan. Dirinya yang selalu berpikir rasional, sempat merasa bahwa apa yang ia rasakan bukanlah miliknya, terdengar konyol memang, tapi demi menepis rasa itu ia berusaha untuk mempercayainya.
Di saat ia belum bisa mengurai benang simpul antara dirinya dan Anna. Anaknya hadir dengan keberanian, menyapanya seolah tidak pernah ada jarak di antara mereka. Anak yang membawa cinta untuknya.
Sebastian tidak yakin bisa membalas cinta anak itu sebesar yang anak itu berikan, semua menjadi semakin rumit dalam gumpalan benang yang kusut.
Andai ia menolak keras semuanya, akankah semua berjalan normal seperti biasa? Bisakah ia tetap menjalani kehidupannya tanpa terlibat dengan hati, ia memutuskan untuk menutup hatinya agar bisa hidup dengan tenang. Karena baginya cinta begitu merepotkan.
Menarik nafas pelan Sebastian melangkah menuju meja kerjanya. Ia mengambil buku asal dan membacanya, semua ia lakukan untuk mengalihkan perasaan yang ingin melangkah menuju kamar untuk bertemu Anna. Dorongan untuk memeluk istrinya begitu kuat. Anna bagai magnet yang tidak bisa di lawan daya tariknya.
***
Keesokan paginya suasan tampak lebih hangat, Sebastian yang mulai membalas sapaan Bryan, dan dengan tenang mendengar anak itu bercerita tentang sekolahnya meski Sebastian tidak bertanya.
"Papa ini," ucap Brayn sambil menyerahkan satu kotak bekal makan siang berwarna abu.
"Aku meminta Mommy untuk membuatkan dua bekal makan siang, untukku dan Papa." Sebastian menaikkan sebelah alisnya dan menatap putranya penuh tanya.
"Mommy sangat enak membuatkan bekal, sehat lagi. Aku ingin Papa juga memakan bekal yang sama sepertiku." Brayn menundukkan wajahnya karena tatapan tegas Sebastian.
Sebastian menyadari jika putranya takut akan tatapannya, lalu dengan tenang ia mengambil bekal itu dari tangan kecil putranya dan memberikannya pada Smith.
"Jika sedang bicara, tatap lawan bicaramu." Setelah mengatakan itu ia pun bangkit, lalu berjalan keluar mansion. Tidak lupa Brayn mengucap salam dan mencium punggung tangan ayahnya.
Sepanjang perjalanan kesekolah, Brayn terus tersenyum senang, hari cerah semakin bersinar karena rasa bahagia anak ini. Anna merasa iri kepada pikiran polos putranya, cukup berikan perhatian maka dia akan memmberikan seluruh cintanya. Sementara Anna masih bergelut dalam kesedihan yang ia sendiri tidak tau apakah rasa ini akan berakhir.