Malam ini semakin kelam, setelah makan malam Sebastian membawa Brayn keruang kerjanya. Anna tidak habis pikir dengan tindakan pria itu.
Hari ini Anna tidak mendengar suara Bryan yang ceria menyapa atau bicara padanya. Anak itu seolah menjaga jarak darinya.
Sungguh hatinya begitu sakit, pria itu bahkan bisa membuat Brayn menjauh darinya.
****
"Tau kenapa kamu ada di sini?" tanya Sebastian.
"Tau," jawab Brayn. Ia sangat suka dengan suasana ruang kerja ayahnya.
Melihat buku yang tersusun rapi di rak dengan jumlah yang banyak membuat mata birunya berbinar seperti melihat harta karun.
"Jelaskan," ucap Sebastian. Ia duduk di sofa dan Brayn di hadapannya.
Menatapnya dengan yakin seperti yang ia harapkan.
"Beberapa hari lalu Mommy tampak murung saat keluar dari ruangan Mrs. Bethany. Aku tau, pasti guruku memberi tau sesuatu yang membuat Mommy sedih," ucapnya.
"Dan kamu tau apa itu?" tanya Sebastian lagi. Brayn mengangguk, dia anak yang cerdas, tidak sulit memahami kalimat ayahnya yang irit.
"Pasti tentang aku yang tidak bergaul bersama teman sekelasku. Karena itu yang sering guruku tanyakan."
"Kenapa?"
"Bagiku itu membuang waktu, dan yang paling penting aku tidak nyaman." Brayn mengutarakan isi pikiran dan perasaannya.
"Lagipula di saat jam olahraga aku tetap ikut, hanya saja aku lebih suka melakukannya seorang diri daripada berkelompok," lanjutnya lagi.
"Tapi dalam hidup bersosial kamu tidak bisa hanya mengandalkan dirimu sendiri." Sebastian memberi pengertian, meski dirinya dulu lebih parah dari putranya.
"Dan mereka akan memanfaatkn aku, Pa," jawab Brayn pelan.
"Kenapa begitu?" Alis Sebastian mengerut.
"Mereka tau aku bisa melakukannya, mereka akan mengandalkan aku tanpa berusaha lebih dulu, itu merepotkan dan aku tidak suka."
'Anak cerdas' batin Sebastian.
"Kamu ingin bilang jika kamu lebih pintar dari mereka begitu?" Sebastian menatap lekat manik dengan warna yang sama seperti dirinya.
"Bukan begitu, aku tau mereka mau berteman denganku itu tidak tulus, selain karena mereka ingin mengandalkanku, sebenarnya mereka tidak ingin berteman denganku secara sukarela." Brayn tau betul otak teman sekelasnya. Dan jangan pikir jika Brayn itu bodoh.
"Darimana kamu tau mereka tidak tulus?" Sebastian serasa bercermin saat ini.
"Tentu aku tau, orang tulus itu tidak akan bertanya siapa aku saat ingin berteman. Tapi mereka selalu bertanya siapa aku dan dari keluaraga mana aku berasal."
"Apa yang kamu jawab saat mereka bertanya seperti itu?"
"Bukan urusanmu. Itu yang aku katakan pada mereka."
"Bagus. Itu jawaban yang tepat, kamu tidak butuh pecundang seperti mereka."
Jika Anna mendengar Sebastian mengatakan umpatan pada Brayn, pasti saat ini Anna akan menatapnya dengan marah. Ah, istrinya itu memang tidak pernah melunak padanya.
"Ya, aku tau Pa." Brayn senang karena ayahnya mendukung dirinya.
"Kamu tau Mommymu sangat khawatir padamu?"
"Aku tau, tapi aku belum bisa menjelaskannya pada Mommy saat ini," jawabnya menatap lekat Sang ayah. Sebastian merasa tersindir akan jawaban putranya, ia tau makna dari kalimat itu.
"Bagaimana nilai pelajaranmu?" tanya Sebastian mengalihkan pembicaraan, lagipula ia tidak akan terpengaruh pada ucapan dan tatapan balita cerdik ini.
"Memuaskan," jawabnya cepat.
"Bagaimana suasana sekolah?" tanya Sebastian.
"Biasa saja," jawabnya lagi dengan cepat.
Sebastian menatap dalam putranya, ternyata ada hari di mana ia dan putranya akan duduk bersama seperti ini, dan putranya yang selalu menatap hangat penuh sayang padanya.
Apa yang ia lakukan pada anak ini di masa lalu adalah hal yang tidak adil, jika itu dirinya pasti ia akan sangat membenci sosoknya saat ini.
Hanya ayah bajingan yang mengabaikan darah dagingnya sendiri. Dan bajingan itu adalah dirinya, julukan yang tepat Anna berikan untuknya.
"Kamu tidak membenci Saya?" tanya Sebastian. Dirinya bingung harus menyebut apa dirinya pada anaknya sendiri.
"Tidak. Papa adalah Ayahku, karena Papa aku ada di Dunia ini, jadi mana boleh aku benci," jawabnya dengan senyum.
Hati Sebastian tertohok mendengar jawaban putranya. Harusnya Brayn mendapat ayah yang jauh lebih baik darinya, itulah pikirnya selama ini.
"Tapi Saya mengabaikanmu, tidak adakah yang mengatakan hal itu padamu?" tanya Sebastian dengan suara rendah.
"Ada, Nenek Laila sering mengatakan itu dan juga bilang karena aku anak haram makanya Papa abai padaku," jawabnya, "tapi aku tidak percaya karena bukan Papa sendiri yang mengatakannya padaku," lanjutnya lagi.
"Nenek, Aunty dania dan Uncle Daren bilang, Papa menyayangiku, tapi aku juga tidak percaya karena Papa tidak mengatakannya padaku." Mata Biru jernih itu kini sudah berkaca-kaca.
"Dan kamu ingin Saya jawab apa?" tanya Sebastian, hatinya berdesir dan nyeri.
"Sebelum Mommy datang aku berharap Papa mengucapkan apa yang Papa rasakan padaku. Tapi setelah Mommy hadir dalam hidupku, ia mengatakan jika seorang pria tidak akan menunjukkan perasaannya dengan ucapan melainkan dengan tindakan." Sebastian tidak bisa berkata-kata.
"Lalu menurutmu, apa yang Saya rasakan untukmu?" tanya sebastian setelah cukup lama diam.
"Papa sayang padaku, hanya Papa tidak akan bilang karena Papa adalah pria sejati, dan aku bisa merasakan itu. Bagiku Papa adalah pelindung terhebat untukku dan Mommy. Karena Papa, aku bisa bertemu dan memiliki Mommy," jawabnya senang.
Sebastian menggerakkan tangannya memberi arahan agar Brayn mendekat, lalu dengan semangat Brayn turun dari sofa dan berjalan kearah Sebastian.
Hatinya semakin senang saat ayahnya menepuk paha besarnya, syarat agar Brayn duduk di atas pangkuannya.
"Saya tidak tau caranya berkata manis, tapi yang jelas kamu adalah salah satu hadiah dari Tuhan untuk Saya, tapi Saya terlalu lama mengabaikanmu."
Sebastian menatap mata biru yang sama sepertinya saat ini, dulu saat dirinya seusia Brayn, matanya selalu suram dan redup.
Berbeda dengan mata Brayn, mata balita ini memancarkan binar kebahagiaan dan harapan yang indah.
"Terima kasih Papa!" Serunya riang dan langsung menghambur kepelukan Papanya dengan mengalungkan tangan kecilnya di leher liat Sebastian.
"Maaf," bisik Sebastian dan langsung di angguki Brayn. Ia bahagia karena telah mendapatkan hati Papanya. Benar apa yang di katakan ibunya jika Papa menyayanginya.
Ia sedikit berbohong pada Papanya. Ia butuh ucapan dari Papanya, tapi karena Mommynya lebih dulu mengatakan jadi ia percaya dan sekarang terbukti.
Di Dunia ini yang ia percayai adalah ucapan Mommynya, dan mulai sekarang ia akan percaya ucapan Papanya juga.
"Pa, boleh aku minta sesuatu sebagai awal hubungan baru kita?" tanya Brayn yang masih di pelukan ayahnya.
"Apa itu?" tanya Sebastian sambil mengurai pelukan putranya.
Dirinya tidak ingin di manipulasi oleh anak cerdik ini. Ia menatap tajam putranya untuk memberikan rasa intimidasi.
"Bisakah Papa menyebut diri Papa itu Papa padaku? Aneh aku dengarnya jika Papa sebut diri Saya padaku."
Tatapan polos dan memohonnya sukes membuat hati Sebastian luluh. Sekarang ia mengerti mengapa Anna begitu cepat jatuh hati pada anak ini.
"Demi apa?" tanya Sebastian serius.
"Demi Mommy." Skakmat dari Brayn. Ia yakin mana mungkin Papanya akan menolak jika sudah Mommy yang ia libatkan.
"Dasar licik," cibir Sebastian. Sepertinya mulai sekarang ia akan mendapat lawan yang seimbang, pikirnya senang.