Bulan penghujan sudah datang, jika pagi hari gerimis maka malam akan hujan turun dengan lebat dan begitu sebaliknya.
Jika tidak ada urusan terdesak maka orang akan memilih duduk diam dirumah daripada keluar.
Sudah tiga hari ini Anna dan Brayn menghabiskan waktu di perpustakaan kecil milik balita itu yang memang di buatkan khusus untuknya oleh Sebastian.
Mereka membaca buku dengan sesekali melempar pertanyaan untuk mengusir sunyi. Dan Rei juga terpaksa ikut serta, padahal dia sangat tidak suka dengan yang namanya buku selain komik dan novel.
"Kak Rei, kamu tau tidak bagaimana proses hujan?" tanya Brayn tiba-tiba.
"tidak tau tuan," jawab Rei cepat.
Ia tidak ingin sok pintar, yang ada Tuan mudanya ini akan membullynya.
"Kenapa tidak tau? Memangnya disekolah kak Rei dulu tidak diberi tau?" tanya Brayn lagi dengan penasaran.
"Diberi tau, tapi saya saja yang tidak mendengarkan."
Benarkan! Di jawab tidak tau saja, ada timbul pertanyaan lagi, bagaimana jika di jawab dengan tau pikirnya.
"Oh, aku yakin kak Rei dulu lebih senang berkelahi dari pada belajar, dan itu menguntungkan menurutku." Rei menatap bingung Brayn.
Apa bocah ini sedang membullyku dengan cara yang halus, pikir Rei.
"Kenapa begitu?" tanya Anna yang juga sama penasarannya dengan Rei.
"Karena sekarang kak Rei bisa menjaga aku dan Mommy, jika kak Rei pintar belajar, mungkin akan menjadi guru yang membosankan," jawabnya menatap yakin kedua wanita itu.
Raut wajahnya yang serius membuatnya semakin tampan dan menggemaskan.
"Lalu Brayn tau bagaimana prosesnya hujan?" tanya Anna lembut, ia mengelus kepala putranya yang duduk di sisinya.
Rei ingin sekali memeluk anak majikannya itu, namun dirinya cukup sadar diri akan statusnya.
"Tau!" jawabnya riang.
"Air yang ada di bumi menguap, kemudian menjadi uapan air, lalu uapan air menjadi embun. Setelah itu titik-titik embun berubah menjadi awan. Ketika awan udah tidak sanggup menampung air, maka terjadilah hujan Mom," jelasnya sambil mondar-mandir layaknya seorang guru yang berada di depan kelas.
"Woah! Anda luar biasa tuan," ucap Rei takjub.
"Dari mana Brayn mempelajari itu?" Brayn anak yang suka membaca buku, tapi Anna yakin bahwa putranya tidak hanya mendapatkan pengetahuan itu dari membaca buku saja.
"Membaca buku dan melihat dari internet. Mommy tau itu sangat menakjubkan," jawabnya antusias sambil merangkak naik keatas pangkuan ibunya.
"Kamu menyukainya?" tanya Anna, dan Bryan mengangguk cepat. Baginya belajar hal yang bisa langsung di praktekkan itu sangat menyenangkan.
Tapi sayang sampai hari ini ia hanya bisa membaca dan melihatnya dari internet saja.
"Jika Brayn suka itu tidak jadi masalah, tapi Brayn juga harus tetap ingat, jangan memaksa jika kepala kecil ini tidak sanggup. Mengerti?" Anna menangkup wajah kecil putranya, dan menasehatinya dengan bijak.
"Mengerti Mom," jawab Brayn. Lalu seperti biasa ia menciumi wajah ibunya. Baginya Anna adalah tempat ternyaman di Dunia.
Dia merasa lengkap dengan kehadiran Anna, dapat Mommy cantik dan Papa yang luar biasa, bukankah Tuhan sangat baik padaku. Batinnya senang.
Rei dapat merasakan kasih sayang keduanya, mereka terlihat seperti anak dan ibu kandung, tidak ada jarak dan saling mengasihi.
Rei jadi teringat adiknya yang saat ini sedang di rawat karena lheukimia, dia harus bekerja keras untuk pengobatan adiknya karena hanya dialah satu-satunya kelurga Rei.
Anna memperhatikan raut wajah Rei yang berubah menjadi murung, dan Anna tidak tau apa penyebabnya.
Mungkinkah gadis tomboy ini tersinggung dengan ucapan putranya, tapi hati Anna berkata bukan karena itu.
****
Anna memandangi hujan dan merasakan percikan air itu dari balkon kamarnya, ingatannya kembali kemasa di mana Fateh pergi meninggalkannya, dan hujan turun saat itu seolah tau kesedihannya, dan berniat menemaninya.
Anna sadar bahwa tidak seharusnya ia berlarut dalam kesedihan, tapi menghapus semuanya dalam waktu singkat juga tidak mungkin. Anna tau Tuhan memahami persaannya dengan baik.
Tidak hanya kenangan yang memilukan itu saja yang Anna ingat, ia juga mengingat jika Fateh menyimbolkan bahwa dirinya adalah hujan dan Anna adalah bumi. Di manapun bumi itu berputar dengan porosnya, disana hujan akan menghampirinya.
"Aku akan selalu bersamamu sepanjang waktu, tidak perduli bagaimana cara semesta bekerja." Itulah ucapan Fateh yang selalu terngiang di benak anna Anna. Dan Fateh membuktikan ucapannya.
Airmata Anna menyatu dengan air hujan, menyatu seperti rasa cintanya dan Fateh. Tanpa Anna sadari ada seorang pria yang menyaksikan dan mendengar kepiluannya dalam diam dengan tatapan yang rumit.
Sebastian pergi meninggalkan kamar tanpa mengeluarkan suara, ia tidak ingin Anna menyadari kehadirannya.
Langkahnya terus berjalan menembus hujan menuju rumah kaca yang telah di tumbuhi oleh bunga mawar dengan berbagai warna.
Sebastian ingat saat Fateh mengatakan jika Anna sangat menyukai mawar, baginya mawar adalah dirinya, dan duri adalah Fateh sebagai pelindungnya.
Pria itu berharap Sebastian menggantikan perannya menjadi pelindung yang kokoh untuk Anna.
Sebastian duduk dengan lemah di bangku yang juga dia design untuk Anna, agar Anna nyaman saat menikmati bunga-bunga itu ketika mekar.
Namun dari terbentuknya rumah kaca ini, tidak sekalipun Anna datang kemari. Semua bunga ini tampak menyedihkan, kesepian karena si pemilik tidak pernah datang untuk berkunjung.
Sebastian tersenyum miris mengingat semua hal konyol yang ia lakukan, kenapa ia harus mengikuti keinginan pria itu, kenapa ia membangun rumah kaca untuk wanita itu, kenapa ia harus membuang waktunya berharap wanita itu menikmati apa yang ia sajikan.
Kenapa begitu menyakitkan saat mendengar suara isakan wanita itu untuk pria lain. Pria yang memulai ini semua.
Sebastian akhirnya mengakui jika dirinya terlalu angkuh, ia lupa jika Tuhanlah pemilik hatinya, dan dia terjebak dengan perasaannya sendiri.
Rasa untuk memiliki wanita itu begitu besar saat ini, namun apakah bisa ia juga memiliki hatinya. Sebab Sebastian menginginkan seluruh yang ada pada wanita itu.
Ia tidak perduli tubuhnya basah kuyup, ia duduk dengan kepala tertunduk, tampak air yang menetes dari rambut dan seluruh tubuhnya membasahi lantai rumah kaca itu.
Selama menderita penyakit kelainan irama jantung, Sebastian tetap menjaga kesehatan dan keburagan dirinya. Ia tidak ingin orang menatapnya iba, tatapan yang paling di bencinya.
Oleh karena itu ia memilih menyiksa dirinya sendiri dengan olahraga berat meski ia akan sering jatuh sakit karena jantungnya yang tidak kuat di porsir terlalu berat.
Malam ini hujan menemani dua anak manusia yang tenggelam dengan rasa menyakitkan begitu dalam. Akankah semesta memberi obat untuk luka yang mereka derita? Atau semesta ikut menorehkan luka baru di luka yang belum mengering?
Sebastian menutup matanya, merasakan semuanya, emosi yang dulu pernah mati kini perlahan mulai bernafas lagi, dan Sebastian takut kalau dia tidak dapat menahan atau menghilangkannya.