Semalaman Sebastian menahan kesal kepada istrinya, ia berusaha keras untuk tidak bertanya kenapa Anna pergi tanpa izin darinya, namun ia terlalu gengsi untuk bertanya, tidak ingin Anna menyadari bahwa wanita itu begitu berpengaruh bagi Sebastian sekarang.
****
Sebastian telah siap dengan stelan jassnya yang rapi seperti biasa, meski profesinya sebagai Dokter, tapi terkadang dirinya harus tampil formal untuk acaranya yang sudah masuk kedalam agenda.
Sebastian pergi tanpa sarapan lebih dulu, hatinya masih kesal pada Anna.
Anna yang keluar dari pantry mendapati Rei juga sudah siap dan segar, dari raut wajahnya yang tetap ceria dan penuh semangat Anna dapat menilai jika dia tidak mendapat masalah dari Sebastian.
Melihat wajah Sebastian semalam Anna pikir Rei akan dapat perhitungan dari pria arogant itu, ternyata tidak. 'Baguslah' batinnya.
Anna pergi bersiap untuk mengantar Brayn ke sekolah, rutinitasnya seperti biasa.
***
Sementara dikota lain, rumah keluarga besar Wijaya saat ini juga sedang menikmati sarapan mereka dalam diam.
Sejak apa yang terjadi banyak yang berubah dari keluarga itu, walaupun masih tetap terasa hangat dan harmonis.
"Ma, aku rindu Bibi Ann," ucap si cantik Zura dengan suara sedih. Ia merindukan Bibi cantiknya itu, Anna selalu punya waktu untuk bermain bersamanya.
Semua anggota keluarga saling pandang, ini bukan pertama kali balita cantik itu mengungkapkan rasa rindunya pada Anna, namun yang bisa mereka katakan saat ini Anna sedang pergi bekerja di kota lain dan tidak bisa di ganggu saat ini.
"Sabar Ra, nanti Bibi Ann pasti pulang," ucap Zikra menenangkan kembarannya, meski ia sendiri juga sangat rindu.
"Memangnya Bibi harus bekerja setelah Paman kesurga?" tanyanya polos, "Kakek dan Papa kan banyak uang, bisa beri ke Bibi dan aku bisa bermain dengannya." Anggota keluarga hanya bisa mendesah pelan.
"Bagaimana kalau bermain dengan Bibi saja," ucap Alya menawarkan diri.
"Tidak mau, Bibi tidak pandai bermain barbie dan menjadi snow white," jawab Zura menolak.
Alya menyesali dirinya yang memang sulit berbaur dengan dunia hayal anak-anak.
"Kalau begitu nanti pulang sekolah mainnya sama Mama aja gimana, sayang?" tanya Rani pada putrinya yang memang memiliki sifat lebih keras daripada Zikra.
"Nggak mau, aku maunya Bibi Ann," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Ia lebih ingin memeluk Bibinya itu daripada bermain saat ini.
"Ya sudah, nanti Kakek akan menghubungi Bibi Ann, dan memintanya untuk menelfonmu. Sekarang habiskan sarapan dan berangkat sekolah ya," ucap Wijaya pada cucu permpuannya dengan tatapan sayang.
"Yeay, janji ya Kek!" seru Zura dengan semangat, lalu dengan riang ia menghabiskan makanannya.
Semua menatap bingung kearah Wijaya, karena apa yang di janjikan sang kepala keluarga itu sangat sulit untuk di wujudkan saat ini, Anna masih menutup komunikasinya dengan mereka semua.
Wijaya membalas tatapan mereka dengan lembut dan bijaksana menyiratkan bahwa ia yakin bisa menghubungi putri kesayangannya itu.
***
"Aku ingin bicara," ucap Anna saat pada Sebastian usai makan malam.
Sebastian melihat wajah serius Anna, lalu mengangguk singkat dan berjalan meninggalkan ruang makan menuju ruang kerjanya yang di ikuti Anna dari belakang.
"Duduklah Annaya, jangan berdiri seperti patung," ucap Sebastian dengan tenang. Ia lebih dulu telah duduk disofa dengan kaki kanan menyilang di atas kaki kirinya. Serta tangan yang di lipat ke dada dengan menatap istrinya, ia sudah tidak perduli lagi dengan Anna yang tidak merasa bersalah sedikitpun padanya.
"Ini tentang Brayn," ucapnya membuka pembicaraa. Sebastian mengerutkan sedikit alisnya namun tetap diam menunggu Anna melanjutkan kalimatnya.
"Brayn sepertinya sulit bersosialisasi dengan teman sebayanya, itu yang di katakan oleh guru dan kepala sekolahnya padaku hari ini," jelas Anna. Wajah cantik tanpa make upnya tampak khawatir.
"Sudah tanya pada anak itu apa alasannya dia tidak berbaur?" Sebastian berpikir mungkin putranya sama sepertinya yang tidak minat memiliki teman.
"Belum, Aku pikir apa sebaiknya kita ..., bawa Brayn ke Psikolog anak?" tanya Anna lagi.
"Kenapa begitu?" Sebastian sedikit terkejut dengan saran yang Anna berikan.
"Mungkin itu jalan yang terbaik, agar kita tau apa yang di alami Brayn saat ini." Anna takut jika putranya mengalami situasi di mana dirinya tidak nyaman pada lingkungan baru.
"Apa selama ini Dia pernah menceritakan tentang kegiatannya di sekolah?"
"Saat awal masuk sekolah Dia mengatakan jika sekolah tidak seperti apa yang ia bayangkan," jawab Anna.
Sebastian paham, itu berarti Brayn tidak mendapatkan sekolah yang sesuai dengan ekspektasinya.
"Bukankah seorang Ibu adalah Psikolog terbaik untuk anaknya, Annaya?" Mata tajam Sebastian semakin dalam menatap Anna.
"Maksudmu?" tanya Anna bingung.
"Seorang anak bisa membohongi siapapun di Dunia ini, tapi ia tidak akan bisa membohongi naluri seorang Ibu. Aku tidak percaya akan istilah ini tapi tidak ada salahnya jika kamu mau percaya dan mencoba," jelas Sebastian, "dan lagi anak itu pasti bisa menyimpan dengan baik perasaannya dari Psikolog." Karena Sebastian yakin putranya tidak berbeda jauh darinya.
Anna mencoba mencerna semua ucapan Sebastian, ia menyetujuinya. Lagipula Brayn pasti akan terluka jika ia membawanya untuk bertemu Psikolog, tanpa berusaha terlebih dulu bertanya pada anak itu.
Kekhawatiran Anna yang berlebih membuatnya tidak bisa berpikir tenang dan jernih.
"Apa alasanmu membawanya kemari?" tanya Sebastian memecah keheningan karena Anna tenggelam pada pikirannya sendiri.
"Apa aku harus punya alasan?" tanya Anna.
"Setiap orang bertindak pasti mempunyai alasan Annaya, dan tidak terkecuali itu dirimu."
"Aku menikah dengan Ayahnya, dan itu otomatis membuatku menjadi Ibunya. Apa itu cukup untuk menjawab pertanyaanmu?"
Sebastian masih menatap dalam mata Anna yang dengan tenang menjawab pertanyaannya, ia tau saat ini pasti di dalam hatinya, Anna mengumpati dirinya.
"Bagus jika itu memang benar alasanmu. Karena jika membawanya untuk menghiburmu dari duka yang kamu ciptakan, itu menjijikkan."
"Duka yang aku ciptakan?" gumam Anna mengulang ucapan Sebastian yang menyakitkan hatinya.
"Kamu yang membuat semua ini menjadi sulit, kamu yang membuatku tidak bisa keluar dari kubangan dukaku. Semua yang menyangkut dirimu membuatku muak, kamu tau tidak!" teriak Anna dengan mata yang merah karena marah.
'Bisakah sekali saja pria ini tidak menyayat hatiku' batin Anna.
"Jangan lupa jika anak itu juga bagian dari diriku," jawab Sebastian tenang.
"Baru mengakuinya, hah? Selama ini kemana saja dirimu? Saat dia membutuhkan kehadiranmu!"
"Aku mengakuinya atau tidak, itu bukan urusanmu," desis Sebastian.
"Yah, kamu tidak akan pernah mengerti apa yang di rasakan oleh orang lain atas perbuatanmu," geram Anna, "andai Brayn bukan putramu itu lebih baik untukku."
"ANNAYA!" Suara dingin Sebastian menggema di seluruh ruangan itu, matanya menatap tajam Anna lebih dalam.
Hati Anna merasa bergetar takut aka tatapan pria ini, belum pernah ia melihat wajah penuh amarah Sebastian. Tanpa ia sadari tangannya menggenggam erat bandul yang menggantung di lehernya.
"Jangan melewati batasmu," desis sebastian, "mulai besok kamu tidak perlu mengurus anak itu."
"Apa maksudmu?" tanya Anna bingung, suaranya sedikit bergetar.
"Segala sesuatu yang menyangkut diriku begitu memuakkan bagimu bukan? Maka akan aku jauhkan segala yang menyangkut diriku darimu."
Hati Anna mecelos mendengar ucapan Sebastian.
"Kamu tidak bisa berbuat ini padaku! Aku tidak mau," ucap Anna membantah Sebastian.
"Tidak ada bantahan. Sekarang keluar." Sebastian mengusir Anna tanpa perasaan.
Ia membalikkan tubuhnya dan menutup matanya, ia tidak tahan melihat airmata waita ini tapi ia juga merasakan sakit dan marah yang luar biasa saat ini.
"Haruskah kamu melakukan ini padaku? Kenapa kamu begitu jahat? Kamu mengambil semua yang tersisa dariku, bahkan aku tidak boleh menjadi ibu untuknya." Hanya keheningan yang menjawab ucapan Anna di sela tangisannya.