"Nek--," ucap Brayn di sela tangisnya yang pecah karena akan berpisah dari nenek yang selama ini telah menjadi ibu sekaligus ayah untuknya.
"Jangan menangis sayang, bukannya ini impian kamu? Tuhan telah menjawabnya," ucap Louisa sambil menggendong dan memeluk Brayn. Ia berusaha untuk tidak menangis agar cucunya itu tidak khawatir saat akan meninggalkannya.
"Brayn harus selalu ingat untuk menjadi anak yang baik, dan tidak boleh menyusahkan bibi Anna ya?" ucap Louisa lagi sambil menyeka airmata cucunya. Sebenarnya hatinya merasa berat untuk berpisah.
"Aku akan menjadi anak yang baik dan aku akan menjaga Mommy dengan sekuat tenagaku nek," jawabnya penuh percaya diri sambil sesegukan.
Louisa, Musa dan tuan besarpun di buat terkejut akan panggilan Brayn pada Anna. Mereka tidak menyangka hubungan Brayn dan Anna sudah sedekat itu. Sedangkan Sebastian yang juga berada disana hanya diam tanpa menunjukkan ekspresi apapun.
"Anak pintar," ucap Louisa setelah tersadar dari keterkejutannya. Ia mengecup kening Brayn berkali-kali untuk menyalurkan rasa sayangnya.
"Sekarang pamitlah pada kakek Musa dan kakek buyut," ujar Louisa sambil menurunkan Brayn dari gendongannya.
Brayn berjalan kearah kakek dan kakek buyutnya yang berdiri berdampingan. Jujur dalam hati sebenarnya ia sangat takut untuk bicara pada kakeknya, namun dengan tatapan lembut Anna yang meyakinkan dirinya, membuat Brayn dengan berani mendongakkan kepala agar bisa menatap kakeknya yang jauh lebih tinggi darinya.
"Kek, Brayn pamit ya. Dan maaf jika selama ini Brayn nakal dan menyusahkan," ucapnya pelan sambil menatap kakeknya takut.
"Hmm ..., kamu tidak pernah menyusahkan. Jaga Mommymu dengan baik," ucap Mussa sambil mengelus lembut surai cucunya untuk pertama kali.
Hanya Tuhan yang tau seberapa gemetarnya dia, karena pertama kalinya anak ini memanggil dirinya kakek.
"Baik kek!" Seru Brayn riang karena mendapat tanggapan yang hangat dari kakeknya.
"Kakek buyut," ucap Brayn saat sudah berada di hadapan tuan besar.
"Mussa. Aku tidak bisa melihat anak yang sebesar kutu ini, tolong gendong dia agar aku dapat melihatnya," ucap tuan besar sedikit berwibawa padahal tersirat nada candaaan dalam ucapannya.
Dengan perasaan gugup bercampur senang Mussa menggendong cucunya untuk pertama kali, dan itu membuat senyum di wajah yang mulai tampak keriput itu terasa hangat.
"Wow, aku jadi setinggi kakek dan juga kakek buyut!" Seru Brayn tanpa sadar kala tubuhnya di angkat oleh Mussa.
"Ekhm,,," tuan besar berdehem membuat Brayn langsung diam dan menatapnya takut.
"Makanlah dengan baik agar kamu bisa setinggi kami dan juga--," ucap tuan besar menggantung ucapannya pada Brayn, ia melirik Sebastian sekilas untuk melihat reaksi cucunya itu, namun seperti biasa cucunya hanya diam seperti patung hias.
"Dan juga?" Brayn mengulang kalimat kakek buyutnya yang meggantung dengan wajah penasaran.
"Sudah?" sela Sebastian sambil menatap lekat Anna. Ia sungguh ingin segera pergi.
"Berisik," jawab tuan besar pada Sebastian.
"Kamu harus lebih tinggi dari kami dan juga Papamu. Agar jika dia berulah, kakek buyut bisa percayakan padamu untuk menghajarnya," ucap tuan besar pada Brayn. Ia memasang wajah yang di buat seserius mungkin.
"Tapi aku takut padanya," bisik Brayn yang hanya bisa di dengar oleh Mussa dan tuan besar.
"HAHAHAHA." Tawa tuan besar dan Mussa pecah kala mendengar jawaban polos cucunya ini.
Di mata tuan besar dan Mussa, Brayn sangat mirip dengan Sebastian kecil secara fisik, tapi secara sifat mereka berbeda, jika Sebastian kecil lebih suka menyendiri dan menutup komunikasi terhadap siapapun, maka Brayn justru sebaliknya. Namun begitu Brayn juga tidak mudah berkomunikasi dengan sembarang orang terutama yang menurutnya asing.
"Baiklah, jika begitu kakek buyut saja yang menghajarnya. Belajar dengan baik dan jagalah Mommymu dari binatang buas. Mengerti?" ucap tuan besar menggoda. Ia mengelus sayang surai coklat tua Brayn yang sama seperti surai milik Sebastian. Brayn mewarisi segala bentuk fisik Sebastian.
"Binatang buas?" tanya Brayn mengulang ucapan kakek buyutnya dengan tatapan bingung, lalu ia menoleh kearah Anna untuk mendapatkan jawaban karena Mommynya tidak pernah mengatakan jika dirumah ayahnya ada binatang buas.
"Mommy juga belum pernah melihatnya," ucap Anna lembut pada Brayn yang mengerti arti tatapan Brayn. Lagi pula selama ini ia tidak pernah mengelilingi mansion Sebastian jadi mana dia tau jika pria ini memelihara hewan buas.
Terdengar dengusan kasar dari Sebastian dan dengan tatapan tajamnya ia menatap kakeknya, ia tidak bodoh untuk bisa menyimpulkan siapa yang di maksudkan binatang buas oleh kakeknya.
"Jangan membuang waktuku Annaya," ucapnya dingin lalu berlalu masuk kedalam mobil yang telah terparkir dengan Smith yang setia berdiri di samping pintu.
"Aku akan menjaga Mommy dari binatang buas manapun kek," jawab Brayn yakin. Meskipun ia ragu apakah ia mampu melawan binatang buas yang dimaksud oleh kakek buyutnya ini.
"Ok, kakek buyut percaya padamu," jawabnya hangat. Lalu dengan sayang ia mencium kening cicitnya untuk pertama kali, terbesit rasa bersalah dalam dirinya karena telah menjadi kakek buyut yang buruk lima tahun terakhir ini.
"Kami pamit," ucap Anna pada ketiganya, lalu dengan sopan Anna memeluk mereka. Setelah itu ia pun menggandeng tangan Brayn untuk masuk kedalam mobil.
Brayn sesekali menoleh kearah nenek dan kakeknya untuk melambaikan tangan. Louisa memeluk suaminya untuk menguatkan diri karena ini pertama kalinya ia akan berpisah dengan cucunya.
"Bukankah mereka tampak seperti keluarga yang sempurna?" ucap Mussa di kala melihat kepergian mereka.
"Yah, dan semoga kebahagiaan akan segera menghampiri mereka, dengan begitu aku bisa mati dengan tenang dan bahagia," jawab tuan besar sambil menatap lajunya mobil yang di kendarai oleh Smith.
"Ayah, jangan berkata seperti itu. Kamu akan melihat Sebastian hidup bahagia dengan banyak anak yang akan membuat hidup tenangnya menjadi kacau," ucap Mussa pada ayahnya dengan tatapan yakin. Ia tidak suka jika ayahnya sudah bicara tentang kematian.
"Kita semua akan menjadi saksi kebahagiaan mereka," ucap Louisa lembut. Yang di amini keduanya, lalu mereka masuk kedalam rumah setelah memastikan mobil yang membawa Sebastian, Anna dan juga Brayn sudah tidak terlihat.
Harapan mereka adalah semoga ini semua menjadi awal yang baik bagi keluarga kecil itu, ini seperti wujud dari istilah sesuatu yang tidak mungkin bisa menjadi mungkin jika Tuhan sudah berkehendak.
****
"Mom, apa kamu memang belum pernah melihat binatang buas itu?" bisik Brayn pada Anna, ia takut jika pria yang duduk di sebelahnya akan mendengar.
"Memang belum," jawab Anna jujur. Lalu dengan lembut Anna mengangkat Bryan agar duduk di pangkuannya.
"Lalu bagaimana ini, jika dia melihatku lalu menggigitku," ucap Bryan dengan tatapan panik yang menggemaskan.
"Tidak akan, lagi pula jika pun ada pasti binatang itu di tempat yang aman, tidak mungkin berkeliaran," jawab Anna sambil mencubit pipi gembul Brayn.
"Benarkah?" tanya balita itu lagi sambil memainkan ujung rambut Anna yang tergerai di bagian depan.
"Tentu, kamu bisa tanyakan itu nanti pada paman Smith atau bibi Rei," jawab Anna sambil menoel pipi Brayn dengan jari telunjuk rampingnya.
Mereka berdua asyik bicara dan mengabaikan kehadiran Sebastian yang sedari tadi mendengar pembicaraan mereka tentang binatang buas yang sebenarnya adalah sindiran tuan besar untuk dirinya. Dan dia menjadi kesal karena Anna yang dengan polosnya menanggapi ucapan kakeknya itu dengan serius.
"Ok," jawabnya lembut sambil membentuk tangannya membuat lambang ok, lalu ia merebahkan tubuhnya di dada Anna, dan tidak butuh waktu lama balita itupun tertidur pulas dalam dekapan tubuh Anna yang begitu menenangkan baginya.