Chereads / Annaya & Takdirnya / Chapter 10 - Pria itu dan luapan amarah Anna

Chapter 10 - Pria itu dan luapan amarah Anna

"Duduklah, nak," ucap tuan Al-Ghifary mempersilahkan tamunya begitu sampai diruang tamu. Pria itu mengangguk sopan sebagai jawaban dan langsung duduk diikuti oleh yang lainnya.

"Nak, perkenalkan mereka adalah orang tua Anna serta kedua kakaknya, ini pertama kalinya kalian bertemu, selama ini mereka hanya tau tentang kamu dari apa yang saya sampaikan," ucap Zakaria membuka pembicaraan dan dengan gerakan sopan ia mengarahkan tangannya sambil memperkenalkan mereka.

"Dan mereka berdua adalah mama dan kakak perempuan almarhum," lanjutnya lagi memperkenalkan Maira dan Fania putrinya, yang memang belum pernah bertemu pria ini.

Ia melihat seluruh anggota keluarga Anna yang di perkenalkan kepadanya, dan dengan sopan ia kembali berdiri serta sedikit membungkuk memberi salam hormat pada tetua. Lalu dengan lugas dan tanpa ragu ia memperkenalkan dirinya di depan seluruh keluarga.

"Saya Muhammad Ali Sebastian Az-Zachary. Saya penerima donor jantung dari putra kalian, seperti yang kalian tau jika saya telah menerima amanah darinya untuk menjadikan Annaya Nur Kamila Al-Ghifary menjadi istri saya dan menjamin hidupnya dengan baik, saya menerima amanah itu dan akan menjaganya dengan hidup saya, dan kedatangan saya kesini hari ini untuk menyampaikan saya akan melamarnya secara resmi tiga hari lagi."

Tanpa keraguan Sebastian menatap mantap tuan Wijaya selaku ayah kandung Anna yang akan dengan segera menjadi ayah mertuanya.

Mereka semua menilai bahwa pria ini selain memiliki bentuk fisik dan rupa yang menawan ia juga memiliki pribadi dengan karakter yang kuat tampak terlihat dari caranya menatap, berbicara serta sikap tubuhnya terhadap lawan bicara, semua tampak gagah layaknya seorang raja yang hebat.

Tuan Wijaya dan yang lainnya kagum dengan apa yang ada pada diri pria ini dan mereka juga yakin bahwa pria ini akan menepati seluruh ucapannya sesuai janji yang telah di ikrarkannya hari ini.

"Maaf jika saya menyela, apa tidak terlalu cepat.?" Suara Ammar mengintrupsi.

"Lebih cepat lebih baik," sela seseorang.

Mereka semua menoleh secara bersamaan kearah sumber suara dan melihat Anna yang berjalan kearah mereka dengan ekspresi tenang serta wajah yang datar dan itu mengejutkan seluruh keluarga.

Anna menggunakan dress bewarna hitam yang sangat tidak cocok untuk pertemuan ini, tapi ia tidak peduli. Baginya ini adalah pertemuan untuk menentukan hari kematiannya, jadi sudah seharusnya ia memakai pakaian berkabung. Begitulah fikirnya.

"Anna kakak fikir kamu istirahat," ucap Ammar lembut begitu Anna duduk disisi kanannya. Tampak ia lihat tatapan ketidak perdulian Anna.

"Bagaimana aku bisa istirahat jika saat ini kalian sedang memutuskan tentang kelangsungan hidup dan matiku," jawabnya dingin pada Ammar tapi tatapannya kearah pria yang tepat ada di hadapannya saat ini.

Sebastian sama sekali tidak terusik dengan sindiran serta tatapan tajam Anna, dengan gerakan anggun ia meminum teh hangat yang telah tersaji untuknya.

"Anna jangan bicara seperti itu, kamu tau ini semua dengan baik," ucap Wijaya.

Ia tau putrinya menyalahkan Sebastian untuk apa yang terjadi. Amarah dan rasa benci pada dirinya membuat Anna menutup mata untuk segala kebenaran yang ada.

"Tentu Anna mengetahuinya dengan baik pak, maka dari itu segerakanlah," jawab Anna menatap datar sang ayah. Wijaya dapat melihat tidak ada lagi tatapan manja dan suara riang dari putrinya, dan itu membuat hatinya sakit.

"Baikah, jika kamu sudah siap," Jawab Wijaya menatap putrinya pasrah. Anna yang mendengar kata 'siap' itu menyunggingkan senyum sinisnya.

'Bukankah kalian semua yang sudah sangat siap menyambut anggota keluarga baru.' Cibirnya dalam hati.

"Dia telah memiliki jantung yang sehat, dan sekarang ingin aku untuk jadi istrinya, bukankah itu terlalu serakah?" Sarkas Anna dengan tatapan sinisnya menatap Sebastian.

Sebastian yang mendengar itu tidak bereaksi apapun, tapi ia membalas tatapan mata bening milik Anna dengan tatapan yang sulit diartikan. Smith yang sedari tadi bediri di sisi Sebastian sangat terkejut mendengar apa yang diucapkan Anna, belum pernah ada orang yang berani berkata kasar seperti itu kepada bosnya dan ia salut dengan bosnya yang tidak terprovokasi sama sekali atas apa yang diucapkan 'calon nyonyanya' ini.

"ANNA!" bentak tuan Wijaya. Dia tidak suka atas sikap putrinya yang sudah sangat keterlaluan, meski selama hidupnya ia tidak pernah meninggikan suara untuk putra-putrinya, tapi kali ini Anna sudah melewati batasnya.

"Sepertinya keluargaku begitu menyukaimu tuan, untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku di bentak oleh bapakku sendiri dan itu semua karenamu," cibir Anna tenang tanpa menghiraukan suara tinggi bapaknya.

Hati Anna sangat sakit mendengar suara tinggi ayahnya, di tambah tatapan marah dan juga kecewa sang ayah tapi dengan sekuat tenaga dia menahan diri untuk tidak menangis, apalagi di depan mereka semua.

Mereka semua yang menyaksikan Wijaya membentak Anna sangat terkejut karena Wijaya adalah orang yang lembut dan sabar selalu mencoba bijak menghadapai apapun, tapi kali ini ia lepas kendali terhadap anak kesayangannya.

Bahkan kedua orang tua almarhum Fateh tidak dapat melakukan apapun, sebab ini adalah urusan ayah dan anak, mereka hanya berharap Wijaya bisa mengontrol diri.

Lusi yang melihat amarah di wajah suaminya dengan cepat mengelus sayang punggung tangan Wijaya agar suaminya itu bisa mengontrol emosi, tidak ada yang tau selain dirinya jika Wijaya sudah marah akan sangat sulit untuk di hadapi, dan ia tidak ingin putri kecilnya merasakan amarah itu.

"Anna sudah berapa kali kami jelaskan padamu nak, ini semua terjadi di luar kehendak kita, jangan karena amarah dan rasa bencimu membuatmu berubah seperti ini, tolong mengertilah," ucap Wijaya lelah dengan wajah yang sudah kembali tenang.

Ia sangat menyesal telah lepas kendali pada putri kesayangannya ini, tapi Anna benar-benar sudah kelewat batas.

"Lalu Anna harus bagaimana pak? Menerima dengan suka rela begitu? Jika kalian fikir Anna tidak ikhlas atas kepergian Fateh kalian salah," lirih Anna, "ya Anna akui kepergianya membuat Anna kehilangan arah, membuat hidup Anna berputar dengan cepat dan terhempas kelembah tak berdasar hingga Anna tidak bisa mempersiapkan diri, tapi Anna sadar hidup ini bukan milik manusia, Anna tidak melupakan nilai-nilai agama yang bapak dan ibu ajarkan, dan kalian semua mau tau apa yang tidak bisa Anna terima?," lanjutnya panjang lebar.

Dengan nafas terengah-engah dan suara bergetar menahan tangis menatap sendu sang ayah cinta pertamanya serta menatap satu persatu keluaraga yang ia cintai dengan segenap jiwa raganya, tapi sekarang seolah semua kasih sayang itu hanyalah semu, ini sangat menyesakkan dadanya tapi ia tidak akan terlihat lemah lagi.

"JANTUNG SUAMIKU BERDETAK DIDALAM TUBUHNYA!" Jerit Anna sambil menunjuk Sebastian dengan tatapan nyalang dan dada yang naik turun. Wajah putih mulus itu berubah menjadi merah padam saat meluapkan emosinya, tapi Sebastian tidak bereaksi sama sekali atas tatapan dan apa yang Anna ucapkan. Tidak ada yang bisa menebak apa yang ia fikirkan ketika mendapat perlakuan seperti itu dari Anna.

Ammar yang sangat terkejut melihat Anna seperti ini bergegas menarik Anna kedalam pelukannya, adiknya saat ini bnear-benar lepas kendali dan ia harus mengambil sikap untuk menenangkan adiknya ini.

Ammar menatap ayahnya dengan tatapan memohon untuk tidak melanjutkan lagi pembahasan ini dan juga ia menatap Sebastian sambli menggumamkan kata maaf atas tindakan Anna. Sebastian hanya mengangguk kecil sebagai respon.

"Tenanglah nak," ucap Lusi yang kini mengambil alih Anna dari pelukan Ammar dan memeluknya erat. Alya yang melihat itu juga langsung menghambur untuk memeluk keduanya.

"Apapun yang kamu katakan itu tidak akan mengubah apa yang telah aku putuskan." Terdengar suara dingin Sebastian memecahkan keheningan setelah teriakkan emosi Anna meluap.

Sebastian mengucapkan kalimat itu tepat menatap manik Anna yang tidak henti menatapnya penuh emosi. Anna hanya bisa tertawa miris di pelukan ibunya, ia tidak berniat untuk membalas ucapan itu.

"Saya undur diri," ucapnya sopan kepada tuan Wijaya dan yang lainnya. Kedatangannya hanya untuk menyampaikan niatnya, tidak ada alasan ia untuk tinggal lebih lama.

"Maafkan ucapan Anna, saya harap kamu mengerti kondisinya saat ini," jawab tuan Wijaya dengan tatapan hangat khas seorang ayah dan menepuk bahu kokoh itu pelan.

"Saya mengerti." Setelah mengatakan itu ia bangkit dan melangkah pergi di ikuti Smith.

Lusi dan Alya menemani Anna yang kini sudah duduk dengan tatapan kosongnya sementara para anggota keluarga mengantar kepergian Sebastian sebagai wujud mereka menghargai tamu yang datang.

Mereka semua hanya bisa mendesah lelah dengan apa yang terjadi pada Anna dan Sebastian, 'hubungan yang di awali oleh rasa sakit akankah berakhir dengan baik?'

"Anna bapak kecewa dengan kamu,' ucap Wijaya begitu kembali masuk kedalam rumah.

"Lalu kecewanya Anna siapa yang harus bertanggung jawab? Sedari awal Anna sudah menolak transplantasi itu," tanyanya di sertai pernyataan dengan suara yang serak menatap seluruh anggota keluarganya.

"Ayah," jawab sang mertua pada akhirnya. Anna menoleh dan menatap lekat sang ayah mertua yang begitu ia sayangi ini, tapi malah mengecewakannya.

"Fateh, memberikan hak kuasa terhadap ayah untuk mengizinkan jantungnya di donorkan kepada Sebastian," jelasnya kepada menantu kesayangannya ini. Dan Anna tertawa miris mendengar hal itu.

"Aku hanya ingin ia pergi tanpa rasa sakit lagi, tanpa harus membelah tubuh dan mengambil jantungnya, apakah itu terlalu sulit buat kalian?" tanyanya dengan putus asa sambil menatap seluruh keluarganya.

"Bahkan kalian menipuku," Gumamnya lagi sambil menutup mata dan mengingat bagaimana kejadian hari itu. Hari dimana ia kehilangan Fateh untuk selamanya.

"Kalian menyuruhku pulang untuk beristirahat, dan mengatakan jika mama ingin menghabiskan waktu berdua bersama Fateh malam itu, dan dengan bodohnya aku percaya," lirihnya dengan tatapan kosong, "tapi ternyata malam itu hari terakhir aku melihat wajah suamiku, karena keesokan harinya yang aku lihat adalah jenazah suamiku, tanpa jantungnya pula." Senyum getir dan rasa putus asa Anna saat mengingat kebodohannya itu.

Semua orang yang mendengar suara serak Anna dalam diam mereka menangis bahkan mata Fitra juga tampak basah. Pria yang terlihat kuat dan tegar inu akhirnya luluh akan suara Anna yang terdengar memilukan.

"Anna jangan seperti ini, semua sudah jalannya. Dari awal Fateh di diagnosa penyakit, serta kecelakaan yang menimpanya hingga membuatnya koma, dan juga transplantasi jantung itu, semuanya sudah menjadi skenario tuhan untuk kita jalani nak," lirih tuan Zakaria, "coba kamu lihat mama. Ibu mana yang rela anaknya pergi dengan begitu cepat dengan cara yang tidak terduga pula. Lihat kak Fania dan kak Fitra mereka lahir dari rahim yang sama dengan Fateh, berbagi air susu yang sama, tumbuh besar di tempat yang sama, apa kamu fikir mereka siap?" lanjut tuan Zakaria panjang lebar pada menantunya ini.

Ia harus membuka mata Anna agar bisa melihat lebih jauh meski itu sulit, ia mendekati Anna yang menatap pias dirinya, lalu ia meraih tangan Anna dan menggenggam kuat tangan mungil itu lalu berkata, "lihat ayah sayang. Jika ayah bisa, ayah yang ingin menggantikan semua yang di alami oleh Fateh anak kesayangan ayah, jika ayah bisa ayah yang ingin mendonorkan jantung ayah, tidak ada orang tua yang ingin melihat anaknya menderita sayang. Tapi semua yang terjadi diluar kuasa kita sebagai manusia. Kita hanya bisa mengikuti jalan yang telah Tuhan sediakan, jika kamu begini terus, Fateh pasti akan kesulitan disana, karena semua ini adalah amanah darinya," tuturnya memberi pengertian pada Anna.

Anna merasakan jika ayah mertuanya memeluk dirinya, ia tidak bisa berfikir apapun selain Fateh yang terus berputar di otaknya. Anna menyadari apa yang di katakan oleh mertuanya ini semua benar, tapi hatinya tidak bisa sejalan dengan fikirannya dan semua itu karena rasa kecewa yang besar.