Marvin menyodorkan 2 botol bir kepada Adelia dan Bastian. Tapi keduanya menolaknya dengan halus. Entah untuk keberapa kali Marvin menyumpah serapah ke arah flat 25 dan menyebut Hisyam dengan sebutan paling kasar yang pernah Adelia dengar dalam bahasa Inggris, dan bahkan beberapa dalam bahasa daerahnya. Makiannya disambut antusias oleh ketiga teman Zimbabwe-nya, terkesan mereka sedang ngerap hahahaha. Adelia tersenyum geli menatap teman-teman lucunya itu, walaupun saat ini kedua pergelangan tangannya masih saja gemetaran. Bastian dapat melihatnya dengan jelas.
"Dimana kamu nyimpen persediaan teh kamu?", tanya Bastian ramah. Adelia terkejut dan setengah ling lung. Perlu waktu beberapa saat sampai akhirnya ia bisa mencerna baik-baik pertanyaan Bastian. Persediaan teh. Dimana ya? Oh iya. Adelia menunjuk sebuah laci paling pojok, didekat microwave. Bastian mengangguk dan segera berdiri menuju laci itu. Marvin dan ketika temannya pamit keluar dari flat 27.
Bastian membuka laci itu dan terperanjat melihat isinya. Sebuah laci yang diisi oleh setidaknya ada 7 jenis teh, baik dalam kemasan kantong satuan, masih berupa daun di dalam botol-botol kecil, maupun dalam wadah-wadah kaleng aslinya yang menandakan mereka adalah merek mahal. Terdapat juga aneka gula merah, putih, madu, krimmer, dan kayu manis. Bastian semakin takjub karena semua itu tersusun begitu rapi, menggunakan sekat-sekat, diberi label, lengkap dengan tanggal expired. Gadis sinting, gumamnya sambil tersenyum geli.
Rasanya agak aneh bila Bastian bertanya tentang resep teh yang ia minum terakhir kali, karene Adelia sepertinya masih linglung. Padahal Bastian ingin meminum the itu lagi, yang efeknya sangat menenangkan. Akhirnya Bastian memutuskan untuk menyeduh teh Camomile, yang konon katanya memberikan efek menenangkan juga. Ia mengisi ceret pemasak air listrik dengan air keran, dan menekan tombol untuk segera merebus airnya. Dalam 2 menit kemudian, air mendidih, menimbulkan bunyi "Klekkk".
Bastian menemukan sebuah teko teh keramik dengan motif putih biru ala dinasti cina yang sangat menawan. Pastilah Adelia sering menggunakan teko ini untuk menyeduh tehnya. Tampak beberapa gelas dan piring teh kecil yang memiliki motif serupa dengan teko itu. Bastian memasukkan sekantong teh Chamomile yang berbentuk bulat itu ke dalam teko dan menuangkan air yang baru saja mendidih itu. Ia memasukkan 3 sendok gula merah dan mengaduknya pelan-pelan. Wangi teh beserta lelehan gula merah keluar dari mulut kecil sang teko, menggoda untuk segera meminumnya. Tapi masih panas pastinya.
"Minum dulu Del...", ajak Bastian dengan lembut, sambil menunjuk teko dengan jempolnya. Adelia menatapnya dengan mata yang masih sembab tidak berkedip. Ia tidak mengangguk, atau menggeleng. Masih ada guratan malu, sedih, takut di permukaan wajah Adelia. Tidak sanggup rasanya ia menatap Bastian. Malu. Ada rasa sesak di dadanya, dan ketika ia akan menarik nafas panjang, ada pilu yang menyesakkan paru-parunya. Ia bersiap untuk menangis meledak-ledak lagi, tapi Bastian menahannya. Cowok itu mencengkeram telapak tangan Adelia dan tersenyum datar dan menggeleng pelan. Berbeda dengan cengkeraman Hisyam beberapa belas menit sebelumnya, cengkeraman ini seakan-akan menopang kokoh hati Adelia agar tidak hancur berkeping-keping.
"Minum dulu, nanti nangisnya disambung dikamar aja", kata Bastian dengan senyum setengah jahil, masih memegang tangan gadis itu. Adelia bengong, ia terdiam untuk 10 detik, sampai akhirnya ia mulai tertawa kecil. Tawa kecilnya beberapa kali terhenti, ia tersenyum, dan tertawa lagi sambil menatap Bastian, seperti orang gila. Ia beberapa kali menyisir rambut lurus hitamnya yang sejak tadi mulai awut-awutan. Beberapa menempel di alis, di pipi, menyangkut seadanya di balik telinga Adelia. Ketika ia ingin mengusap wajahnya, rambut-rambut itu pun ikut terceplak di wajahnya yang sudah penuh minyak dan air mata. Ya, Adelia sedang menertawakan dirinya, dan ia sudah tidak perduli lagi bagaimana tampangnya sudah hancur berantakan dan belepotan. Bastian ikut tersenyum. Hanya perasaan Adelia aja, atau Bastian sering sekali muncul ketika Adelia sedang apes atau hancur berantakan seperti ini?
Beberapa detik kemudian, cowok itu meninggalkan Adelia di dapur, ia berjalan menuju kamar Adelia. Dua menit kemudian Bastian kembali lagi ke dapur dan mendapati Adelia belum juga meminum tehnya. Bastian berdiri di belakang kursi yang sedang di duduki Adelia. Tanpa seijin Adelia, ia membelai rambut Adelia dari belakang. Adelia terperanjat! Hati hancur Adelia yang tadi sudah mulai menyatu dan tenang, kembali berdenyut kencang. Apa yang sedang Bastian lakukan?
Cowok itu terus menerus menarik rambut Adelia dengan pelan, mulai dari puncak kepala, sampai rambut-rambut di dekat leher Adelia. Ia kemudian mengambil rambut gadis itu, dan membuat gesture seakan menggenggam rambut tebal itu. Bastian menggulung-gulung rambut Adelia tidak menentu seakan ingin membuat cepolan. Bastian mengambil sebuah penjepit rambut yang biasa Adelia gunakan ketika ia merasa gerah atau akan mandi.Cowok itu tidak menyangka, ternyata membuat cepolan sesederhana itu saja susah!
Ketika ia akhirnya berhasil membuat sebuah gulungan, ia menjepit gulungan itu di kepala Adelia. Bastian sudah pasrah akan nilai estetika dari gulungannya. Ia hanya ingin Adelia merasa tidak gerah. Hal itu membuat tengkuk Adelia yang putih mulus terlihat, begitu juga dengan sebagian kulit di pundaknya. Apalagi hari ini Adelia hanya menggunakan kaos tanpa lengan dengan potongan leher yang cukup rendah dan mengekspos banyak kulit leher dan pundaknya. Seketika Bastian sungguh menyesal, karena ia menyadari segumpalan ludah telah berkumpul di rongga mulutnya! Ia berliur hanya dengan mengikat rambut seorang gadis! Sinting! Apalagi gadis itu adalah Adelia!
Bastian buru-buru duduk di hadapan Adelia untuk melihat hasil mahakaryanya. Adelia tidak dapat menahan senyum gelinya melihat tampang Bastian. Mimik cowok itu berubah dari penasaran, menjadi kecewa, sampai akhirnya menahan geli! Cowok itu dengan berani memegang perutnya sendiri dan mulai tertawa terpingkal-pingkal!
"Hahahahahah sorry Del ahahahahah", tawa cowok itu meledak. Adelia buru-buru mengambil HP miliknya dan menyalakan kamera selfie. Ia bisa melihat bahwa cepolan Bastian miring sehingga ia terlihat seperti pramugari yang baru bangun tidur. Rambutnya sekarang memang tidak mengganggunya, tapi masih terlihat berantakan dan ia terlihat sangat aneh! Alih-alih marah, Adelia ikut tertawa. Ia memukul-mukul pelan pundak cowok itu, yang masih saja tertawa. Ketika tawa mereka mereda, Bastian menuangkan teh-teh ke dalam cangkir-cangkir mungil itu. Adelia tersenyum. Ini kedua kalinya ia dilayani seperti ini. Pertama kali, ketika Justin...
"Kamu udah gak apa-apa?", tanya Bastian. Adelia mengangguk-angguk pelan sambil menyeruput teh itu. Masih panas! Adelia menghirup dalam-dalam aroma teh itu, seakan-akan aromanya merupakan candu yang dapat menenangkan tremornya. Ini untuk pertama kalinya ia mencoba Chamomile dengan gula merah. Ternyata enak. Adelia memberikan mimik kaget dan tersenyum lucu setelah tegukan pertama, seakan-akan memberikan pujian untuk Bastian. Ia memberikan satu jempol di sebelah cangkir tehnya.
"Beneran enak?", Bastian akhirnya menyesap teh itu sambil mencium aromanya. Matanya terpejam dan menikmati sensasi teh itu. Ini kali ketiga ia meminum teh bersama Adelia. Entah kenapa, rasanya berbeda sekali dengan minum es teh manis di warung, atau meminum ice lemon tea di restoran, bahkan teh yang disiapkan oleh Maretha. Bastian membuka matanya dan menatap Adelia, dan meneguk kembali teh hangat itu. "Kenapa minum teh bisa begitu mendebarkan sekaligus menenangkan seperti ini? Ini efek teh atau gadis aneh yang ada di depanku?", batin Bastian bertanya.
"Iya beneran enak. Selama ini aku pikir kopi uda paling bener buat jiwa dan raga. Ternyata teh enak juga. Aku gak pernah paham filosofi dan indahnya minum teh. Ternyata menarik juga ya Del. Beliin donk aku satu laci kayak gitu, lengkap ama seluruh gula dan madu dan sendok-sendoknya yah. Dan ini juga!", perintah Bastian sambil menunjuk teko cantik itu dengan muka jahil. Adelia yang belum sempat menegak seluruh teh di mulutnya langsung tersedak pelan.
"Uhukk uhuuukk… enak ajaaaaa", katanya sambil tertawa. Ia menatap gelas kosongnya. Bastian langsung sigap dan mengisi ulang gelas kosong Adelia. Ia menegak habis gelasnya dan mengisi gelasnya juga. Rasanya ia sudah mulai kecanduan teh nih.
"Mudah-mudahan kejadian tadi gak terulang lagi Del. Bentar lagi kita mau exam. Mau kamu laporin gak si Hisyam itu?", tanya Bastian. Adelia menggeleng. Balik lagi deh ke topic yang gak menyenangkan. Ya, mau gak mau harus di bahas juga, karena harus secepatnya mencari solusi.
"Mungkin aku akan bicara sama dia supaya jauhin aku dulu selama ujian ini. Kalo memang dia masih kasar, aku mau laporin ke bapak asrama dan satpam. Ya mungkin ke kampus aja sekalian", kata Adelia. Walau sebenarnya ia ragu akan melakukan semua itu. Hatinya tidak begitu mantap. Ada rasa iba dan kasian melihat Hisyam. Lagi pula beberapa hari lagi ia juga akan ujian, dan ia tinggal 1 semester lagi di Curtin. Tapi ada rasa takut juga. Bagaimana bila Adelia melaporkan cowok itu, ia malah akan lebih menggila?
"Kenapa gak putusin aja Del?", Bastian bertanya dengan hati-hati. Ia tahu, urusan percintaan Adelia dengan siapapun itu bukan urusannya. Tapi ini menyangkut keselamatannya. Keselamatan... calon istrinya! Adelia tertegun menatap Bastian.
"Apa kamu kira aku ga pernah nyoba?", tanya Adelia. Bastian bingung.
"Maksudnya? Kamu uda mutusin dia, tapi dia gak mau gitu?", Bastian kali ini bertanya dengan nada setengah emosi. Adelia mengangguk pelan. Sebenarnya ia ragu, kapan ya tepatnya ia pernar benar-benar memutuskan cowok itu? Tapi memang pernah kan? Ketika ia ingin serius menjalin hubungan dengan Justin! Ya,saat itu, setelah Fremantle.
"Trus apa gara-gara itu dia jadi mulai kasar sama kamu?", tanya Bastian lagi. Adelia ragu mau mengangguk atau menggeleng. Ia hanya memicingkan kedua matanya dan menggigit bibirnya seakan-akan sedang berfikir keras. "Apa iya sejak itu? Sebenarnya Hisyam kasar sejak kemunculan cewek berjaket kulit itu, Kirra atau siapalah namanya", batin Adelia. Tapi kalau ia ceritakan kepada Bastian, cowok itu bakal lebih menggila dan mengatainya cewek terbodoh di planet bumi ini. Sudah tau cowok kasar itu selingkuh, eh malah masih nekat mempertahankan. Ia mengangkat bahunya sambil kembali menggigit bibirnya.
"Tapi kamu mau kan putus ama dia?", Bastian menatap lekat mata Adelia. Adelia mengangguk pelan. "Iya, mau, mau banget, karena sesuatu", batin Adelia. Tiba-tiba bayangan Justin masuk ke fikirannya. Ya, berhadapan dengan Bastian seperti ini mengingatkannya kepada cowok yang lebih tua 2 tahun darinya itu. Cloning Justin. Muka ama gaya boleh sama, tapi sikap, perhatian dan tata karma beda banget.
"Apa karena cowok itu? Justin? Itu kan namanya?", tiba-tiba Bastian menyadarkan Adelia dari lamunan beberapa detiknya! Kenapa Bastian bisa menebak begitu akurat? Adelia panik, dan rautnya itu tertangkap jelas oleh Bastian. Ia melotot selama 2 detik dan kemudian mengerjap-ngerjapkan matanya dengan cepat selama beberapa detik. "Kok Bastian bisa nebak aja sih?", batin Adelia lagi.
"Kamu suka sama dia juga? Adelia...kamu hebat banget. Aku paham kalo kamu pengen nyari pacar sebelum kita menikah, tapi aku bener-bener gak nyangka kamu harus tarik sekali dua kayak gini Del Del Del. Bahaya tauuuu", ejek Bastian. Tapi Adelia tidak bergeming. Ia masih belum bisa membalas kata-kata Bastian. Ia harus berfikir cepat. Ia bolak balik menatap antara teko teh dan wajah Bastian. "Aku harus berkomentar, tapi apa ya...", Adelia membatin dalam hati.
"Apapun itu, yang penting putusin si Hisyam itu. Paham? Kalo belum kamu putusin sampe semester ini selesai, aku bakal ngadu sama papa Adnan dan mama Cecilia", perintah Bastian sambil meneguk cepat gelas keduanya. Adelia panik. Hal terakhir yang dia inginkan adalah kedua orangtuanya mengetahui kalau ia "selingkuh" dari Bastian. Bisa-bisa ia akan langsung di pulangkan ke Indo. Adelia panic dan membelalakkan matanya kearah Bastian dan mengibas-ngibaskan salah satu tangannya. Cowok itu langsung cok cool dan menyeruput lagi tehnya.
"Jangan Tian. Iya aku putusin. Tapi caranya gimana? Apa aku bilang aja ya kita udah tunangan dan akan segera menikah?", tanya Adelia tanpa berfikir panjang. Bastian tersedak, dan hampir menyembur tehnya. Itu bukan ide buruk, setidaknya Hisyam pasti akan mundur teratur. Tapi bagaimana hubungannya dengan Maretha yang baru berjalan beberapa bulan? Mereka sedang di tahap bulan madu. Setelah ujian, mereka bahan akan mulai bekerja berdua di pinggiran kota. Hanya berdua. Kalau Maretha sampai mendengar kabar ini…
"Eh tapi gak mungkin ya, cewek lu pasti mencak-mencak ya", seketika Adelia lemas memikirkan bahwa Bastian bahkan sudah memiliki pacar, dan pastilah cewek itu bakal marah banget.
"Kenapa gak kamu bilang aja kalo kamu udah jadian ama si Justin itu tuh", Bastian memberikan ide cemerlang. Adelia menelan ludahnya. Itu sama sekali bukan langkah pintar. Apa yang akan Malik dan Lisa pikirkan. Lisaaaa...
"Gak mungkin...", jawab Adelia sambil menggeleng pelan menatap lantai. Bastian bingung.
"Sahabatku tuh naksir berat ama dia. Makanya selama ini aku ama Justin... ya backstreet gitu deh...", jelas Adelia dengan suara lemas. Bastian kontan menepuk jidatnya. Karena dahinya dipenuhi rambut, otomatis rambut-rambut itu menempel aneh di jidat putihnya.
"Kehidupan cinta kamu tuh ngebingungin banget sih? Gak bisa di bikin simpel aja Del? Cowok nomer 1 toxic dan kasar, cowok nomer 2, nyaris punya orang lain. Kenapa gak nyari yang biasa-biasa aja gitu.", tanya Bastian sambil geleng-geleng dan mulai mengisi cangkir ketiganya.
"Ya kamu itu masuk lahhhh dalam kehidupan cintaku. Cowok ketiga. Calon suami. Justru karena kondisi kita gini nih yang bikin semuanya jadi ribet", jawabnya Adelia asal. Keduanya langsung terdiam dalam badai fikiran mereka masing-masing.
Ya, kondrat mereka, nasib mereka, masa depan mereka berdua yang sudah disusun sedemikian rapi oleh kedua orang tua mereka. Seakan-akan kehidupan mereka adalah proposal paling yahud yang bisa dipersembahkan oleh perusahaan mereka. Perhitungan yang begitu matang, persiapan yang begitu hati-hati, tinggal eksekusi beberapa tahun lagi. Tapi itu justru bikin ribet masa remaja dan kehidupan mereka sekarang!
"Kamu mau kita tetap menikah?", tanya Bastian lembut. Sebuah pertanyaan basa basi sebenarnya. Ia berharap Adelia sepakat dengannya. Tidak mau lanjut! Beberapa bulan di Perth, ternyata banyak mengubah Bastian. Tadinya hidupnya seperti labirin dengan satu tujuan, perangkap orangtuanya. Masuk ke perusahaan akuntan publik Adnan & Abraham dan menikahi perempuan yang memiliki kesamaan nyaris genetis dengan dirinya, Adelia.
Gadis itu juga menjalani labirin yang sama dengan dirinya. Tapi berada disini, lebih mengenal Adelia, lebih mengenal Maretha, dan sadar ia memiliki begitu banyak kesempatan, dan hidup berbeda yang bisa ditawarkan dunia. Ada banyak labirin-labirin lain dengan banyak pintu dan lebih banyak tujuan. Kita bahkan bisa melompat keluar dari labirin itu dan berkarya seluas-luasnya, memiliki kehidupan sosial sesukanya.
"Kamu mau kita tetap menikah?", Adelia malah bertanya kembali sambil menatap Bastian serius. Gadis itupun memiliki keinginan yang sama dengan Bastian. Ia ingin bebas, ia masih ingin mencoba kehidupan yang lain. Traveling keliling dunia,berpindah-pindah pekerjaan, jatuh bangun dengan kehidupan cinta, keluar sejenak dari labirin. Ya, keluar sejenak. Ia tidak benar-benar ingin lari dari "proposal" orang tuanya.
"Del, keinginan orangtua kita tuh absurd banget. Mereka bener-bener egois dan gak mau ngertiin perasaan kita Del. Kamu pasti capek kan di atur mulu kayak gini? Aku tau kalo orang tua kita tuh ngerasa mereka tuh udah paling bener. Tapi gimana pun kita udah 22 tahun Del, kita juga punya hak untuk menentukan masa depan kita sendiri. Apa kamu gak pengen punya kehidupan sendiri? Kamu mau terjebak selamanya di rencana mereka? Gimana kalo kamu gak bahagia?" Bastian mulai berapi-api sambil menggenggam tangannya sendiri.
Adelia terdiam. Ia meneguk habis gelas keduanya dan menatap tanpa fokus pada pintu balkonnya. Ia menatap Bastian dengan lembut. Kata-kata yang akan ia ucapkan akan menjadi bumerang padanya dan pada Bastian. Ia ragu-ragu untuk mengucapkannya. Tapi, ia pikir, Bastian harus mendengarnya, minimal satu kali saja di kehidupan ini. Apapun yang akan terjadi setelahnya, terjadilah.
"Aku mau kabur, aku mau berontak, aku mau punya kehidupan aku sendiri Tian. Aku pengen punya jalan aku sendiri, cinta aku sendiri. Aku juga pengen keliling dunia, aku pengen punya teman yang banyak, punya kerjaan yang aneh-aneh. Tapi aku siap kalo itu ga selamanya, aku siap kalo aku harus meninggalkan sisi coba-coba itu suatu hari, Tian. Aku siap kembali ke mereka kok...", jelas Adelia dengan suara yang semakin lama semakin halus dan mengecil, seakan ada yang berusaha ia sembunyikan dari kata-kata itu.
"Kenapa? Gimana kalo kamu nantinya gak Happy Del? Kamu gak tersiksa apa ngejalanin hidup yang gak kamu mau?", tanya Bastian sudah setengah emosi. Bastian agak kecewa, karena ternyata beberapa bulan di Perth ternyata belum membuat cewek ini mandiri dan masih ngandelin orangtua aja. Pikirannya belum terbuka juga. Ada begitu banyak kemungkinan dan kesempatan yang bisa ia raih sebenarnya.
"....Karena kamu Tian, karena ketika semua ini selesai, diujungnya ada kamu...", jawab Adelia dengan suara halus nyaris tidak terdengar. Tapi Bastian dapat mendengarnya dengan jelas! Cowok itu refleks menggenggam cangkir tehnya di tangan kanan, sementara tangan kirinya refleks meremas jaket jeansnya. Ia akan limbung, dan berharap jaket dan cangkir itu merupakan pegangan yang tepat.
"Selama ini, aku memang pengen sih ngejalanin hidup aneh-aneh, up and down kayak roller coaster dan berhubungan sama cowok-cowok yang mungkin bagi kamu ga jelas itu. Karena aku tau, ketika nanti kita akan bersama... hidup aku bakal lebih stabil, dan aku akan bersama dengan cowok paling... baik dan sempurna untuk aku. Sejak dulu, aku Cuma kenal kenal 3 laki-laki dalam hidupku. Papa, Bastian dan laki-laki lain.", tanyanya dengan suara yang nyaris tidak terdengar. Tapi semua kata-kata halus dan lembut itu meremukkan hati Bastian dan memompa jantungnya sehingga berdetak lebih kencang dan membuatnya sesak nafas.
Mereka saling berpandangan berdua. Adelia tidak menyangka, akhirnya apa yang selama beberapa tahun ini ia pendam, akhirnya bisa ia utarakan juga. Ya, bukankah nantinya ia akan bersama dengan cowok sempurna pilihan orangtuanya? Yang sudah pasti sederajat, sepaham, bibit bebet bobot yang sama, dan keluarga mereka sudah seperti keluarga besar beneran. Kehidupan mereka nanti pasti akan lebih mudah, ya kan? Seegois-egoisnya orang tua mereka, mereka pasti Cuma ingin melihat anak-anak mereka bahagia kan?
Bastian justru sebaliknya, ia belum pernah memproyeksikan gadis itu sebagai ujung horizonnya. Berfikir bahwa gadis itu adalah pelabuhan terakhirnya merupakan mimpi buruk, itu yang selalu ia yakini. Walaupun beberapa kali ia menyebut Adelia calon istrinya, itu tidak lebih dari olokan untuk menghina gadis itu. Ia benar-benar seperti seekor macan di pinggir pagar, yang siap melompat keluar dari kurungan bila ada kesempatan. Ya, kesempatan untuk lari dari kesepakatan pernikahan mereka.
Tapi apa yang sudah Adelia katakan, membuat suasana jadi aneh. Bastian mengira ketika status mereka saling membenci sudah paling parah. Tapi saat ini ingin rasanya Bastian kembali ke masa-masa itu. Setidaknya masa itu, ia tidak perlu memikirkan apa yang harus ia katakan saat ini. Bagaimana caranya berkomentar setelah apa yang Adelia katakan?
"Kamu bener-bener gak mau nikah sama aku nantinya?", tanya Adelia lagi yang semakin membuat suasana jadi kikuk. Bastian merasa ruang common room itu semakin lama semakin mengecil dan membuat dadanya sesak. Haruskah ia jawab pertanyaan itu? Sejak SMA, Bastian selalu mencari cara bagaimana bisa keluar dari perjodohan konyol ini, Adelia bahkan pasrah saja. Kenapa tidak dari dulu ia ajak bekerja sama untuk membelot dari keluarga mereka?
Adelia cewek aneh dan bodoh. Dan ternyata kebodohan Adelia yang paling hakiki adalah mempercayai bahwa suatu hari Bastian dapat menjadi sandaran terakhirnya. Mempercayai bahwa ia akan merasa bahagian dan tidak tersiksa berada disisinya. Padahal itulah rencana Bastian selama ini, bila mereka benar benar benarrr akan menikah. Membuat setiap hari dalam hidup gadis itu seperti di neraka, agar mereka bisa cepat-cepat berpisah. Toh yang penting mereka pernah menikah kan?
"Del..", ketika Bastian ingin mengatakan sesuatu, tiba-tiba HP miliknya bergetar. Panggilan dari Maretha. Ia mendiamkan HP itu bergetar beberapa kali. Ia dan Adelia saling berpandangan.
"Angkat donk, siapa tau dari Maretha", pinta Adelia. Bastian menggeleng pelan. Ia bersyukur akhirnya HP itu berhenti bergetar. Namun beberapa detik kemudian, HP itu bergetar lagi. Bastian akhirnya menyerah dan mengangkat panggilan itu.
"Ya halo,... apa? Kamu dimana? Ok aku kesana sekarang. Bye", ia menjawab panggilan Maretha. Bastian bernafas lega. Entah kenapa panggilan Maretha saat ini justru menjadi penyelamat percakapan kikuk mereka. Ia buru-buru berdiri. Apapun yang ingin ia katakana tadi, sebenarnya belum ia fikirkan dengan matang-matang. Lebih baik nanti aja deh.
"Sorry Del, Maretha uda nungguin aku di coles. Aku lupa banget ada janji sama dia mau kesana", jelas Bastian. Adelia menunduk dan mengangguk beberapa kali. Hatinya entah kenapa pedih. Kenapa sekarang perasaannya seperti seseorang yang baru saja di tolak cintanya? Apakah tadi ia sedang menyatakan cinta? Enggak kan? Jadi kenapa ia jadi sangat kecewa?
"Kamu gak apa-apa kan?", tanya Bastian sambil mencoba menatap mata Adelia. Tapi gadis itu masih saja menunduk sambil merapatkan bibirnya. Adelia sebenarnya merasa bingung. Gak apa-apa dalam konteks apa ini? Gak apa-apa karena sudah dikasari Hisyam, atau gak apa-apa karena Bastian enggan menerima "proposal" orangtuanya? Atau enggak apa-apa karena ia harus pergi menemui pacarnya? Apapun pertanyaannya, Adelia ingin sekali menjawab SHE IS NOT OKAY.
"Del?", tanya Hisyam lagi sambil memegang salah satu pundak Adelia. Gadis itu terkejut dan secara refleks menatap wajah cowok itu.
"Hahhh apaan? Ohhh oh ya ok gak apa-apa, aku mau lanjut belajar. Makasi untuk tehnya Tian. Makasi juga uda bikin aku lebih tenang. Tenkyuuuu tengkyuuuu", kali ini Adelia bereaksi berlebihan. Ia tersenyum super manis dan imut sambil mengatupkan kedua tangannya. Mimik Adelia berubah seperti membalikkan telapak tangan. Dari yang takut, sedih, sendu, sekarang tiba-tiba cute seperti seekor kelinci. Salah satu skill yang harus diacungin jempol dari Adelia adalah, ia paling bisa tersenyum palsu dan berganti ekspresi secepat kilat. Skill ini ia pelajari dari sang bunda yang master dalam berbasa - basi dan menutupi perasaan paling dalam. Seorang PR sejati harus bisa mengontrol perasaan dan bereaksi sesuai keadaan.
Adelia berdiri dan bersiap-siap membereskan pesta teh mereka. "Aduh aku sampe lupa loh nyodorin cookies. Padahal tadi malam aku sama Diva bikin cookies yang enak. Kamu mau?", tanya Adelia lagi dengan senyum ceria sambil setengah melompat-lompat seperti anak kecil. Bastian menggeleng. Bukan setahun dua tahun ia mengenal mama Cecilia dan Adelia. Ia paham apa yang sedang dilakukan Adelia, namun ia tidak ingin membantah, mengoreksinya atau membahasnya. Bisa panjang dan tambah kikuk nantinya. Sudahlah, biar saja dulu begini.
Bastian berjalan cepat mengarah ke coles. Kepalanya berkecamuk. Sebenarnya, keputusan Adelia untuk patuh kepada orangtuanya, sama sekali bukan urusan Bastian bukan? Toh mereka belum menjadi sebuah keluarga. Anggap aja ini seperti cinta yang bertepuk sebelah tangan, Bastian masih memiliki hak untuk menolak cinta Adelia kan? Gadis itu bahkan gak cinta sama dia dan sebaliknya! Bastian menggaruk-garuk kepalanya seakan-akan ada sekilo ketombe di situ.
Rambut yang halus, tengkuk yang putih mulus, tangan mungil yang halus, mata teduh yang menatapnya tadi... perasaan aneh yang menenangkan sekaligus mendebarkan bisa bersama Adelia... semua itu tiba-tiba menyeruak di kepalanya, dan membuat ia jadi berfikir dua tiga empat dan lima kali untuk... menolak cinta gadis itu. Padahal sekali lagi, Adelia bahkan tidak (belum) mencintainya, dan sebaliknya! TIDAK ADA YANG MENYATAKAN CINTA!
"Papa, Bastian dan laki-laki lain, begitu dia mengkategorikan laki-laki di muka bumi ini. Kenapa gue jadi harus bertanggung jawab hanya karena cewek sinting itu punya opini sendiri?", Bastian menggumam seperti orang gila.
Aarrrhhhhhh bisa gila kalau begini, gumam Bastian dalam hati. Ya, itu adalah perjalanan terlama dan paling menyiksa ke coles sepanjang kehidupannya di Perth.