"Hey Sena!"
Sena tidak menjawab panggilan Rara. Tubuhnya diam dengan mata yang terus menunduk ke bawah. Rara jengkel dengan sikap Sena yang sangat pendiam. Kemudian Rara berjalan ke arah tempat duduk Sena.
"Sena kamu bawa bekal apa? Kita makan bareng yuk."
Rara mendorong mejanya hingga menyatu dengan meja Sena. Sena masih diam mematung di posisi yang masih sama. Rara mengeluarkan kotak bekalnya, berwarna merah jambu berisikan beberapa potong roti berselaikan stroberi. Kemudian ia mengeluarkan botol minumnya berwarna merah jambu senada dengan kotak bekalnya.
"Sena, mana bekalmu? Kenapa diam saja?"
Sena adalah anak yang sangat pemalu. Ia sangat malu jika baru bertemu dengan orang yang belum pernah ia temui sebelumnya. Biasanya ia akan bertindak diam. Sama seperti sekarang ini ketika Rara mengajaknya berbicara. Namun, dibalik sifat pemalunya itu, ia adalah anak yang sangat pintar. Ia sangat cepat menangkap jika mengenai hal-hal akademik.
"Sena," Panggil Rara lagi sambil menatap mata Sena yang menunduk malu.
"SENA!" Rara berteriak sangat keras hingga membuat orang-orang di kelasnya terkejut dan menoleh ke arahnya. Begitu pun dengan Sena. Tubuhnya sempat melompat sedikit dari kursinya akibat terkejut oleh suara nyaringnya Rara.
"I...i...iya Rara," jawab Sena terbata-bata.
"Kenapa kamu diam saja? Mana bekalmu?" Rara mulai kesal melihat tingkah Sena yang seperti tidak memperdulikannya.
Sena akhirnya mengeluarkan kotak bekalnya dari dalam tas birunya. Ia juga mengeluarkan botol minumnya yang warnanya pun senada dengan kotak bekalnya. Ia letakkan kotak bekal dan botol minum itu berdampingan di atas mejanya.
"Sena, kamu mau roti?"
"ng...nggak ra."
"Kamu bawa apa Sena? Ayo coba buka!" Rara yang kala itu penasaran memaksa Sena untuk segera membuka kotak bekalnya.
Sena menuruti perintah Rara. Ia membukakan kotak bekalnya dihadapan Rara. Rara melihat bekal Sena dan memasang ekspresi geli.
"Sena, ini apa? Cacing? Kamu bisa makan itu?"
"Bukan ra, ini spageti."
"Spageti?" Wajah Rara nampak bingung. Sena hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Rara.
"Baru kali ini aku melihat makanan seperti ini? Apakah itu enak?"
"Iya ini enak sekali," jawab Sena mencoba meyakinkan Rara.
"Boleh aku coba?"
"Iya boleh, ini."
Dengan sigap Rara memegang gagang garpu milik Sena yang sedang terbaring nyaman di atas tumpukan spageti yang sudah tidak sabar untuk disambat. Rara melilitkan spageti itu ke garpu yang telah ia pegang. Kemudian ia suapkan ke arah mulutnya yang sudah terbuka lebar.
"Sena ini enak banget," Ucapnya setelah suapan pertama merasa takjub dengan rasanya.
"Aku boleh minta lagi?" Pintanya lagi kepada Sena.
"Iya boleh."
"Sena, kamu tahu tidak? Rumah kita berdekatan lho." Rara terus berbicara sambil mengunyah spageti di mulutnya. Sena menggeleng. Baginya ini adalah kali pertamanya ia bertemu dengan Rara, seorang gadis kecil banyak tingkah.
"Iya rumah kita berdekatan lho. Nanti ya kamu lihat," ucap Rara lagi berusaha meyakinkan.
Ia sangat menikmati spageti milik Sena. Mulutnya sibuk mengunyah sambil mengoceh sana sini. Sangking nikmatnya Rara tidak sadar sudah menghabiskan spageti milik Sena. Sena yang duduk di sampingnya hanya terdiam merasa pasrah bekalnya dihabiskan oleh seorang anak perempuan sok asyik yang baru ia kenal.
Rara meletakkan garpu milik Sena ke dalam tempat bekal Sena. Tangannya meraih botol merah jambunya yang berdiri tegak disampingnya. Rara meneguk air dari botol minumnya dengan tergesa-gesa hingga akhirnya ia tersedak. Sena yang berada di sampingnya membantu Rara agar ia bisa kembali normal. Setelah itu Rara baru tersadar, kalau ternyata ia telah menghabiskan spageti milik Sena.
"Sena, maafin aku. Spagetinya habis," ucap Rara sambil memasang raut memelas.
"Ini kamu makan roti aku saja." Rara menyodorkan kotak bekalnya, menawarkan bekal roti miliknya sebagai pengganti rasa bersalahnya.
"Terima kasih Rara."
Sena akhirnya menerima tawaran Rara. Ia menyantap roti bekal Rara. Rara diam mengamati Sena yang sedang sibuk menikmati roti berselaikan stroberi miliknya.
"Enak?" tanya Rara. Sena mengangguk.
"Sena, Sena." Rara memanggil Sena sambil memasang tampang jelek yang dibuat olehnya.
Sena tidak bisa menahan tawanya. Ia tertawa sangat kencang hingga membuat pandangan orang sekitar mengarah kepadanya. Rara berulang kali mengubah-ubah tampang jeleknya. Membuat Sena semakin tertawa keras. Bagi Sena, Rara sangat menggemaskan. Tingkahnya yang beragam dan tidak bisa ditebak itu membuat Sena gemas dengan Rara. Baru kali ini ia bisa merasakan kenyamanan dengan orang yang baru ia kenal.
Setelah makan bersama, Rara mengajak Sena untuk bermain di playground sekolah. Rara menarik tangan Sena berlari keluar gedung sekolah. Disana sudah banyak sekali anak-anak yang bermain. Ada yang bermain perosotan, ayunan, dan ada juga yang bermain kejar-kejaran.
Rara berlarian ke sana kemari bagaikan gangsing meminta Sena mengejarnya. Sena menurut. Sena mengejarnya dengan kecepatan maksimalnya. Tinggi tubuh Sena yang tidak sampai ujung kepala Rara membuat langkah kakinya pun lebih pendek jika dibandingkan dengan langkah kaki milik Rara. Ditambah lagi Rara berlari dengan kecepatan maksimalnya membuat Sena kesulitan untuk menangkapnya.
"Sena ayo tangkap aku," Teriaknya.
Kemudian Rara berlari ke arah ayunan yang jaraknya berdekatan dengan bak pasir. Ia mengajak Sena untuk ikut bergabung dengannya. Lagi-lagi Sena menurut. Kini mereka duduk berdampingan di atas ayunan yang rantainya sudah mulai berkarat. Sena mengayunkan ayunan itu pelan, sedangkan Rara mengayunkan ayunan itu dengan sangat kencang. Tangannya menggenggam erat rantai berkarat itu sebagai pegangannya. Jika diperhatikan sepertinya sebentar lagi Rara akan terbang jika dilihat dari kencangnya ayunan itu.
"Bruk."
Baru sebentar Rara bermain ayunan, ia sudah jatuh tersungkur di tanah. Tubuhnya terpental. Tubuhnya tidak bisa menahan kencangnya ayunan itu. Lututnya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Tangisnya pecah. Dua orang guru yang sedang berada di sana segera datang menghampiri Rara. Ia adalah bu Syifa dan bu Rani.
Anak-anak lain yang berada disana datang bergerombol mengerubungi Rara. Penasaran dengan kecelakaan kecil yang baru saja terjadi. bu Syifa berusaha meminta anak-anak lainnya tidak bergerombol. Bu Syifa mengintruksikan kepada anak-anak lainnya untuk segera masuk ke dalam kelas karna sebentar lagi jam istirahat akan selesai.
Rara segera di bawa menuju UKS untuk segera diobati lukanya. Bu Rani berlari ke arah UKS sambil menggendong Rara di tangannya. Sena dari belakang mengikuti bu Rani. Raut wajah Sena khawatir. Baru juga sebentar ia bersenang-senang dengan gadis banyak tingkah itu, sudah harus menelan kekhawatiran.
Wajah Rara basah akibat air matanya yang terus mengalir. Rambutnya berantakan tak beraturan. Darah di lututnya mengalir hingga mengenai betisnya. Sena duduk disamping Rara. Berusaha menenangkan Rara.
Seorang perawat dengan sigap menyiapkan peralatan yang dibutuhkan sebagai pertolongan pertama. Tubuhnya pendek berisi, kepalanya ditutupi oleh hijab berwarna putih. Ia biasa di panggil ibu Sarah. Ia sudah lima tahun bekerja di taman kanak-kanak itu sebagai perawat disana. Keahliannya sangatlah hebat.
Tangisan Rara semakin pecah saat kapas beralkohol mendarat di lututnya. Rasa perihnya semakin menjadi-jadi. Sesekali ia menjerit kesakitan. Bu Nukeu, seorang wali kelasnya bergegas menghubungi bunda Rara.
Sena yang berada di samping Rara terus berusaha menenangkan Rara. Tangannya menggenggam erat tangan Rara. Ia berpikir itu akan membuat Rara menjadi sedikit tenang. Genggaman tangan Rara semakin erat saat kapas itu berulang kali mendarat di lututnya. Tangis dan teriakannya pun makin pecah.
Kemudian bu Sarah menuangkan betadine ke atas kapas lainnya. Ia mengusap-usapkan pelan ke pusat luka Rara. Genggaman tangan Rara dan Sena semakin erat saat kapas itu berada di lututnya. Kini tangisnya sudah tidak sepecah sebelumnya. Semakin lama, genggaman tangan Sena mampu menenangkan Rara dan juga mengurangi rasa sakit yang ia derita.
"Rara, aku janji. Aku nggak akan pernah ninggalin kamu apa pun yang terjadi," ucap Sena tiba-tiba. Rara hanya diam mematung dengan mata yang dipenuhi dengan air mata bagaikan sebuah genangan.
Selang sepuluh menit, Bunda Rara tiba di sekolah. Bunda Rara lantas menorobos masuk ke dalam ruang UKS. Ia mendapati Rara yang sedang duduk di atas ranjang pasien dengan perban yang melilit di lututnya. Disampingnya ada Sena yang setia menemani Rara sejak tadi.
Air matanya tak kuasa ia tahan. Ia memeluk Rara hingga tenggelam dalam dekapannya. Diusapnya halus rambut Rara yang tak beraturan itu. Ia benar-benar sangat khawatir.
Rara adalah anak kesayangan satu-satunya. Di keluarga kecilnya tidak ada lagi makhluk lain yang bisa menggantikan posisi Rara. Baginya Rara adalah kebahagiaan besar untuk keluarga kecilnya. Maka dari itu, ia sangat menjaga dan merawat Rara dengan sangat baik.
Mata bunda Rara teralihkan ketika melihat seorang anak laki-laki yang sedang duduk nyaman di samping Rara. Wajahnya nampak tak asing. Seperti pernah melihatnya.
"Bun, kenalin ini Sena teman baru Rara. Tampan ya dia," ucap Rara kepada bundanya.
"Iya," jawab bundanya sambil menyulam senyum manisnya.
"Sena terimakasih banyak ya sudah menemani Rara," lanjut bundanya kepada Sena. Sena pun mangangguk.
"Bun, Sena itu tetangga baru kita itu lho yang tadi pagi baru pindah."
"Oh...pantesan bunda seperti kenal sama wajahnya."
"Ayo, ra kita pulang. Sena sudah dijemput?"
"Belum."
"Mau bareng sama Rara? yuk."
Sena menolak ajakan itu. Ia memutuskan untuk menunggu ayahnya datang menjemputnya. Ia khawatir ayahnya nanti akan bingung mencarinya.
Rara, Sena, dan bunda Rara berjalan beriringan keluar gedung sekolah. Rara dan bundanya terus berjalan ke arah mobil bunda Rara terparkir. Sena duduk di kursi dekat taman sekolah seraya mengamati kepergian Rara dan bundanya dari jauh.