Chereads / Rara by Awan Kumal / Chapter 5 - Berpisah

Chapter 5 - Berpisah

Setelah beberapa hari selepas kelahiran Dara, malam Rara tidaklah sepi. Hampir setiap malam ia terbangun dari tidurnya akibat suara tangisan Dara yang menusuk telinga. Beberapa kali ia terciduk oleh sang guru karena tertidur saat jam pelajaran. Tak jarang ia dipanggil oleh kesiswaan untuk mendapatkan hukuman akibat ulahnya itu.

"Ra, kamu kenapa akhir-akhir ini jadi sering tidur di kelas?" tanya Sena.

"Aku ngantuk banget sen, tidurku selalu terganggu oleh tangisan Dara," jawab Rara.

Rara membuka tasnya, mengaduk-aduk mencari buku tulis matematikanya. Rara mulai panik saat ia menyadari bahwa buku matematikanya tidak ada di dalam tasnya. Di dalam buku itu ada tugas yang harus dikumpulkan hari ini. tampangnya cemas. Sena menegurnya ketika melihat tingkah Rara.

"Ra, kenapa?"

"Buku matematika aku nggak ada, sen. Bunda nggak masukkin buku matematikaku ke dalam tas," Rara cemas, semua isi tasnya ia keluarkan hingga berhamburan memenuhi mejanya.

Sena menatap jam yang menggantung nyaman di dinding kelas. Tinggal lima belas menit lagi pelajaran matematika akan dimulai. Sena lalu memberikan buku tulis matematikanya kepada Rara. Rara menatapnya bingung.

"Ini tulis lagi, lihat dari bukuku, ra," ucapnya sambil membuka lembaran buku.

Rara bergegas mengambil buku tulis lain miliknya. Lalu dengan cepat tangannya menyalin jawaban dari buku Sena. Hari ini Sena sungguh penyelamat bagi dirinya. Ia tidak tahu apa jadinya jika saat itu tidak ada Sena disana.

***

Dua tahun berlalu. Dara kini sudah berusia dua tahun. Begitu pula dengan Rara, usianya kian bertambah dan tanpa disadari telah menginjak usia sebelas tahun. Selama dua tahun ke belakang banyak perubahan yang terjadi dalam hidup Rara. Hal yang paling mengejutkan yaitu ketika keadaan memaksa dirinya untuk mampu bersikap mandiri.

Keberadaan Dara semenjak dua tahun lalu, memaksa Rara untuk mampu menyiapkan segala kebutuhannya sendiri. Bundanya kini sibuk mengurus urusan rumah dan Dara, adiknya yang masih kecil dan sedang aktif-aktifnya untuk eksplorasi. Dara membutuhkan pemantauan ekstra untuk menghindari terjadinya hal-hal buruk.

Perasaan khawatir yang sempat singgah dibenaknya dua tahun silam, kini benar terjadi. Kasih sayang yang ia terima kini terbagi menjadi dua. Malahan bunda dan ayahnya lebih besar memberikan perhatiannya kepada Dara, ketimbang dirinya. Rara mencoba memahami kondisi itu. Mungkin karna Dara masih kecil, belum bisa melakukan apa-apa tanpa bantuan bunda dan ayahnya.

Rara yang semakin lama melihat perubahan dari bundanya, merasa kesal. Sering kali ia menyalahkan Dara atas perubahan yang terjadi pada bundanya. Ia merasa Dara telah merebut perhatian bundanya. Tapi, bundanya tidak menyadari akan hal itu. Bundanya seolah bersikap biasa, seperti tidak terjadi apa-apa.

Tak jarang Rara dan Dara bertengkar. Sifat Rara yang tidak mau mengalah menjadi akar dari terjadinya pertengkaran itu. Ketika bundanya melihat pertengkaran itu, tentu saja Rara yang pertama kali mendapat omelan. Jika sudah begitu, Rara pergi mengunci diri di kamarnya, marah-marah sambil menangis sepuasnya. Beberapa menit setelahnya, bundanya datang kepadanya lalu meminta maaf kepada Rara karna sudah membentaknya. Kemudian setelah itu mereka berbaikan. Dan itu terjadi berulang-ulang kali.

Saat itu Rara, Dara, dan bundanya sedang berkumpul di ruang keluarga, mengajak Dara bermain. Wajah ketiganya terlihat bahagia. Sesekali Dara melemparkan mainannya karena bosan. Rara yang melihat kejadian itu, spontan mengambil mainan yang dilempar oleh Dara. Lalu meletakkannya di rak khusus penyimpanan mainan Dara.

Lama kelamaan Rara merasa bosan. Ia bukan tipe orang yang menyukai anak kecil. Baginya mengurus anak kecil adalah hal yang sangat merepotkan. Belum lagi kalau anak kecil itu menangis, sakit sekali rasanya telinga harus mendengarkan suara isakkan yang menusuk telinga. Ia pun pergi meninggalkan Dara dan bundanya. Kini ia duduk di kursi seraya memijit-mijit remote tv, mencari acara yang menurutnya menarik.

"Ra, kita buat kue yuk," ajak bunda Rara tiba-tiba.

"Ayuk, bun," jawabnya dengan penuh semangat.

Sebelum membuat kue, bunda Rara meniduri Dara terlebih dahulu. Kebetulan ini sudah masuk jam tidurnya Dara. Rara menunggu duduk di kursi yang sama seperti sebelumnya ditemani dengan tv yang menyala. Sesekali ia mengayun-ayunkan kakinya karna bosan.

Sangking lamanya menunggu, rasa kantuk datang menyerbunya. Mencoba merayunya agar segera terlelap. Rasa kantuk itu berhasil mengalahkannya. Ia akhirnya terlelap dengan mulut terbuka di kursi. Ia tidur dalam kondisi tv masih menyala, seolah tv itu kini sedang menonton pertunjukan tidurnya.

Dara sudah terlelap jauh ditelan mimpi. Bundanya berjalan menghampiri Rara yang kini tengah terlelap di kursi. Ia mencoba membangunkan Rara dengan menggoyang-goyangkan tubuh Rara. Tubuh Rara hanya menggeser, matanya masih terpejam, mulutnya menggumamkan kata tak bermakna.

"Ra, bangun. Katanya mau bantuin bunda buat kue?" ucap bunda Rara.

"emmm," gumam Rara.

Akhirnya bunda Rara memutuskan untuk membuat kue sendiri tanpa dibantu oleh Rara. Pertama, ia menyiapkan alat dan bahan yang akan ia gunakan. Ia menjajarkan alat dan bahan itu di meja makan. Kemudian ia mulai memasukkan bahan satu persatu sesuai dengan langkah-langkah pembuatan kue pada umumnya. Setelah menjadi adonan, ia masukkan ke dalam oven untuk dipanggang selama beberapa menit.

Aroma kue yang manis menyesakki setiap sudut ruangan rumah. Tak ada seorang pun yang tak tergoda ketika mencium aroma itu. Begitu pun dengan Rara. Aroma manis kue menusuk hidungnya hingga membuatnya terbangun. Rara berjalan setengah sadar ke arah aroma itu. Hampir saja ia menabrak dinding pembatas antara dapur dan ruang keluarga.

"Eh...bangun juga kamu akhirnya, ra," ucap bunda Rara.

"hehehe."

"Ra, cuci muka dulu gih. Setelah itu, tolong antarkan kue yang di piring ke rumah Sena," pinta bundanya.

"Oke siap, bun."

Rara menyapu bersih wajahnya dengan air mengalir. Wajah bantalnya kini sudah lenyap. Wajahnya terlihat lebih segar jika dibandingkan dengan sebelum tidur.

"Bun, Rara pergi dulu ya," pamit Rara.

"Iya."

Rara berjalan riang seraya membawa piring putih di tangannya. Langkahnya berjalan seraya melompat-lompat kecil. Mulutnya berkicau menyanyikan sebuah lagu milik trio kwek kwek yang berjudul katanya.

Australia negeri wool

Katanya katanya

Aborigin sukunya

Katanya katanya

Bumerang senjatanya

Wow wow

Kangguru binatangnya

Nyanyiannya terhenti ketika ia telah sampai di depan pintu rumah Sena. Mulutnya kini berkicau memanggil-manggil nama 'Sena'. Kemudian Sena datang membukakan pintu untuknya. Rara diam mematung ketika pintu itu terbuka. Matanya memandang Sena dari atas ke bawah, seolah melakukan scanning. Sena berpenampilan sangat rapih. Beberapa barang di dalam rumahnya diselimuti oleh kain putih. Matanya menatap Sena bingung.

"Sena, kamu mau pergi? Kenapa barang-barang di rumah kamu ditutupi kain putih? Ada apa ini?" Rara langsung menghujani Sena dengan pertanyaannya.

"Ra...emm...aku...."

"Aku apa, sen? Kamu mau pergi?" Nada bicara Rara agak meninggi, mendesak Sena untuk segera menjawab pertanyaannya.

"Ra...hari ini aku mau pindah."

"Pindah? Kemana?"

"Malang, ra."

"Kenapa?"

"Ayahku mengajak aku dan mamaku untuk tinggal disana. Aku nggak tau alasan pastinya apa."

"Tapi, kamu kan sudah janji waktu itu."

"Janji apa?"

"Janji kalau kamu nggak akan ninggalin aku. Kamu lupa, sen?"

Sena diam mematung, tidak menjawab perkataan Rara. Lidahnya seolah membeku, otaknya berhenti bekerja sejenak, pandangannya menengadah ke bawah menatap kosong lantai rumahnya.

Rara pergi meninggalkan Sena dengan perasaan amat sedih. Air matanya mulai mengalir membasahi pipinya. Ia merasa ditipu oleh Sena. Tangannya masih membawa piring berisikan kue titipan bundanya.

Sesampainya di rumah, Rara meletakkan piring berisikan kue itu di meja makan. Kemudian ia berjalan cepat mengarah kamarnya. Ia membanting pintu kamarnya dengan keras. Bunda Rara terkejut. Begitu pun dengan Dara, ia terkejut dan akhirnya terbangun seraya merengek keras. Bundanya menatap Rara bingung.

"Ra, kamu kenapa?" tanya bundanya dengan Dara yang merengek digendongannya.

Rara tidak menjawab. Ia sibuk menikmati tangisannya dari dalam tindihan bantal. Tangisan Rara dan Dara saling bersautan, bagaikan konser paduan suara. Keadaan rumah menjadi geger tak karuan.

Tidak lama, Sena datang dengan pakaian rapihnya. Mencoba mengetuk-ngetuk pintu bercat putih bertuliskan Rara. Tak ada respon dari sang pemilik kamar. Hanya terdengar suara isak tangis yang semakin mengeras.

"Ra, buka pintunya ra," pinta Sena. "Ra, aku minta maaf nggak bisa nepatin janji itu. Biarpun nanti kita jauh, tapi kita masih saling mengirim surat, ra. Nanti akan aku kirimkan suratku beserta alamat rumahku disana. Aku janji setiap seminggu sekali akan mengirimkanmu surat," lanjut Sena.

Namun, Rara tetap tidak menjawab perkataan Sena.

"Ra, aku pamit ya," pamit Sena untuk terakhir kalinya.

Mendengar ucapan terkahir Sena membuat tangisnya semakin pecah. Hatinya begitu sakit. Kenapa Sena tidak bilang apa-apa? Kenapa harus mendadak seperti ini? Hatinya sulit untuk menerima. Ia sudah terbiasa dengan Sena. Bagaimana hidupku nanti jika tidak ada Sena?

Tubuh Rara melompat dari ranjang ketika mendengar suara mesin mobil yang menderu. Ia mengintip dari jendela kamarnya, mendapati mobil ayah Sena sedang berjalan keluar garasi. Rara sontak berlari keluar menghampiri mobil ayah Sena. Mobilnya kini terparkir disamping pagar rumah Sena. Sena berjalan menuju mobil ayahnya. Melihat Rara yang datang menghampiri membuat langkahnya terhenti.

"Sen, hati-hati ya," ucapnya sambil memeluk tubuh Sena dengan air mata yang terus mengalir keluar membasahi pipinya.

Sena mengangguk, tanda mengerti. Tubuhnya membalas pelukan Rara. Kini keduanya saling berpelukan erat. Mata Sena yang semula kering, perlahan mulai membasah. Pelukan keduanya terlepas ketika mama Sena memanggilnya untuk segera masuk ke dalam mobil.

"Rara, suatu saat kalian pasti bertemu lagi. Jangan khawatir, nak," ucap mama Sena sambil membelai halus rambut Rara yang berantakan.

Rara mengangguk dengan air matanya yang masih mengalir deras. Rara dan Sena saling melambaikan tangan. Merayakan perpisahan mereka. Ini sangat berat untuk Rara. Melepas begitu saja seorang teman yang selalu menemaninya sejak kecil.

Mobil ayah Sena mulai menancap gas. Perlahan mobil itu menjauh. Mata sembab Rara terus mengamati mobil itu hingga tak nampak, hilang dari pandangannya.