Chereads / Rara by Awan Kumal / Chapter 7 - Acara Perpisahan  

Chapter 7 - Acara Perpisahan  

Ujian kelulusan telah usai. Berganti dengan penyambutan acara perpisahan sekolah. Tiga minggu lagi acara perpisahan akan digelar. Para siswa diminta oleh guru untuk membantu mengisi rundown acara, menunjukkan bakat yang dimilikinya. Mereka diberi kebebasan memilih, boleh menyanyi, menari, bermain musik, dan lain sebagainya.

Semua siswa antusias menyambut acara perpisahan itu. Begitu pun dengan Rara. Semangat dalam jiwanya membara bagaikan kobaran api. Ia memutuskan untuk menampilkan tari. Ia berkeliling mencari orang yang ingin tampil bersamanya. Ditanyanya satu persatu orang yang satu kelas dengannya. Didapatlah Nindi, Rere, Safi, dan Vivi yang ikut bergabung dalam grup tarinya.

Persiapan penyambutan acara perpisahan membuatnya sibuk. Waktunya banyak dihabiskan untuk berlatih. Hampir setiap hari Rara dan kawan-kawannya itu berlatih di sanggar ibu Rere. Beruntung sekali kawan satu grupnya memiliki seorang ibu yang bekerja sebagai guru tari, sehingga mereka tidak perlu pusing-pusing mencari guru tari. Untuk urusan kostum pun sudah ada, tidak perlu khawatir lagi.

Rara dan kawan-kawannya berencana ingin menampilkan tarian tradisional yang bernamakan tari yapong. Tarian ini berasal dari Jakarta. Ibu Rere sendiri yang menyarankan mereka untuk membawakan tarian ini, karna ia rasa tarian ini tidak terlalu sulit untuk anak seumuran Rara dan kawan-kawannya.

Tubuh Rara mulai bergerak mengikuti alunan musik. Gerakannya sering kali berbalapan dengan musik, hingga tidak menghasilkan harmonisasi yang baik. Ditambah lagi banyak gerakan yang belum dihafalnya, membuatnya tertinggal dengan kawan-kawannya. Pola lantainya juga masih kacau. Saat ingin berpindah posisi, tubuh mereka malah saling bertabrakan, dan akhirnya terjatuh bergeletakkan di lantai.

Mereka berlatih dengan sangat giat. Dimulai dari siang hari sampai sore hari. Kesibukkannya ini membuat Rara lupa dengan Sena. Pikirannya kini terfokuskan akan penampilan tari terbaiknya. Ia ingin membuat bundanya bangga kepadanya saat menonton penampilannya nanti. Pikirannya sudah membayangkan jauh. Memikirkannya sudah membuatnya senang, apa lagi kalau benar-benar terjadi.

Rara dan kawan-kawannya beristirahat sejenak, sekadar ingin menghilangkan rasa haus dan lelahnya. Ia meneguk air dengan cepat dari botol minum merah jambunya. Kini air di botolnya tersisa setengah. Ia simpan untuk bekalnya diperjalanan pulang nanti. Tangannya merogoh totebag polos berwarna ungu berusaha mencari handuk kecil yang ia bawa. Keringat yang membasahi dahi dan anak rambutnya ia hapus dengan handuk itu.

Musik mulai dilantunkan kembali. Rara dan kawan-kawannya bergegas mengambil posisi. Tangannya mulai bergerak mengikuti arahan ibu Rere. Kakinya melangkah ke sana ke mari mengikuti tempo musik. Tubuhnya melenggak lenggok bagaikan penari profesional.

"Senyumnya keluarkan!" ucap ibu Rere mengingatkan.

Senyum tersulam di wajah mereka. Gerakannya mulai kompak mengikuti alunan musik. Rara kerap kali masih tertinggal. Pandangannya melirik sana sini, berusaha mencontek gerakan kawannya. Sangat sulit baginya untuk bisa menghafal setiap perubahan gerak. Batinnya ingin menyerah saja. Tapi, tekad kuatnya mengatakan jangan sekarang. Rara yakin, pasti ia juga bisa seperti kawannya yang lain.

Latihan hari itu dicukupkan, dilanjutkan lagi keesokannya. Rara pulang, begitu pula dengan kawan-kawan satu grup tarinya. Rasa lelah kini menjadi kawan perjalanan pulangnya. Ia memanggil tukang ojek yang tengah mangkal di depan warung. Ia tidak sanggup jika harus jalan kaki menuju jalan besar. Kakinya sudah lemas akibat menari.

Tukang ojek itu memberikannya sebuah helm hitam untuk melindungi kepalanya, selain itu untuk menghindari tilangan polisi. Motor itu melaju dengan kecepatan sedang. angin sepoi bertiup, seolah sedang menghibur rasa lelahnya. Nikmatnya tiupan angin itu, mendatangkan rasa kantuk kepadanya. Susah payah ia menahan rasa kantuk itu. Ia hanya takut jika nanti ia tertidur di motor lalu jatuh.

Sesampainya di rumah, Rara menghempaskan tubuhnya ke kursi di ruang keluarga. Ia rentangkan lebar kakinya hingga menghalangi siapa pun yang ingin lewat. Matanya terpejam. Suara tertawa anak kecil masuk menyelinap ke dalam telinganya.

"Bruk."

Rara terbangun karna merasa ada sesuatu yang menabrak kakinya. Ditangkapnya sang adik, Dara tengah tersungkur di atas lantai sambil menangis. Bundanya yang juga mendengar suara tangisan itu bergegas menghampiri. Wajah bundanya memandang Dara khawatir. Dara dibawa dalam gendongan bundanya. Tangan bundanya mengusap-usap punggung Dara, memintanya untuk tenang.

"Rara, kamu apain adik kamu?" tanya bundanya murka.

"Rara Cuma diam, bun. Dara sendiri yang nggak lihat saat jalan. Sudah tahu disitu ada kaki Rara," jawab Rara ikut kesal.

Rara menghentakkan kakinya ke kamarnya. Bundanya menatapnya kesal sambil melempar amarah kepadanya.

"Baru juga pulang, sudah buat masalah saja," teriak bundanya.

Hati Rara bagai ditusuk pisau tajam saat mendengar kalimat itu. Ia tidak menyangka keluar kalimat seperti itu dari mulut bundanya, seorang manusia yang dulu sangat mengasihinya. Kalimat bundanya mengisyaratkan bahwa dia pembawa masalah. Dalam hatinya tidak pernah terbesit keinginan untuk menyakiti adiknya. Ia memang sangat amat tidak menyukai adiknya. Tapi, ia tetap tau batasan. Ia tidak mungkin berbuat hal keji kepada adiknya.

Rara duduk menangis di balkon kamarnya. Pandangannya berlayar menatap rumah kosong di sebrang rumahnya. Ingatan tentang Sena yang sebentar ia lupakan kembali datang. Ia tak habis pikir kenapa ini semua bisa terjadi padanya. Sena yang membuat hari-harinya menyenangkan, pergi meninggalkannya tanpa kabar. Bundanya yang dulu sangat mengasihinya, kini berubah semenjak kehadiran Dara. Rara terus menangis hingga tertidur.

***

Malam datang dengan kesunyiannya. Rara terbangun karna rasa lapar yang menyerangnya. Di dalam perutnya seperti sedang ada rombongan paduan suara yang memainkan nada tingginya. Rara berjalan keluar kamarnya menuju dapur untuk mencari sesuatu yang bisa ia jadikan sebagai santapannya.

Mie goreng dan telur orak-arik. Itulah menu makan malamnya. Ia melahap mie itu sambil sesekali mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Bundanya tiba-tiba datang menghampirinya.

"Ra, acara perpisahanmu itu kapan?"

"Seminggu lagi, bun."

"Ra, bunda nggak janji akan datang ya. Kamu tahu sendiri kan sekarang ada Dara. Bunda nggak mungkin ninggalin Dara. Ayahmu juga kerja, kalau bunda bawa Dara ke sekolah juga pasti repot."

"Iya, bun. Rara ngerti kok."

Bundanya pergi meninggalkannya sendiri. Wajahnya menunduk sambil mengunyah mie goreng. Air matanya menetes perlahan. Ia kira bundanya datang menghampirinya ingin meminta maaf atas sikapnya tadi sore. Namun sebaliknya, Rara malah dibuat semakin sedih. Harapan kehadiran bundanya di acara perpisahannya menjadi semu.

***

Keesokkan harinya, Rara berlatih lagi bersama kawan-kawannya. Ia sudah tidak peduli dengan kehadiran bundanya nanti. Ia hanya ingin menari, menampilkan tampilan terbaiknya walau pun hanya di depan penonton lain.

Waktu perhelatan perpisahan semakin dekat. Rara semakin mengejar ketertinggalannya. Ia berusaha keras menghafalkan setiap gerakan dan pola perpindahannya. Ibu Rere berdiri di depan memberikan semangat kepada Rara dan kawan-kawannya.

"Rara, ayo semangat senyumnya jangan lupa!" teriak ibu Rere.

Rara tersenyum senang. Semangatnya yang perlahan runtuh seolah bangkit lagi. Kini gerakkannya mulai kompak dengan yang lainnya. Pola perpindahannya tepat sesuai sasaran.

Latihan hari itu hanya dilakukan sebentar. Ibu Rere meminta Rara dan kawan-kawannya untuk berlatih sendiri di rumah mereka masing-masing. Mendadak ia harus keluar kota, menjenguk ibunya yang kini tengah terbaring sakit. Ia tidak tahu kapan akan kembali lagi. Rere, anaknya ia tinggal di rumah bersama suaminya.

Dengan berat hati, Rara pulang. Sebenarnya ia masih ingin latihan bersama kawan-kawannya. Jika dibandingkan dengan kawan-kawannya, gerakannya belum begitu lihai. Ia masih perlu latihan lebih keras lagi untuk menyamakan gerakannya dengan kawan-kawannya.

Mereka berpamitan kepada ibu Rere. Ibu Rere menanggapinya dengan baik. Mereka berpesan kepada ibu Rere untuk berhati-hati di jalan. Mereka juga mendoakan atas cepatnya kesembuhan dari ibunya.

Rara pulang dengan tukang ojek seperti kemarin. Kakinya terlalu malas untuk melangkah lebih jauh. Pikirnya hanya ingin cepat sampai rumah, lalu berlatih lagi.

"Eh...neng yang kemarin. Mau pulang ya neng?" sapa tukang ojek itu.

"Iya bang. Antar saya ke tempat kemarin ya, bang."

Tukang ojek itu memberikan helm yang sama kepada Rara. Rara menerimanya, lalu memasukkan kepalanya ke dalam helm itu. Helm itu menyisakan ruang kosong di antara kepalanya, mempersilahkan hembusan angin untuk berlindung di setiap sisinya.

"Neng, dari mana?" tanya tukang ojek itu.

"Dari sana, bang."

"Habis ngapain, neng?"

"Latihan nari, bang."

"Hah...nyari apa?"

"Nari bang, bukan nyari."

"Oh iya iya."

"Sudah ketemu yang dicari?" lanjut tukang ojek itu.

"emmm."

Suara bising kendaraan dan dekapan helm membuat komunikasi keduanya tidak berjalan lancar. Dari balik tubuh tukang ojek itu, Rara hanya menggumam agar pembicaraan itu cepat berakhir. Tukang ojek itu terus mengajaknya bicara. Namun, percuma saja apa pun jawaban yang diberikan oleh Rara pasti dijawabnya tidak nyambung.

Sesampainya di rumah, Rara memberikan lagi helm itu beserta selembar uang untuk membayar jasanya. Tukang ojek itu menerima uang pemberian Rara, lalu langsung melesat kembali ke tempat asalnya.

Sampai rumah, Rara bergegas masuk kamar, lalu menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia kemudian memutarkan musik dari dvd, lalu mulai menari. Gerakannya masih banyak yang salah. Ia memutar ulang musik itu, dan terus menari hingga gerakannya benar. Sesekali tubuhnya terjatuh, akibat tersandung kakinya sendiri. Namun, ia bangkit lagi dan melanjutkan latihannya.

"Ra, tolong jagain Dara sebentar. Bunda mau ke warung sebentar," pinta bundanya tiba-tiba.

Bola mata Rara memutar. Ia merasa terganggu dengan sikap bundanya. Demi memenuhi kewajibannya sebagai anak yang baik, terpaksa ia mengikuti permintaan bundanya. Ia duduk diam menatap Dara yang kini tengah berlarian ke sana ke mari.

"Bruk."

"Dara!" teriak Rara yang terkejut melihat Dara jatuh tersungkur ke lantai.

Rara berlari menuju posisi Dara. Ia mengangkat tubuh Dara yang kini tengah tengkurap di lantai. Rara amat sangat terkejut ketika melihat wujud bibir Dara. Bibirnya mengeluarkan darah yang tidak sedikit. Dara menangis keras karna merasa kesakitan. Rara dihadapannya panik, tidak tahu harus berbuat apa.

Saat itu juga bundanya pulang. Wajahnya murka melihat kondisi itu. Matanya membelalak lebar menatap Rara.

"Rara, kamu apain lagi adik kamu? Baru juga ditinggal sebentar ke warung," bentak bundanya.

"Dara jatuh sendiri, bun," ucapnya mencoba menjelaskan keadaan sebenarnya.

Bundanya tidak menerima penjelasannya. Bundanya sangat marah kepadanya. Bundanya pergi dengan Dara, meninggalkan Rara dengan cercaan-cercaan yang ia lontarkan sebelumnya. Mungkin, bundanya pergi ke klinik terdekat. Dengan kondisi Dara yang seperti itu tidak mungkin bagi bundanya untuk pergi ke pasar, apa lagi ke mall. Sangatlah mustahil.

Setelah kejadian itu Rara menangis. Menangis sendiri di kamar ditemani dengan interior-interior yang memenuhi kamarnya, menelan mentah-mentah rasa sakit yang ia dapatkan dari bundanya. Hanya itu yang bisa ia lakukan saat itu.

***

Perhelatan acara perpisahan telah tiba. Seluruh siswa datang ke sekolah ditemani dengan orang tuanya masing-masing. Semua siswa sudah bersolek mengenakan kostumnya. Begitu pun Rara dengan kawan-kawannya. Wajah mereka kini sudah terpoles riasan tebal yang membuat pangling siapa pun saat melihatnya. Tubuhnya mengenakan pakaian khusus tari yapong.

Beberapa menit sebelum tampil, mereka berlatih sekali lagi. Mengompakkan setiap gerakan. Gerakan Rara kini sudah lihai seperti penari profesional. Tubuhnya melenggak lenggok mengikuti tempo alunan musik. Senyumnya merekah, seolah tak ada beban.

Bundanya tidak hadir dalam acara itu. Sibuk mengurus urusan rumah dan Dara. Hatinya memanglah sedih. Bahkan sangat sedih. Melihat kawan-kawannya ditemani dengan orang tuanya, namun ia tidak.

Rara mencoba menepis perasaan sedihnya. Ia tidak ingin menghancurkan penampilannya hanya karna itu. Mungkin nanti bundanya bisa menontonnya melalui rekaman ulang. Ia menyulam senyum di wajahnya untuk menghapus kesedihan yang ia pendam.

Gilirannya untuk tampil tiba. Rara dan kawan-kawannya bergegas menaiki panggung, lalu bersiap di posisi. Panggung masih dalam keadaan gelap. Suara sang pembawa acara meminta kepada para penonton untuk menyambut penampilannya. Suara tepukan tangan dan sorakan menyambutnya. Musik mulai bermain sesuai dengan perannya. Diikuti oleh lampu sorot yang tiba-tiba menyorotinya. Kini dirinya seolah menjadi bintang sehari.

Penampilannya telah usai, meninggalkan kesan yang tak terlupakan untuknya. Para penonton merasa terhibur dengan penampilan tariannya. Suara tepukan tangan menghujaninya. Dirinya merasa bangga akan apresiasi itu. Lagi-lagi senyumnya mengembang. Ia melupakan bundanya yang kini tak ikut menonton disana.