Chereads / Rara by Awan Kumal / Chapter 8 - Kawan Baru  

Chapter 8 - Kawan Baru  

"Ra, bangun. Sudah siang, nanti kamu kesiangan." teriak bundanya.

Tubuh Rara menggeliat mendengar suara bundanya. Tubuhnya masih ingin bermanja di ranjang. Dipeluknya lagi guling yang sudah menipis. Matanya masih terasa berat seolah ada sesuatu yang menahannya. Alam bawah sadarnya mengatakan lima menit lagi.

Acara perhelatan perpisahan sudah berlalu jauh. Kini statusnya sudah berubah menjadi siswa menengah pertama. Usai beberapa hari perhelatan itu, bundanya menonton penampilannya melalui rekaman ulang yang diberikan dari sekolah. Bundanya menatap bangga setelah menonton penampilan anaknya.

"Rara, itu sudah jam setengah tujuh!" ucap bundanya sambil memercikkan air ke wajah Rara yang masih menempel di bantal.

Rara spontan melompat dari ranjangnya. Ia sudah sangat kesiangan. Disambarnya handuk dengan kasar yang sedang berbaring nyaman dalam rak. Tak ada lima menit ia mandi. Sudah tak ada cukup waktu untuknya mandi berlama-lama.

Kini ia sudah rapih dengan pakaian merah putih disertai dengan aksesoris khas ospek yang melekat pada tubuhnya. Tas kardus yang baru saja kemarin ia buat, ia rangkulkan di bahunya. Kepalanya mengenakan topi kerucut berwarna biru berbahan karton. Nametag berukuran sedang mengalungi lehernya.

"Bun, Rara berangkat ya," ucapnya sambil berlari.

"Kamu nggak sarapan dulu, ra?" tanya bundanya.

"Engga bun, nanti Rara makan disana saja."

Rara berlari dengan kencang mengarah gerbang perumahannya. Butuh waktu beberapa menit untuk menunggu angkutan umum yang mengarah ke sekolah barunya. Menurutnya sudah tak ada lagi cukup waktu untuk menunggu. Ia akhirnya memutuskan untuk berlari dengan kecepatan maksimalnya.

Ditengah pelariannya itu, Rara merasa lelah. Nafasnya mulai tak beraturan. Keringatnya pun sudah membanjiri dahinya. Ia berhenti sejenak untuk mengambil nafas, menyeka keringatnya yang menetes lambat di dahinya. Saat itu juga angkutan umum yang mengarah ke sekolah barunya melewatinya. Ia berlari mengejar angkutan umum melupakan rasa lelahnya. Lantas ia berteriak memanggil sang supir untuk memberhentikan angkutannya.

Angkutan itu berhenti. Rara bergegas menginjakkan kakinya ke lantai angkutan umum itu. tubuhnya membungkuk, takut membentur langit-langit angkutan itu. Kemudian ia duduk di kursi kosong tepat belakang sang supir. Angkutan umum itu kini berjalan dengan kecepatan sedang.

"Bang, jalannya bisa ngebut sedikit ngak. Saya sudah telat banget nih," ucapnya kepada sang supir.

"Yeee si eneng, saya kan sekalian cari pelanggan. Nanti kalau saya ngebut pelanggan saya kelewat gimana?" jawab supir itu.

Rara gemas mendengar jawaban sang supir. Rasanya ia ingin beralih duduk di kursi kemudi, bertukar dengan sang supir. Kemudian ia bawa kabur angkutan itu dengan kencang. Lalu sang supir berteriak-teriak, meneriakkan angkutannya yang dibawa kabur oleh seorang manusia yang tidak tahu cara mengemudi. Dari balik kemudi ada seorang manusia yang tak tahu cara mengemudi sedang asal menginjak gas dan tertawa-tawa atas kemenangannya. Begitu imajinasinya.

Akhirnya kini ia tiba di gerbang sekolah. Jarak gedung dengan gerbang sekolah cukup jauh. Rara kembali berlari mengandalkan sisa-sisa tenaganya. Di dekat gedung sekolahnya terlihat seorang panitia ospek yang sudah siap menyambut kedatangan murid baru yang terlambat.

"Kamu, sini dulu," panggilnya.

"Saya, kak?" tanya Rara.

"Iya kamu." jawabnya ketus.

"Kamu tahu kesalahan kamu apa?"

"Terlambat, kak," jawab Rara sambil menundukkan kepala, seolah sedang mengheningkan cipta.

"Kenapa bisa terlambat? Baru juga hari pertama, gimana besok?"

"Maaf, kak. Saya janji besok nggak akan terlambat lagi."

"Ya sudah, sekarang kamu ikut baris di barisan sana."

Rara berjalan ke barisan yang sebelumnya ditunjuk oleh panitia ospek yang membentaknya.

"Kalian tahu kenapa kalian dikumpulkan disini?" tanya panitia ospek lainnya.

Peserta ospek yang berada dibarisan itu hanya mengangguk. Rara celingukkan menoleh ke kana ke kiri. Melihat tingkah peserta lainnya, ia pun mengikuti mengangguk. Rara kini berada di barisan orang-orang yang melanggar aturan. Namun, ia belum sadar dengan posisi itu. Ia pikir setiap barisan sama.

"Kamu!" teriak panitia ospek kepada Rara.

"Saya?" tanya Rara.

"Iya, kamu," bentaknya.

Rara datang menghampiri panitia ospek itu.

"Karna kamu terlambat, sekarang cabutin rumput di halaman sana. Bareng sama teman-temanmu itu," ucapnya sambil menunjuk orang-orang yang tengah mencabuti rumput.

Rara menurut. Ia lantas berjalan mengikuti petunjuk panitia ospek itu. Ia mulai mencabuti rumput-rumput liar sesuai suruhan panitia ospek. Disana ia tidak sendiri. Ada sekitar tiga orang yang senasib dengannya.

Keringat Rara mengalir. Kini tidak hanya membanjiri dahinya. Hampir sebagian pakaiannya yang ia kenakan basah akibat keringatnya yang begitu banyak. Sisi topi kerucutnya mulai layu akibat terkena keringatnya. Wajahnya pun terlihat pucat. Dari perutnya terdengar suara gemuruh, berteriak ingin segera dipenuhi haknya. Mentari pagi kala itu sungguh terik, seakan sedang berusaha menyombongkan sinarnya, menyilaukan semua orang yang kini tengah berada di jangkauannya.

"Hey, wajahmu pucat," ucap salah seorang peserta ospek yang senasib dengannya.

"Hah, masa?" tanya Rara tak percaya.

"Kamu sakit?" tanyanya lagi.

"Nggak kok, aku nggak sakit," jawab Rara sambil menyeka keringatnya yang mengaliri dahinya.

"Perkenalkan, namaku Disa."

"Aku Rara."

"Hey, kalian ngapain ngobrol?" bentak salah seorang panitia ospek yang menciduknya.

Rara dan Disa terkejut mendengar bentakkan itu. Keduanya melanjutkan pekerjaannya mencabuti rumput. Sesekali mereka mencuri kesempatan untuk mengobrol.

Setelah mencabuti rumput, Rara dan peserta ospek lainnya diberikan waktu selama tiga puluh menit untuk beristirahat. Rara bergegas menuju kantin dengan Disa, teman barunya. Hanya butuh waktu beberapa menit, kini keduanya sudah akrab, seperti kawan lama.

Kantin dipadati oleh peserta ospek yang tengah kelaparan. Setiap gerai makanan penuh. Hanya satu gerai makanan yang nampak tidak terlalu ramai. Rara dan Disa akhirnya memutuskan untuk menuju ke gerai yang tidak terlalu ramai.

"Pak, siomaynya tiga porsi ya," ucap Rara.

"Tiga porsi, ra?" tanya Disa heran.

"Aku dua porsi, kamu satu porsi," jawab Rara.

"Kamu makan dua porsi, ra? Serius?" tanya Disa tak percaya. Disa memandang tubuh Rara kurus, ia tak percaya Rara bisa makan sebanyak itu. Rara hanya menyengir.

"Neng, ini siomaynya," ucap tukang siomay dihadapan Rara.

"Ini pak uangnya. Terima kasih, pak."

Kini Rara dan Disa celingukkan mencari kursi kosong. Semua kursi di kantin hampir penuh. Butuh kejelian ekstra untuk bisa menemukan kursi kosong. Rara mendapati kursi yang hanya diduduki oleh satu orang perempuan. Rara mengajak Disa untuk duduk di sana.

"Boleh gabung?" tanya Rara.

"Iya, boleh," jawabnya ramah.

Mereka akhirnya duduk, bergabung dengan perempuan itu. Kepala perempuan itu terus menunduk ke bawah, memandang hidangannya. Mangkuk berisikan bakso yang dipesannya kini tersisa setengah. Mulutnya sibuk mencerna bulatan bakso dicampur dengan mie kuning.

Keadaan ketiganya kini canggung. Mereka sibuk dengan santapannya masing-masing. Seorang anak perempuan yang kini tengah duduk dihadapan Rara, dan Disa hanya diam tak bergeming sedikit pun. Sesekali anak perempuan itu memandang Rara, dan Disa sambil tersenyum. Lalu kembali tertunduk.

"Ra, ngomong dong," bisik Disa.

"Ngomong apa?" tanya Rara balik membisik Disa.

"Apa kek," bisik Disa.

Rara menarik nafasnya panjang. Kemudian menghelanya dengan panjang juga.

"Perkenalkan, namaku Rara," ucap Rara tiba-tiba mencoba mencairkan suasana yang canggung.

"Aku Disa," ucap Disa.

"Aku Nanay," ucap perempuan itu.

Setelah perkenalan singkat itu, mereka kembali sibuk dengan hidangannya masing-masing. Keadaan kembali canggung. Anak perempuan bernama Nanay itu sungguh hemat berbicara. Sepertinya ia juga anak yang sangat pemalu. Terlihat dari gelagatnya.

Penampilan Nanay terlihat seperti anak kutu buku. Di wajahnya menggantung kacamata hitam dengan lensa yang cukup tebal. Caranya berpakaian sangatlah rapih. Rambutnya pun terikat satu ke belakang sangat rapih. Berbanding terbalik dengan Disa, kawan baru Rara. Penampilannya seperti anak gaul. Cara berpakaiannya agak berantakan. Rambutnya diikat kendur hingga membuat beberapa anak rambutnya melepaskan diri dari tali ikatannya.

"emm..nay kamu sendirian saja?" tanya Rara tiba-tiba.

"Iya," jawab Nanay.

"Mau gabung sama kita?"

"Gabung apa?"

"Jadi teman kita. Mau?"

"Iya, boleh."

Setelah selesai makan, Rara, Disa, dan Nanay berbaris di lapangan sesuai dengan kelompoknya seperti peserta ospek lainnya. Salah seorang panitia ospek meniupkan nyaring peliutnya. Meminta peserta ospek lainnya untuk bergegas masuk ke dalam barisan. Beberapa peserta ospek berlarian panik.

Setiap peserta ospek yang baru tiba di lapangan, diminta untuk membuat barisan baru. Namun, berbeda dengan salah seorang anak perempuan melenggak lenggok berjalan santai, kemudian datang menghampiri barisan Rara.

"Aku boleh baris disini nggak?" tanya anak perempuan itu.

"Memang harus banget disini ya?" tanya Rara balik.

"Iya, harus."

"Nggak, aku nggak mau. Ini tempatku. Kamu baru datang, seharusnya kamu buat barisan baru."

"Ya tapi, aku maunya di sini."

"Nggak."

Mereka berdua akhirnya beradu mulut. Lama kelamaan Rara kesal dengan sikap anak perempuan itu. tangannya gemas ingin menjenggut rambut hitamnya yang terkuncir ke belakang. Rara mencoba menahan amarahnya. Namun, anak perempuan itu terus memancing amarahnya. Akhirnya terjadilah perkelahian hebat antara Rara dengan anak perempuan itu.

Kondisi di lapangan menjadi ricuh tak karuan. Peserta ospek lainnya bersorak mendukung perkelahian itu. panitia ospek yang berada di lokasi kejadian, mencoba melerai keduanya. Sekilas keluar kalimat makian dari mulut anak perempuan itu. Rara yang mendengar makian itu, semakin brutal menghajar anak perempuan itu. Rara menarik rambut anak perempuan itu dengan sangat keras, hingga membuat anak perempuan itu mengerang kesakitan.

Akhirnya mereka diamankan ke sebuah ruangan oleh panitia ospek. Penampilan keduanya kini berantakan tak karuan. Pakaiannya keluar sana sini. Rambutnya berantakan seperti rambut singa. Aksesoris pelengkap ospeknya hancur. Keduanya kini duduk berdampingan dengan wajah ditekuk. Didepannya, berhadapan langsung dengan guru bimbingan konseling.

Sang guru mencoba meminta keduanya untuk berdamai. Namun, keduanya menolak. Keduanya merasa tidak bersalah. Mereka saling membenarkan tindakannya masing-masing. Rara beranggapan, anak perempuan itulah yang seharusnya meminta maaf padanya terlebih dahulu. Begitu pula dengan anak perempuan itu.

Kemudian sang guru meninggalkan mereka berdua di dalam ruangan itu. Perginya sang guru meninggalkan kesunyian pada ruangan itu. Lama kelamaan rasa bosan menyelinap masuk ke dalam ruangan itu. Membuat dua manusia yang ada di dalam ingin segera keluar.

"Maaf," ucap anak perempuan itu dengan suara pelan.

"Apa? Pelan banget ngomongnya."

"Maaf!"

"Nah gitu dong dari tadi. Bosan tahu lama-lama disini. Sudah aku maafkan kok sejak tadi. Yuk keluar"

Mereka pun keluar beriringan dari ruangan itu. Langkah mereka terhenti ketika melihat sang guru.

"Kenapa sudah keluar? Sudah berbaikan?" tanya Guru itu.

Keduanya mengangguk. Kemudian sang guru membiarkan mereka pergi untuk melanjutkan kegiatan ospeknya.

"Namamu siapa?" tanya Rara.

"Aku Kia," jawab anak perempuan itu.

"Aku Rara."