Sena sudah pergi meninggalkan Rara. Menyisakan ingatan-ingatan manis yang membuat Rara semakin sedih. Ingatan manis itu terus berenang di kepalanya. Menyelam semakin dalam tanpa menggunakan pelindung apa pun, sehingga membuat si penyelam merasa sesak.
Semenjak kepergian Sena, dunianya tidaklah seramai sebelumnya. Sering kali ia menatap kosong rumah di sebrang dengan mata nanarnya. Matanya seolah melihat bayangan dirinya tengah bermain dengan Sena. Tertawa berlarian kesana kemari. Namun, itu bukanlah kenyataan. Itu hanyalah ilusi. Kenyataan yang sebenarnya kini ia berjauhan dengan Sena.
Kerinduan datang menyerbunya. Mencoba menyelinap masuk tanpa permisi ke dalam lubuk hatinya. Sungguh tidak sopan rindu ini. Seenaknya saja masuk tanpa meminta izin sang pemilik hati. Apa perlu rindu ini disekolahkan supaya mengerti sopan santun?
Seminggu setelah pindahnya Sena, datang seorang bapak tua bertamu sebentar ke rumah Rara. Bermaksud sekadar ingin memberikan sepucuk surat yang dititipkan padanya. Sepucuk surat yang sudah lama dinanti-nanti oleh Rara.
Perasaan senang dan sedihnya bercampur tak karuan. Kali ini Sena menepati janjinya. Memancarkan harapan baru bagi Rara. Di dalam surat itu Sena menceritakan tentang kepindahannya. Selain itu, ia benar-benar melampirkan alamat rumah barunya di Malang.
Untuk Rara,
Ra, aku minta maaf ya. Maaf aku nggak bilang apa-apa ke kamu sebelum pindah. Maaf kalau aku tiba-tiba pergi ninggalin kamu. Bukan maksudku ingin ingkar. Bukan maksudku ingin jauh dari kamu. Aku tahu kabar pindah ini juga tiba-tiba. Semalam sebelum aku pindah, mama baru mengabariku. Aku pun terkejut awalnya. Aku pun sedih harus berjauhan dengan kamu, ra. Kemarin aku bertanya kepada ayahku sebab pindahnya kami ke Malang. Katanya klinik ayahku di Malang kini sedang mengalami masalah. Aku tidak tau pastinya bagaimana. Ayahku hanya bilang seperti itu. jadi ayah mengajak aku dan mamaku untuk pindah kesana.
Ra, aku disini baik-baik saja. Semoga kamu disana juga baik-baik saja. Besok aku akan mulai sekolah di sekolah baruku, ra. Sepertinya nanti sekolah tidak seramai dulu. Tidak ramai karna tidak ada kamu. Jujur aku rindu sama kamu, ra. Rindu dengan kejahilan kamu. Rindu dengan ketengilan kamu. Rindu dengan tingkah kamu yang tak bisa diam. Aku rindu semua tentangmu, ra.
Alamat ku di Malang ada di jalan Tugu No.12, Klojen, Malang. Kalau kamu ingin membalas suratku, kirim saja di alamat itu. aku tidak berharap banyak kamu membalas suratku ini. Aku hanya ingin meminta maaf dan mengabarimu kalau aku disini baik-baik saja. Mama bilang kepadaku, bahwa suatu saat nanti kita pasti akan bertemu lagi. Katanya aku tidak perlu khawatir.
Sudah dulu ya, ra. Nanti akan ku kirimkan surat lainnya.
Kawanmu
Sena
Rara menangis usai membaca surat itu. perasaannya bercampur tak karuan. Sedih pasti. Senang iya. Marah juga iya. Sedih karna ia masih membayangkan perpisahannya dengan Sena seminggu lalu. Senang karna surat Sena sudah tiba ditangannya. Marah karna Sena tidak berpamitan secara baik padanya.
Rara mengusap air matanya, mencoba menghapus kesedihan yang seminggu ini ia derita. Tangannya mulai menari-nari seraya menggenggam pulpen di atas selembar kertas putih kosong.
Untuk Sena,
Sen, kamu tau? Hatiku sedih sekali saat melihat mobilmu pergi saat itu. Seminggu ini aku banyak menghabiskan waktuku menangis di kamar, sen. Bunda dan Dara kadang datang ke kamar untuk menghiburku. Aku hanya terhibur sesaat. Saat aku sendiri di kamar, aku selalu teringat tentangmu, sen. Aku rindu kamu. Aku rindu bermain bersama kamu.
Kabarku disini kurang baik. sekolah masih ramai, sen. Tapi, tak seramai dulu. Tak seasyik dulu. Aku hanya ingin bermain denganmu. Bermain ayunan di taman belakang rumahmu. Menikmati cookies coklat lezat buatan mamamu. Aku ingin itu semua, sen.
Kawanmu
Rara
Rara melipat kertas berisikan curahan hatinya itu. Ia memasukkan lembaran kertas itu ke dalam amplop putih yang sudah bertulikan alamat rumah baru Sena. Rara memberikan surat itu kepada bundanya agar bisa dikirim melalui pak pos.
Perlahan hatinya mulai tenang. Perlahan pula kesedihannya memudar. Kini surat telah menjadi penghubungnya dengan Sena. Biarpun Sena tidak lagi berada didekatnya, setidaknya ia masih bisa berkomunikasi dengan Sena melalui surat.
Rutin seminggu sekali, surat Sena tiba di rumah Rara. Begitu pun dengan Rara, rutin mengirimkan suratnya kepada Sena seminggu sekali. Kebahagiaannya berlipa-lipat saat melihat surat dari Sena. Mereka saling bertukar kisah dalam surat itu.
Berbagai kisah Rara tuangkan dalam surat itu. Entah itu kisah sekolahnya, bertengkar dengan Dara, omelan bundanya yang menyebalkan, dan sikap ayahnya yang semakin keras kepadanya.
***
Kini Rara sudah berada di akhir sekolah dasar. Ia mulai sibuk mempersiapkan dirinya untuk masuk ke jenjang yang lebih tinggi. Sudah setahun ia surat-menyurat dengan Sena. Sena yang awalnya rutin mengirimkan surat kepadanya seminggu sekali, kini mulai jarang mengirimkan suratnya kepada Rara. Surat-surat yang Rara kirim pun belum dibalas oleh Sena. Mungkin Sena sedang sibuk dengan sekolahnya. Pikirnya.
Untuk Sena,
Hai Sena, bagaimana kabarmu? Kabarku disini baik. semoga disana kamu pun begitu. Sudah tiga minggu lebih suratmu tidak sampai di rumahku. Kamu sibuk dengan urusan sekolahmu? Kalau begitu, kita sama sen. Aku pun disini sedang sibuk belajar mempersiapkan diri untuk ujian nanti. Doakan aku ya sen bisa mendapatkan nilai yang bagus dan masuk ke sekolah impianku. Aku pun juga akan mendoakanmu begitu.
Oh iya bagaimana kabar mama dan ayahmu? Apakah mereka baik? Aku harap mereka baik-baik saja disana. Bagaimana dengan klinik ayahmu disana? Apakah sudah membaik?
Sen, aku ingin satu sekolah lagi denganmu. Tapi, sepertinya itu tidak mungkin. Aku di Jakarta, sedangkan kamu di Malang. Aku rindu sekali bermain denganmu. Aku harap kita akan bertemu lagi secepatnya.
Sudah dulu ya, sen. Dah Sena.
Kawanmu
Rara
Rara mengirimkan surat itu melalui bundanya. Hari-harinya diisi dengan penantian yang tak pasti. Ia tak tahu pasti kapan Sena akan membalas suratnya lagi. Harapannya sungguh tinggi terhadap Sena.
Kesibukkannya membuat ia lupa sejenak dengan penantiannya. Ia sibuk sekolah dari pagi hingga sore. Setelah itu, ia melanjutkan kegiatan belajarnya di tempat bimbel yang bersebrangan langsung dengan sekolahnya. Malamnya ia mengerjakan tugas sekolahnya. Semua itu mengalihkannya dari kehadiran surat yang ia tunggu.
Suatu ketika, Rara bertengkar dengan bundanya. Meributkan sekolah yang akan ia pilih selanjutnya. Bundanya menginginkan Rara bersekolah di sekolah bertaraf internasional. Tapi, Rara menolak. Keinginannya bukan kesana. Ia hanya ingin bersekolah di sekolah biasa.
Pertengkaran itu selalu tidak memunculkan jalan keluar. Keduanya sibuk mengedepankan egonya masing-masing. Ayahnya hanya diam, sekadar menjadi penonton. Ayahnya menyerahkan semua urusan sekolah Rara kepada bundanya.
Bagi bundanya, bersekolah di sekolah bertaraf internasional seratus kali lebih baik jika dibandingkan dengan sekolah biasa. Banyak dari teman-temannya menyekolahkan anaknya di sekolah bertaraf internasional. Dan banyak dari anak-anak mereka jauh lebih cerdas jika dibandingkan dengan anak-anak yang bersekolah di sekolah biasa. Ia ingin hal itu terjadi pada Rara.
"Ra, bunda sudah menghubungi teman bunda yang mengajar di sekolah itu kalau kamu nanti akan melanjutkan sekolah di sana," ucap bundanya.
"Kenapa bunda nggak bilang dulu ke Rara? Apa pendapat Rara ini nggak penting dimata bunda? Bun, Rara ingin memilih sendiri sekolah yang Rara inginkan. Rara nggak mau sekolah di sana, bun."
Nada bicara Rara meninggi. Membuat ayahnya yang kala itu sedang duduk didekat bundanya terpancing emosi. Rara lantas berlari menuju kamarnya. Membanting pintu kamarnya keras. Terdengar suara cercaan dari mulut sang ayah yang masih mengicau kala pintu itu sudah tertutup. Rara hanya menangis sendiri di kamar. Hatinya sakit, merasa pendapatnya diabaikan.
Ia menarik selembar kertas putih polos dari tumpukkan bukunya. Tangannya mulai menari menggenggam pulpen. Sesekali air matanya ikut jatuh membasahi kertas.
Untuk Sena,
Sen, kamu dimana? Kamu nggak bisa kesini sekarang? Aku butuh kamu. Aku habis bertengkar dengan bundaku. Ayahku pun ikut memarahiku. Aku nggak mau sekolah disana, sen. Aku ingin sekolah di sekolah keinginanku. Hatiku sakit, sen. Sangat sakit. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Bunda sudah mendaftarkanku ke sekolah itu tanpa persetujuanku. Suaraku seolah tidak didengar oleh mereka, sen.
Sen, kamu masih disana? Di Malang? Di rumah itu? Kenapa surat kamu engga sampai-sampai di rumahku? Apa kamu salah menulis alamat rumahku? Atau jangan-jangan kamu memang tidak pernah menulis surat untukku lagi? Kamu menghindariku?
Sen, aku mohon aku butuh kamu. Aku merasa sendiri sekarang.
Kawanmu
Rara
Rara memasukkan surat itu ke dalam amplop putih. Rencananya ia akan mengirimkan surat itu besok, melipir ke kantor pos sepulang sekolah. Ia tidak mungkin menitipkan surat itu ke bundanya saat ini. Mengingat ia sedang ribut hebat dengan bundanya.
Keesokannya, sepulang sekolah ia singgah di kantor pos. Tampangnya celingukan bingung. Ini adalah kali pertamanya ia mengirim surat sendiri ke kantor pos.
"Dek, ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang pria kepadanya.
"Ini pak, saya mau ngirim surat," jawab Rara.
"Oh...mari saya bantu."
Pria itu membantunya dari proses awal hingga akhir. Kini surat itu tinggal menunggu waktu untuk dikirim ke penerimanya. Rara berterimakasih kepada pria itu, lalu berjalan pulang.
***
Ujian kelulusan sudah didepan mata. Sudah berbulan-bulan pula Rara tidak mendapat surat balasan dari Sena. Entah apa yang terjadi pada Sena hingga mengabaikan surat-suratnya. Rara merasa seperti ditipu kedua kalinya. Pemikirannya tentang Sena berubah. Kini baginya, Sena adalah manusia yang hanya hobi menebar janji tanpa menepatinya. Sena memudarkan harapannya yang telah ia bangun.
Rasa percaya Rara terhadap Sena mulai memudar. Semakin memudar dimakan waktu. Hatinya merasa sakit. Ingin sekali rasanya membenci Sena. Tapi, hati kecilnya mengatakan tidak.
Saat itu Rara mencoba untuk fokus dengan ujiannya. Ia mengesampingkan sejenak perihal suratnya yang tidak dibalas. Ia tidak ingin hasil kerja kerasnya berakhir sia-sia hanya karna memikirkan surat balasan Sena. Masa depannya masih panjang. Sena biarlah menjadi urusannya nanti.
Sepulang dari sekolah, bunda Rara membujuk Rara agar mau bersekolah di tempat pilihan bundanya. Rara sungguh malas menanggapi bundanya. Pikirannya kala itu sedang kacau. Ia ingin pergi. Tapi tangannya ditahan oleh bundanya.
"Ra, kamu mau ya sekolah disana? Disana fasilitasnya lengkap, ra. Kamu mau ngapain aja bisa," rayu bundanya.
"Gimana bunda saja," jawab Rara pasrah. Rara sudah malas berdebat dengan bundanya. Hanya buang-buang tenaga. Mau seribu kali ia bersuara pun, tidak akan didengar.
Mendengar jawaban Rara, memberikan titik terang untuk bundanya. Bundanya merasa senang. Wajahnya tersulam senyum lebar seolah sedang merayakan kemenangan. Menang melawan ego sang anak.
Rara sudah kalut dengan pikirannya seusai ujian. Ia melemparkan tubuhnya ke ranjang dengan kencang. Kemudian ia menyembunyikan wajah lusuhnya dari tindihan bantal tidurnya.
"Sena, kamu dimana?" gumamnya.