Perut bunda Rara sudah semakin membesar, menyerupai buah semangka matang. Dirinya tak sabar menyambut kehadiran sosok baru di keluarga kecilnya. Tinggal menghitung hari sosok di dalam perutnya itu akan segera hadir ke dunia. Pikirannya sudah mengawang, membayangkan seorang bayi kecil dibopongnya.
Ayah Rara pun tak kalah. Ia sudah menantikan kelahiran anak keduanya sejak berbulan-bulan lamanya. Tak sabar rasanya ingin segera menimang-nimang seorang bayi kecil di tangan besarnya.
Kini Rara sudah tidak bingung seperti sebelumnya. Hatinya ikut senang menantikan kehadiran calon adiknya. Sesekali ia membelai lembut perut besar bundanya. Telinganya mendekat ke perut besar bundanya, mendengarkan detak jantung calon adiknya.
Hari ini adalah hari Sabtu. Jadwal bundanya untuk check up kandungannya. Ayahnya menemani bundanya pergi ke rumah sakit besar yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Bundanya meminta Rara untuk tidak perlu ikut. Rara masih kecil. Suasana rumah sakit kurang baik untuk Rara. Ia meminta Rara untuk pergi bermain saja dengan Sena. Rara pun menurut.
Dari halaman rumahnya, Rara memandangi mobil ayahnya yang melaju semakin menjauh meninggalkannya. Tangannya melambai, mulutnya mengucapkan, 'hati-hati'. Disampingnya ada Sena yang sudah siap bermain dengannya.
"Ra, main ke rumahku saja yuk," ajak Sena. "Hari ini ayahku ada di rumah lho," lanjutnya.
"ayuk," jawabnya bersemangat.
Bertemu dengan ayah Sena adalah sebuah pengalaman langka. Selama bertahun-tahun ia tinggal berdekatan, ia sama sekali belum pernah melihat wujud ayah Sena. Ayah Sena adalah orang yang sangat sibuk. Ia banyak menghabiskan waktunya untuk tugas keluar kota.
Sampai di ruang tamu, Rara melihat sosok seorang pria yang kini sedang duduk di sofa abu-abu. Tubuhnya gemuk tinggi, rambutnya sudah beruban, kumisnya memutih tebal. Rara merasa seperti pernah melihat wajah itu. Tapi ia tidak ingat. Ia terus mengingat-ingatnya.
Ia menyalami tangan ayah Sena. Ayah Sena menyambutnya baik. Ia sangat ramah. Sifatnya pun sangat hangat. Membuat Rara merasa nyaman ketika berada di dekatnya.
Sena mengajak Rara untuk bermain di taman belakang rumahnya. Ia menarik tangan Rara dengan kencang. Ia tinggal ayahnya di ruang tamu dengan ditemani kopi hangat, dan tumpukan korang yang sedang menanti untuk dibaca.
Kini Rara berada di taman belakang rumah Sena. Rumah Sena jauh lebih besar jika dibandingkan dengan rumahnya. Di taman belakang rumahnya, ada ayunan yang sudah berkarat akibat terkena hujan. Melihat ayunan itu mengingatkannya pada kecelakaan kecil yang ia alami sewaktu di taman kanak-kanak. Kemudian ia dan Sena duduk di ayunan itu.
"Ah! Aku ingat sekarang," ucapnya tiba-tiba mengejutkan Sena.
"Ada apa, ra?" tanya Sena tidak mengerti.
"Aku ingat. Aku ingat pernah melihat ayahmu."
"Melihat ayahku? Dimana?" tanya Sena tak percaya.
"Di klinik. Klinik yang waktu itu aku kunjungi bersama bunda. Disana ada gambar ayahmu."
"Oh...mungkin itu salah satu klinik milik ayahku."
"Wah...ayahmu punya klinik?"
"Iya. Ada di beberapa kota. Ayahku bepergian keluar kota untuk memantau kliniknya satu persatu."
"Hebat sekali," ucapnya takjub.
Rara mengayunkan perlahan ayunan itu. Gesekan antara rantai berkarat dengan tiang penyangga menimbulkan bunyi decitan yang nyaring. Sena mengingatkan Rara untuk berhati-hati, karna ayunan itu sudah sangat tua dan kurang terawat.
Mama Sena datang menghampiri mereka. Ditangannya memanggul nampan merah berisikan dua gelas jus jeruk, dan sepiring cookies coklat. Ia meletakkan gelas dan piring itu di sebuah meja kayu yang masih berdiri kokoh di samping ayunan. Melihat kudapan itu, lantas membuat Rara berlari ke arah meja kayu itu. Disambarnya cookies coklat itu dengan cepat. Matanya membulat takjub akan rasa dari cookies coklat itu. Itu adalah cookies coklat terlezat yang pernah ia makan.
Setelah mengantarkan kudapan itu, mama Sena kembali masuk ke dalam rumah, melanjutkan pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga. Rara masih sibuk dengan cookies coklatnya. Sedangkan Sena sibuk dengan minuman jus jeruknya.
***
Di rumah sakit, bunda dan ayah Rara duduk menunggu giliran. Wajah keduanya terus tersenyum melihat perut besar itu. Berulang kali ayah Rara membelai lembut perut besar itu. Sesekali ia merasakan ada tendangan dari dalam perut itu.
"Ibu Namira," panggil seorang suster memanggil nama bunda Rara.
Bunda dan ayah Rara bergegas masuk ke dalam sebuah ruangan. Ruangan itu tidak besar, di dalamnya duduk seorang wanita berusia empat puluhan tahun sedang tersenyum ke arah keduanya. Wanita itu menyambut baik kehadiran bunda dan ayah Rara. Kemudian bunda dan ayah Rara duduk berdampingan di kursi yang berhadapan langsung dengan wanita itu.
Wanita itu menggunakan jas putih, pakaian khas seorang dokter. Di atas mejanya ada sebuah papan yang bertuliskan Dr. Lisa. Nada bicaranya sangat ramah, membuat siapa pun nyaman berkomunikasi dengannya. Ia merupakan salah satu dokter bersalin senior di rumah sakit itu. Berkat kecerdasannya, tak butuh waktu lama, ia sudah menyandang gelar itu.
"Melihat kondisi sang ibu dan keadaan calon bayi, saya menyarankan proses persalinan ibu Namira dilakukan secara caesar. Itu akan lebih aman untuk sang ibu dan juga calon bayinya. Mengingat tekanan darah dari ibu Namira yang selalu tinggi, dan kondisi sang calon bayi kini posisinya sungsang. Hal itu dirasa sulit jika ingin melakukan persalinan normal," ucap dokter Lisa.
"Untuk waktu persalinan yang baik kira-kira kapan ya dok?" tanya ayah Rara.
"Kalau untuk waktunya, bisa dilakukan dalam waktu dekat ini. Nanti kita lihat dulu kemajuan dari sang ibu dan kondisi calon bayinya. Besok, bapak dan ibu bisa kembali lagi untuk memonitor kemajuannya," jawab dokter Lisa.
"Baik dok kalau begitu. Terima kasih banyak, dok," ucap bunda Rara.
Bunda dan ayah Rara pergi meninggalkan ruangan itu. Seorang suster yang berjaga di ruangan itu memanggil nama lain. Tanda gilirannya sudah tiba.
Bunda dan ayah Rara berjalan ke parkiran mobil. Mobilnya terparkirkan nyaman di basement rumah sakit. Tangan ayah Rara memegang erat tangan bunda Rara. Dibukakannya pintu mobil hitam milik ayah Rara untuk bunda Rara. Ayah Rara segera menancap gas. Kecepatannya tidak tinggi. Mengingat kondisi bunda Rara yang kini tengah mengandung besar.
Lalu lintas hari itu cukup ramai akibat weekend. Banyak orang-orang pergi berjalan-jalan untuk sekadar menghilangkan penatnya. Ramainya lalu lintas menyebabkan macet di beberapa titik. Meminta para pengendara untuk lebih bersabar agar bisa sampai di tujuannya.
***
Rara masih asyik bermain di taman belakang rumah Sena. Mereka duduk di atas rumput hijau beralaskan kain kotak-kotak. Rara sibuk mengoceh sana sini. Sena sibuk dengan buku bacaannya sambil mendengarkan ocehan Rara.
"Sena, kamu dengar aku nggak sih?" tanyanya kesal.
"Iya, aku dengar kamu," jawab Sena.
Rara marah melihat sikap Sena yang seperti tidak peduli kepadanya. Bibirnya dibuat manyun, matanya menatap tajam ke arah Sena. Sena tidak sadar dengan sikap Rara. Ia masih sibuk berkutat dengan buku bacaannya. Akhirnya Rara pergi meninggalkan Sena sendirian. Ia merasa diabaikan. Ia berjalan dengan wajah kesalnya.
"Ra, mau kemana?" tanya Sena yang baru sadar kalau Rara pergi.
Rara tidak menjawab. Ia terus berjalan sambil menghentakkan kakinya dengan keras. Bahkan ia melewati begitu saja ayah Sena yang sedang berusaha menyapanya. Rara benar-benar marah. Sena berusaha mengejarnya dari belakang, mencoba menggapai Rara.
"Ra, tunggu!" teriak Sena.
Rara tetap tidak menghiraukannya. Sampai pada akhirnya ia sampai di pagar rumahnya. Sena berhasil meraih tangan Rara. Rara terhenti dari langkahnya dan memutarkan tubuhnya ke arah Sena.
"Apa?" tanya Rara ketus.
"Kamu marah?" tanya Sena.
"Iya! Kenapa? Sudah kamu lanjutkan saja kegiatanmu. Aku ingin pulang," usir Rara.
"Ra, maafin aku."
Rara tak menjawab. Hatinya semakin memanas. Rasanya seperti ada kobaran api di dalam hatinya. Sena terus berbicara, berusaha memadamkan kobaran api itu.
Di tengah pertengkaran itu, mobil ayah Rara datang. Mobil itu langsung menerobos masuk ke dalam garasi di samping rumahnya. Rara berjalan ke arah mobil itu meninggalkan Sena. Sena berdiri mematung melihat kepergian Rara.
Rara kemudian datang menghampiri bundanya. Tubuhnya ia lemparkan ke tubuh bundanya. Ia memeluk hangat tubuh bundanya itu. Namun, pelukannya terhalang oleh perut besar bundanya.
"Bunda!" teriak Rara.
Ayah Rara datang menghampiri mereka. Mengajak mereka untuk masuk ke dalam rumah. Suhu udara di luar semakin dingin. Malam pun semakin datang mendekat. Mereka berjalan masuk beriringan. Kedua tangan Rara kini digenggam erat oleh dua manusia kesayangannya.
***
Saat tengah malam, perut bunda Rara tiba-tiba merasakan sakit. Ia berusaha membangunkan suaminya yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Berulang kali ia mencoba menggoyang-goyangkan tubuh suaminya agar terbangun.
"Yah, bangun. Perut bunda sakit," keluhnya.
Ayah Rara terbangun. Kemudian ia memapah tubuh bunda Rara menuju mobil. Ia sambar kunci mobilnya yang tergantung di paku samping pintu. Karena panik, ia langsung menancap gas mobilnya dengan kecepatan tinggi menuju rumah sakit.
Rara saat itu masih tertidur nyenyak. Masih asyik dengan mimpi indahnya. Ia belum menyadari kalau kini ia sendirian di rumah. Sesekali ia mengigau. Mengeluarkan suara yang tidak jelas maknanya.
Mobil melaju sangat kencang, seolah menyapu jalan kosong sepi. Bunda Rara terus mengeluh karna rasa sakit yang ia rasakan. Ayah Rara disampingnya berusaha menenangkan sambil memegang kemudi.
"Sabar ya, bun. Sebentar lagi kita sampai ke rumah sakit," ucapnya.
Mobil itu kini sudah memasuki gerbang rumah sakit. Ayah Rara menghentikan mobil tepat di depan lobi rumah sakit. Ia berlari menerobos masuk menemui salah seorang suster yang sedang jaga malam. Suster itu bergegas memanggil suster lainnya untuk membantu.
Bunda Rara dipapah menuju ranjang oleh dua orang suster. Kedua suster itu bergegas mendorong ranjang itu mengarah ke kamar pasien yang masih kosong. Di belakangnya, diikuti oleh ayah Rara dengan raut khawatirnya melihat kondisi istrinya.
Salah seorang suster meminta ayah Rara untuk menunggu sang dokter di dalam kamar pasien. Suster lainnya berusaha untuk menghubungi dokter Lisa, dokter yang menangani bunda Rara. Kebetulan malam itu dokter Lisa sedang tidak ada jadwal jaga. Saat ini bunda Rara sedang ditangani oleh seorang dokter yang masih magang untuk penanganan awal.
Dokter magang itu seorang perempuan. Masih muda, cantik, rambutnya hitam panjang. Di jasnya ada nametag bertuliskan Nara, nama dokter magang itu. Jika dilihat dari wajahnya, ia terlihat seperti wanita berusia dua puluh tahunan akhir. Gerakannya juga gesit. Tidak memperlihatkan ia sebagai dokter magang.
Dokter Lisa datang. Ia lantas menerobos masuk ke dalam kamar pasien bunda Rara. Ia memeriksa tubuh bunda Rara. Kemudian ia menyarankan untuk segera mengambil tindakan saat itu juga.
"Pak, sepertinya bu Namira harus melahirkan saat ini juga. Saya khawatir jika diundur kondisinya akan semakin memburuk. Saya butuh persetujuan dari bapak agar saya bisa melakukan persalinannya saat ini juga," ucap dokter Lisa.
Ayah Rara setuju. Beberapa suster mulai mempersiapkan ruang operasi. Setelah salah seorang suster memberitahukan bahwa ruang operasi itu sudah siap, ranjang bunda Rara langsung di dorong mengarah ruang operasi.
Bunda Rara sudah berada di dalam ruang operasi. Ayah Rara diminta untuk menunggu di ruang tunggu. Hatinya resah. Matanya menatap pintu ruang operasi. Sesekali ia menatap jam yang menggantung di dinding rumah sakit.
"Jam 2," batinnya.
Kini ia baru teringat Rara. Rara yang sendirian di rumah. Pikirannya mulai kacau. Matanya mulai bolak-balik menatap pintu operasi dan jalan keluar rumah sakit. Ia khawatir Rara akan mencarinya dan bundanya ketika bangun nanti. Hatinya semakin resah. Bahkan lebih resah dari sebelumnya.
Proses operasi caesar itu berjalan cukup lama. Pintu ruang operasi itu terbuka. Dokter Lisa datang menghampiri ayah Rara.
"Pak, selamat ya anaknya perempuan," ucap dokter Lisa.
Perasaan haru menghujani ayah Rara. Rasa resahnya perlahan pudar. Ranjang bunda Rara di dorong keluar oleh dua orang suster. Ayah Rara bergegas datang menghampirinya. Tangannya mengusap-usap kepala bunda Rara yang masih tertidur akibat pengaruh biusan.
Ditengah keharuannya itu, salah seorang suster datang menghampirinya dengan bayi yang masih merah di tangannya. Ia menerimanya dengan hati-hati. Ditimangnya bayi itu. Lalu berkumandang suara adzan dari mulut ayah Rara di telinga bayi itu. Mata bayi itu tertutup rapat. Tidurnya semakin pulas ketika mendengar kumandangan adzan itu.
Kemudian ayah Rara memberikan lagi bayi itu kepada suster. Tangannya melambai-lambai ketika melihat bayi itu dibawa pergi oleh sang suster. Senyumnya merekah. Matanya berkaca-kaca penuh haru.
Bunda Rara terbangun dari tidurnya. Ditangkapnya suaminya yang kini tengah duduk di kursi yang berdekatan dengan ranjangnya. Tubuhnya masih lemas. Suara bicaranya pun masih belum jelas.
Tidak lama kemudian, seorang suster datang masuk ke dalam kamar, mengantar sang bayi. Suster itu meletakkan bayi itu ke dalam dekapan bunda Rara. Mata bunda Rara berkaca-kaca saat melihat bayi itu. Hatinya sangat senang. Tangan kecil bayi itu tiba-tiba saja menggenggam erat salah satu jari bunda Rara.
"Yah, bagaimana kalau anak ini kita namakan Dara?" ucap bunda Rara.
"Dara Fredella," tambah ayah Rara.
"Nama yang bagus," balas bunda Rara sambil tersenyum.
"Dara....Dara....Dara...." panggil bunda Rara kepada bayi itu.
Ayah Rara pamit pulang ke rumah. Khawatir Rara akan mencari mereka. Sebelum pergi, ayah Rara mencium kening istrinya dan Dara. Tangan bunda Rara memegang tangan kecil Dara, lalu melambaikan tangan kecil itu ke arah ayah Rara.
"Dadah ayah," ucapnya.
***
Di rumah, Rara masih tertidur pulas di ranjangnya. Bunyi adzan subuh sudah terdengar. Matanya mengedip ketika mendengar suara itu. Kemudian ia bangun dari posisi berbaringnya. Rambutnya mengembangkan seperti singa. Tangan kanannya menggosok-gosok matanya yang tidak gatal.
Suara mobil terdengar. Suara mesin mobil itu terdengar tidak asing ditelinganya. Ia bergegas mengintip dari balik jendela kamarnya yang masih gelap. Ia melihat sorot lampu menyala dari arah garasi rumahnya. "Mobil ayah?" batinnya.
Ia berjalan keluar dari kamarnya menuju garasi. Ia mendapati ayahnya yang kini sedang menutup pintu mobilnya. Rara memandang bingung.
"Ayah darimana?" tanya Rara.
"Ayah dari rumah sakit, ra."
"Rumah sakit? Siapa yang sakit?"
"Bunda kamu melahirkan, ra."
"Melahirkan? Tengah malam begini?"
"Ra, adikmu sudah lahir. Ia seorang perempuan, sama sepertimu. Pasti kamu akan senang."
Rara terdiam. Sepertinya nyawanya belum terkumpul. Ia masih mencoba mencerna obrolan singkatnya dengan sang ayah. Ayahnya mengajaknya masuk. Ia berjalan masuk dengan kondisi kepala yang masih mencoba memahami keadaannya saat itu.
***
Siangnya, ayah Rara mengajak Rara untuk datang ke rumah sakit. Di kamar pasien bundanya, Rara melihat seorang bayi kecil tengah tertidur pulas disamping bundanya.
"Wah...lucu sekali," ucap Rara sambil mengusap-usap pipi Dara.
"Bun, siapa namanya?" tanya Rara.
"Dara, ra," jawab bundanya.
"Hai Dara, aku Rara kakakmu," sapa Rara.
Dara terbangun dari tidurnya. Tubuhnya menggeliat, mulutnya terbuka lebar. Ruangan itu kini dipenuhi oleh suara tangisan Dara. Bunda dan ayah Rara berusaha untuk menenangkan Dara. Rara hanya diam, memantau kejadian itu. entah mengapa ada semacam perasaan khawatir yang singgah dibenaknya. Ia khawatir kasih sayang yang ia terima selama ini akan terbagi menjadi dua dengan adanya kehadiran Dara. Tangannya meremas rok abu-abunya, mencoba membuang jauh pemikiran itu.