Chereads / Rara by Awan Kumal / Chapter 3 - Sebuah Kabar

Chapter 3 - Sebuah Kabar

Tiga tahun sudah berlalu. Kejadian Rara jatuh dari ayunan pun sudah berlalu sangat jauh. Kini Rara dan Sena sudah berada di bangku sekolah dasar. Usia keduanya pun kini sudah menginjak delapan tahun. Keduanya bersekolah di sekolah yang sama, kelas yang sama, pun dengan kursi yang bersebelahan seperti di sekolah sebelumnya. Tak ingin berjauhan katanya. Takut rindu.

Setelah tragedi jatuhnya Rara dari ayunan itu, ikatan keduanya semakin kuat. Keduanya menjadi lebih akrab. Hampir setiap hari mereka bermain bersama. Entah itu di rumah atau pun di sekolah.

Banyak hal menarik yang mereka lalui bersama selama tiga tahun ke belakang. Sena yang sebelumnya seorang pendiam, kini berubah menjadi seorang berulah seperti Rara. Melompat pagar, memanjat pohon, bermain di genangan air selepas hujan, dan hal-hal mengasyikkan lainnya. Rara ajarkan itu semua kepada Sena. Tak jarang pula mereka mendapat omelan dari kedua orang tua mereka masing-masing karna ulah usil mereka.

***

Pagi itu Rara sudah rapih mengenakan seragam merah putihnya. Tubuhnya kini lebih tinggi dan berisi jika dibandingkan dengan tiga tahun lalu. Rambutnya pun kini sudah tidak sepanjang sebelumnya. Rambutnya ia potong sebahu sama rata. Hari itu, ia biarkan rambutnya terurai bebas tanpa diberi aksesoris apa pun.

Ia meraih tas punggung merah jambunya yang tergantung nyaman di balik pintu kamarnya. Lalu ia gantungkan tas ransel merah jambu itu di pundaknya. Buku di dalam tas punggung itu cukup banyak. Ditambah lagi ia membawa baju olahraga. Beban di pundaknya pun semakin terasa berat. Bisa dilihat dari ukuran dan sesaknya tas Rara sudah seperti seseorang yang hendak minggat dari rumah.

Sebelum berangkat ke sekolah, ia berpamitan terlebih dahulu kepada bundanya. Matanya sontak membulat ketika mendapati wajah bundanya yang pucat. Keraguan mulai singgah di hatinya, mencoba menggoyahkan niatnya untuk pergi ke Sekolah.

"Bunda sakit?" tanya Rara.

"Nggak, bunda nggak sakit. Cuma sedikit nggak enak badan saja. Minum obat juga nanti sembuh," jawab bundanya lirih.

Tidak berselang lima menit selepas ucapannya, tiba-tiba saja bundanya menutupi mulutnya dengan tangan rampingnya. Tangan lainnya mengusap-usap perutnya karna merasa tidak nyaman.

"Bunda kenapa?" Rara mulai khawatir melihat keadaan bundanya. Hatinya kini sungguh kalut.

Bundanya tidak menjawab. Ia mengabaikan pertanyaan Rara dan gegas berlari ke arah kamar mandi. Rara yang melihat kejadian itu turut berlari menuju kamar mandi mengikuti bundanya. Ia memandangi bundanya dari belakang. Terlihat jelas punggung bundanya yang seolah meronta-ronta berusaha susah payah mengeluarkan isi perutnya. Rasa khawatir mulai memeluknya erat tak ingin pisah.

Rara menggopoh tubuh lemas bundanya ke ruang keluarga. Intuisinya mengatakan kepadanya untuk segera mengambilkan secangkir air mineral untuk bundanya. Gelas bening berisikan air mineral kini sudah berada di tangannya yang kemudian ia berikan kepada bundanya. Sang bunda meneguk air itu dengan pelan-pelan, takut tersedak. Wajahnya sangat pucat. Tubuhnya terduduk lemas di kursi. Rara tidak tahu harus berbuat apa.

"Bun, kita ke dokter ya."

"Tapi kan kamu harus ke sekolah."

"Bun, hari ini Rara izin dulu saja, ya. Rara nggak bisa ninggalin bunda dalam keadaan seperti ini."

"Bunda nggak apa-apa kok, ra," ucap bundanya berusaha meyakinkan Rara.

"Bun!" Rara berbicara agak keras dengan mata yang melebar karna merasa jengkel dengan kebebalan bundanya.

Akhirnya bundanya mengizinkan Rara untuk izin tidak masuk sekolah hari ini. Hari ini, di rumah tidak ada siapa-siapa selain Rara dan bundanya. Ayahnya sudah berangkat ke kantor sejak matahari belum sempat menyapa bumi. Rara merasa tidak tega jika harus meninggalkan bundanya yang sedang sakit sendirian di rumah.

Pakaian seragam merah putih yang sebelumnya melilit di tubuhnya, berganti menjadi pakaian kaos oblong berwarna kuning dengan gambar bunga matahari di sisi kirinya. Rok merah yang sebelumnya ia kenakan, kini sudah berubah menjadi celana panjang berbahan levis.

Rara lantas berlari ke kamar bundanya untuk mengambil handphone milik bundanya yang tergeletak di atas ranjang. Kemudian ia menekan kontak yang bertuliskan ayah. Terdengar suara sambungan. Tidak lama sang ayah menjawab.

"Halo, ada apa bun?"

"Halo yah, ini Rara. Yah, bunda sakit."

"Bunda sakit?" Nada bicaranya mulai meninggi setelah mendengar keadaan istri tercintanya. Kekhawatiran pun tidak ragu untuk singgah dihatinya.

"Iya, yah. Ini Rara mau ke dokter nganter bunda, tapi Rara bingung kesana naik apa."

"Sebentar ayah pesankan taksi ke rumah ya, nak. Kamu tunggu di rumah, jangan kemana-mana. Ayah saat ini belum bisa pulang karna kerjaan ayah menumpuk. Tapi, ayah usahakan secepatnya bisa sampai di rumah."

Sambungan itu terputus. Dari kantornya, sang ayah segera mencarikan taksi untuk mengantar Rara dan bundanya ke dokter. Ia menelusuri kontak demi kontak di handphone miliknya mencari kontak jasa taksi yang biasa ia dan keluarganya gunakan.

Berselang lima belas menit mobil sedan berwarna biru berhenti tepat di depan rumah Rara. Tubuhnya yang belum begitu besar memapah tubuh bundanya berjalan menuju mobil itu. Tubuh bundanya yang lemas, membuat langkah kakinya pun turut melambat. Untungnya sang supir taksi itu setia menunggu Rara dan bundanya dari dalam taksi.Tidak ada celetukkan kasar yang keluar dari mulutnya.

Mobil taksi itu melaju keluar perumahan. Menelusuri jalanan besar yang kini telah disesaki oleh kendaraan lain. Lalu lintas hari ini cukup padat. Ditambah lagi jarak lampu merah yang berdekatan membuat perjalanan terasa semakin panjang.

Tangan Rara tidak berhenti menggenggam tangan bundanya. Kekhawatiran semakin memeluknya hangat, bahkan sangat hangat hingga keringat mulai membasahi dahinya. Matanya tak lepas memandangi wajah pucat bundanya. Wajah pucat bundanya tak henti tersenyum ke arahnya. Menyakinkan Rara bahwa dirinya baik-baik saja.

Setibanya di klinik, bunda Rara menghampiri resepsionis untuk mendaftarkan dirinya. Rara duduk ditemani oleh perasaan khawatirnya di kursi tunggu yang berhadapan langsung dengan resepsionis. Matanya berjelajah menelusuri setiap sudut klinik. Pandangannya terhenti ketika melihat foto seorang pria beruban terpampang di salah satu sisi dinding klinik. di bawah foto itu bertuliskan nama Dhani Dhanajaya. "Dhanajaya? Seperti nama belakang Sena," batinnya.

Bunda datang menghampiri Rara yang masih fokus memandangi foto itu. tubuhnya sudah tidak selemas tadi. Namun, wajahnya masih sama pucat seperti sebelumnya.

***

Di sekolah, Sena menanti kedatangan Rara. Matanya berpindah-pindah mengamati kursi kosong disampingnya dan pintu kelas yang terbuka lebar, berharap Rara akan segera datang. Tidak biasanya Rara tidak mengabarinya jika tidak akan datang ke sekolah. "Rara kemana?" batinnya.

Jam pelajaran berjalan normal seperti biasanya. Hanya hati Sena saja yang tidak normal saat itu. Bertanya-tanya tentang keberadaan Rara sekarang.

"Sen, Rara kemana?" bisik Bima teman sekelasnya yang duduk di kursi belakangnya.

"Nggak tahu."

Waktu terus berjalan. Bel istirahat pun sudah berbunyi. Murid-murid bersorak dan berlarian keluar kelas. Keadaan sekolah yang semula terlihat sepi tak berpenghuni, kini mulai ramai padat.

Sena, Bima, dan Arif berjalan beriringan menuju kantin, bermaksud untuk membeli beberapan camilan untuk sekadar mengganjal perut rata mereka. Keadaan kantin sangat ramai. Terdengar suara bersautan dari orang-orang meneriakkan pesanannya secara bersamaan sehingga membuat kewalahan penjual. Kondisinya sangat tidak kondusif. Seperti pasar.

Segala upaya mereka lakukan agar bisa mendapatkan camilan keinginannya. Bima sang ketua geng mendorong sekumpulan manusia itu agar ia dan kawan-kawannya bisa mendekat kepada sang penjual.

"Woy! Geser dikit dong!" teriak Bima.

Beberapa ada yang bergeser memberikan jalan menuruti perintah Bima. Namun, beberapa ada juga yang mengeluarkan tatapan sinisnya karena tidak suka dengan sikapnya. Sena mengambil kacang yang menggantung di sebuah paku yang menancap di dinding. Lalu ia merogoh sakunya mencari uang untuk membayar kacang pilihannya.

Setelah pertarungan itu, Sena, Bima, dan Arif berjalan kembali ke kelas. Mereka menikmati camilan yang mereka dapat bersama-sama di kelas. Sena menikmati kacangnya, Bima menikmati permen karetnya, dan Arif menikmati coklat kacang kesukaannya.

"Sen, Rara kemana ya?" tanya Bima.

"Aku tadi sudah bilang nggak tahu, bim," jawab Sena kesal.

"Kelas sepi ya nggak ada Rara," ucap Bima lagi.

"Iya," sahut Arif.

Keadaan kelas hari ini memang tidak seramai biasanya. Kehadiran Rara di kelas selalu membuat kelas menjadi ramai. Rara sudah seperti ketua dari kelas itu. Atau mungkin lebih tepatnya propokator, orang yang selalu memulai kericuhan.

"Apa kita ke rumahnya saja nanti?" ide Bima.

"Wah ide bagus tuh. Ayuk ayuk," jawab Arif.

"Sen, kok diam saja? Mau ke rumah Rara nggak?" tanya Bima.

"Iya mau."

***

Urusan Rara dan bundanya di klinik sudah selesai. Dokter yang memeriksa bundanya mengatakan kepadanya untuk tidak perlu khawatir. Kemudian dokter itu mengucapkan selamat kepada bundanya. Rara yang pikirannya belum sampai, memandang bingung wajah bundanya. "Ada apa sebenarnya?" batinnya.

Diperjalanan pulang wajah pucat bunda Rara sumringah, menunjukkan kebahagiaan yang ia pendam di dalam. Rara masih berkutat dengan pikirannya. Ia masih belum mengerti dengan apa yang terjadi.

"Bun, kenapa dokter tadi mengucapkan selamat?" tanya Rara polos.

"Kamu mau punya adik, Rara. Ucapan selamat tadi itu karna bunda sedang mengandung adik kamu."

"Adik? Rara punya adik?"

Matanya membulat kebingungan. Bibirnya terus meracau adik. Rupanya ia masih bingung. Bingung harus senang atau sedih. Selama ini ia sudah merasa nyaman menjadi anak satu-satunya di keluarga. Namun, dengan kehadiran adiknya nanti posisi 'anak satu-satunya' sudah tidak ada lagi.

Perjalanan pulang berjalan lebih cepat. Setiap ruas jalan tidak lagi dipadati oleh kendaraan beroda empat atau pun beroda dua, sehingga Rara dan bundanya bisa sampai di rumah lebih cepat dibandingkan saat berangkat. Sesampainya di rumah, bunda Rara segera menghubungi sang suami untuk memberitahukan kabar baik itu.

"Halo, yah."

"Halo, bun. Bagaimana bun? Apakah semuanya baik-baik saja."

"Baik sekali, yah. Sangat sangat baik."

"Ada apa ini sebenarnya, bun? Ayah masih belum paham."

"Bunda hamil yah."

"Hamil?"

Bunda Rara mengakhiri panggilan singkat itu. Sang suami masih terkejut mendengar kabar itu. Rasa khawatir yang sebelumnya sempat singgah dihatinya, seketika minggat diusir oleh kebahagiaan. Matanya seolah bercahaya setelah mendengar kabar baik itu.

***

Sekolah telah usai. Semua murid bergegas pulang ke rumahnya masing-masing. Sena, Bima, dan Arif berdiri tepat di depan gerbang sekolah. Di depan gerbang sekolah, tukang ojek yang biasa mengantar jemput Bima sudah menunggu sedari tadi. Bima menjadi bimbang. Ia lupa mengabari tukang ojeknya. Ia merasa tidak enak hati kalau tiba-tiba menyuruh tukang ojek itu pulang sendiri. Pada akhirnya ia memutuskan untuk membatalkan niatnya berkunjung ke rumah Rara.

Bima sudah pulang dengan tukang ojeknya. Kini tersisa Sena, dan Arif yang masih berdiri di depan gerbang sekolah. Arif mulai goyah. Ia merasa tidak lengkap jika tidak ada Bima. Bima adalah sahabat karibnya sejak taman kanak-kanak. Sama halnya seperti Sena dan Rara, tidak lengkap rasanya jika tidak berdua. Pada akhirnya Arif pun memutuskan untuk pulang. Rencana mereka gagal total.

Kini tertinggal Sena sendirian. Ia pun memutuskan untuk tetap berkunjung ke rumah Rara. Ia menghentikan angkutan umum berwarna hijau yang melewatinya. Kakinya berusaha menapaki lantai angkutan umum itu. Tubuhnya yang kini sudah semakin meninggi, sedikit membungkuk ketika menaiki angkutan umum itu. Ia duduk di kursi kosong paling pojok. Tasnya ia biarkan menempel di punggungnya. Tasnya yang besar, membuat bokongnya menempel diujung kursi.

Akhirnya ia tiba dipemberhentiannya. Ia berjalan memasuki gerbang perumahan yang sangat besar. Sesekali kakinya menendang kerikil yang ia temui. Bosan rasanya kalau harus berjalan sendirian. Biasanya ada Rara yang menemaninya. Rara yang selalu membuat perjalanannya menjadi lebih menyenangkan.

Perjalanan membosankan itu berakhir. Kini ia telah tiba tepat di depan rumah Rara. Tangan kurusnya mencoba mengetuk pintu kayu bercat putih. Namun, tak ada jawaban dari sang pemilik rumah. Kemudian ia mengetuk lagi dengan sedikit kencang. Dari dalam, Sena mendengar samar suara sang pemilik rumah. Pintu terbuka. Ia disambut hangat oleh seorang wanita cantik berhijab dengan senyum lebarnya. Wanita itu adalah bunda Rara.

"Eh ada Sena. Cari Rara ya? Ayo sini masuk."

Sena pun masuk, kemudian duduk di sofa berwarna cream senada dengan wallpaper dinding. Pandangannya mengitari setiap sudut ruangan rumah Rara. Memandangi setiap foto yang terpajang di setiap dinding. Pandangannya terhenti ketika melihat fotonya dengan Rara sewaktu liburan di puncak satu tahun lalu. Di foto itu raut wajah Rara masam karna dipaksa oleh bundanya untuk foto, sedangkan Sena disampingnya menyulamkan senyum lebarnya yang tampak manis.

"Sena!" panggil Rara hingga membuat Sena terkejut.

"Rara ngagetin saja."

"Kamu dari sekolah langsung ke rumah aku?"

"Iya, ra."

"Mama kamu tahu kamu disini?"

"Nggak, ra. Aku tadi langsung kesini."

"Nanti kalau mama kamu nyariin gimana? Pulang dulu, Sena."

"Ya ampun, ra rumah kita kan berdekatan, mama aku pasti tahu kok kalau aku ada disini."

"Tahu darimana? Kan kamu belum bilang"

Sena terdiam. Kalah debat dengan Rara. Tak ada lagi percakapan antara keduanya. Keduanya sama-sama diam. Rara memasang wajah masamnya seperti di foto. Rara merasa kesal karna Sena belum meminta izin kepada mamanya. Rara hanya takut mama Sena khawatir.

Akhirnya Sena pun menuruti perintah Rara. Ia pulang, lalu kembali lagi ke rumah Rara. Pakaian seragamnya yang kecut, sudah berganti kaos oblong bergambar singa dengan celana pendek selutut yang menggantung di pinggangnya.

Pintu rumah Rara masih terbuka lebar. Sena lantas menerobos masuk ke dalam. Tak lupa ia mengucapkan salam sebagai rasa sopan santunnya. Kini wajah masam Rara telah pudar. Tergantikan dengan wajah cerianya seperti biasa.

"Lalu?" tanya Rara kepada Sena dengan tangan yang bersedekap.

"Lalu apa?"

"Lalu apa tujuanmu kesini?"

"Oh...aku cuma mau tahu kenapa hari ini kamu nggak sekolah?"

"Mengantar bunda ke klinik."

"Sen, aku mau punya adik." lanjut Rara bersemangat.

"Adik?" Sena tak percaya dengan perkataan Rara. Rara yang dikenal senang bercanda membuat Sena ragu untuk bisa mempercayai ucapannya. Rara hanya mengangguk untuk meyakinkan Sena.

***

Keesokkannya di Sekolah, Rara di panggil oleh bu Ira, wali kelasnya. Bu Ira menanyakan alasan Rara tidak hadir ke Sekolah kemarin. Rara lupa mengabari wali kelasnya, karna terlanjur khawatir melihat kondisi bundanya. Berulang kali Rara mengatakan maaf atas kesalahannya dan ia berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Namun, sebagai ganjarannya bu Ira tetap menganggap ketidakhadiran Rara kemarin sebagai bolos tanpa alasan. Rara menerimanya dengan berat hati. Pikirnya mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur, tidak bisa dikembalikan lagi.