---Gurun Lut, Iran---
Seorang laki-laki duduk di atas mobil jeep yang sedang terparkir di tengah-tengah padang. Dia mengenakan pakaian militer berwarna hitam lengkap dengan baju besi. Di sebelahnya terdapat sebuah pistol berwarna hitam yang diletakkan begitu saja di atas mobil. Wajahnya penuh dengan debu dan juga bekas luka berupa goresan yang menempel di pipinya.
Laki-laki itu menatap hamparan gurun yang ada di depannya. Cuaca di sini sangat panas. Rekor Dunia pernah mencatat jika tempat ini pernah mencapai suhu tujuh puluh derajat celcius. Gurun ini berwarna coklat muda dan bersemburat dengan warna oranye. Banyak bebatuan yang tersebar di gurun ini. Ratusan bahkan ribuan bukit batu menghiasi setiap hampir penjuru padang. Bukit-bukit itu tidak terlalu besar. Ukurannya hanya beberapa meter saja. Bukit itu bisa dikatakan batu besar atau tebing.
Langit yang berwarna ungu bersemburat dengan warna oranye dan jingga. Di kejauhan sana terlihat matahari semakin lama semakin menghilang di telan bumi.
Di gurun ini tidak ada siapa-siapa selain dirinya dan juga perempuan yang sedang duduk di sebelahnya. Wanita itu mengenakan sebuah jubah berwarna hitam. Dia juga mengenakan kerudung pashima yang berwarna hitam.
Laki-laki itu menatap perempuan tersebut. Dia tersenyum ketika melihat wanita yang ada di sebelahnya terpukau dengan pemandangan yang ada di depannya. Senyuman di wajah wanita itu melebar, membuat laki-laki tersebut bahagia ketika melihatnya. Perempuan ini satu-satunya orang yang dia miliki di negara ini. Dia tidak memiliki apa-apa lagi selain wanita itu.
"Kamu suka dengan pemandangannya, Fatim?" tanya laki-laki tersebut.
Perempuan yang ada di sebelahnya menoleh ke arah laki-laki tersebut dan tersenyum kepadanya. "Iya, aku sangat suka pemandangannya." Dia mengembalikan pandangannya kembali ke depan dan menatap gurun yang indah itu.
"Fatim, ada sesuatu yang perlu aku tanyakan," ucap laki-laki itu, "bagaimana bisa kamu berbicara dengan menggunakan Bahasa Indonesia selancar ini? Aku tidak menyangka jika kamu bisa berbicara menggunakan Bahasa Indonesia denganku."
Perempuan yang bernama Fatim itu menoleh dan menatap laki-laki itu lagi sambil tersenyum kepadanya. "Aku juga tidak menyangkanya."
"Di mana kamu belajar itu?" kata laki-laki tersebut.
"Aku belajar di perpustakaan." Kata Fatim sambil melihat laki-laki tampan yang ada di sebelahnya.
"Perpustakaan? Bukankah senior melarangmu untuk pergi ke perpustakaan? Bagaimana kamu bisa sampai ke sana?"
"Ya, aku tahu itu. Ceritanya panjang. Saat itu, aku dan beberapa orang ditunjuk oleh atasanku untuk melaksanakan sebuah misi. Kami membentuk sebuah tim yang beranggotakan lima orang. Saat beberapa jam sebelum misi dilaksanakan, ada satu hal yang tertinggal. Atasan kami belum memberi tahu kondisi alam di tempat pelaksanaan misi berada. Salah satu anggota tim mencari atasanku, namun dia bilang, atasan kami sedang keluar. Akhirnya mau tidak mau, ketua tim menunjukku untuk mencari buku tentang kondisi geografi tempat yang akan kita datangi ke perpustakaan. Awalnya aku menolak karena para senior melarang orang berpangkat rendah seperti kami masuk ke perpustakaan. Tetapi, mereka terus memaksa dan membujukku. Akhirnya mau tidak mau aku harus pergi ke perpustakaan secara diam-diam. Aku mencari buku yang kami cari. Setelah menemukannya aku langsung menyembunyikan buku itu di balik pakaianku. Saat dalam perjalanan keluar dari perpustakaan, aku melihat sebuah buku di salah satu rak yang cukup menarik. Buku tersebut menjelaskan tentang kondisi Indonesia, termasuk cara menggunakan bahasanya." Fatim menghentikan ceritanya sambil menghela napas dalam-dalam. "Kamu tahu apa yang pertama kali ada di pikiranku saat melihat buku itu?" kata Fatim.
"Apa?" kata laki-laki tersebut.
"Hal yang pertama aku pikirkan ketika melihat buku itu adalah dirimu. Aku penasaran dengan buku itu dan mengambilnya. Saat waktu luang, aku selalu pergi ke kamarku dan mempelajarinya. Aku juga diam-diam menggunakan komputermu untuk latihan mendengar kosakatanya," lanjut Fatim.
"Kamu hebat, Fatim. Kamu sangat genius. Kamu mempelajarinya hanya dalam waktu beberapa bulan saja. Itu sangat luar biasa. Bahkan aku saja butuh waktu bertahun-tahun untuk mempelajari bahasaku sendiri. Kamu tahu, aku selalu mendapatkan nilai 5 saat pelajaran Bahasa Indonesia di sekolah."
"Terima kasih." Fatim mengembalikan pandangannya ke depan dan menikmati atmosfer matahari terbenam. "Kudengar negara itu sangat indah dan damai. Aku ingin pergi dari tempat ini dan pergi ke Indonesia. Menikmati udara kebebasan dan juga aku ingin bahagia di sana."
"Kamu ingin pergi ke Indonesia?"
"Tentu saja, aku sangat ingin ke sana." Kata Fatim sambil mengangguk.
"Baiklah, jika itu keinginanmu aku akan membawamu ke Indonesia," ucap laki-laki tersebut.
"Benarkah?" Fatim langsung menoleh ke arah laki-laki itu.
"Tentu saja, bukankah aku orang sana? Jika perlu aku akan memberimu kewarganegaraan Indonesia dan kita bisa hidup di sana dengan tenang di Indonesia," kata laki-laki tersebut. Perempuan yang ada di sebelahnya menatapnya dengan tatapan kosong. Tatapan kosong yang dia tunjukkan membuat laki-laki itu menjadi khawatir. "Fatim? Kamu tidak apa-apa? Are you okay?" tanya laki-laki itu dengan khawatir.
"Terima kasih." Fatim tersenyum lebar kepada laki-laki itu. "Terima kasih. Sungguh terima kasih."
"Tidak masalah. Aku juga sudah muak dengan tempat ini. Kita akan pergi dari sini dengan segera. Jika sudah sampai di Indonesia, aku akan membawamu ke Bali. Tempat itu sangat indah. Kita bisa bersenang-senang di sana. Dan juga...," ucapan laki-laki itu terhenti di akhir kalimat. "Aku ingin menikah denganmu."