Chereads / Fugitive / Chapter 5 - Bagian 1.3

Chapter 5 - Bagian 1.3

Anna mencoba berpikir positif. Mungkin saja dia berhalusinasi. Apa lagi saat ini dia merasa kelelahan. Meskipun sudah meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah halusinasi semata, tapi dia merasa ada yang sesuatu janggal dengan bayangan tadi. Perasaannya menjadi tidak enak. Perempuan itu merasa seperti ada seseorang yang mengamati rumahnya.

Untuk memastikan apakah memang ada orang yang mengamati rumahnya atau tidak, dia memilih keluar dari rumahnya. Perempuan itu berjalan menuju jendela tempat bayangan tadi muncul dan memeriksanya. Tidak ada apa-apa di tempat ini. Dan juga tidak ada hal yang mencurigakan di sini. Semuanya baik-baik saja.

Dirasa sudah aman, Anna melangkah menuju pintu untuk masuk ke dalam rumah. Saat berada di depan pintu, dia tidak sengaja menginjak sesuatu. Perempuan itu langsung berhenti dan menatap ke bawah untuk melihat benda apa yang dia injak. Sebuah amplop terlihat tergeletak di atas lantai. Anna mengambil amplop tersebut dan membukanya. Di dalam amplop itu terdapat secarik kertas. Dia mengambil kertas tersebut dan membaca isinya. Kertas itu berisi tentang sebuah tulisan yang hanya memiliki satu kalimat dalam Bahasa Persia.

Anna masuk ke dalam rumahnya. Tidak lupa dia menutup pintu depan dan menguncinya rapat-rapat. Setelah itu, dia berjalan menuju kamarnya sambil membaca tulisan yang tertulis dalam Bahasa Persia tersebut. Tulisan

itu berisi sebuah alamat yang belum dia kunjungi sebelumnya. Sesampainya di dalam kamar, Anna melipat kertas alamat itu menjadi dua dan memasukannya ke dalam laci meja.

Dia melihat gawainya yang berada di atas meja bergetar. Perempuan itu langsung mengambil HP-nya dan memeriksa notifikasi yang muncul. Dia mendapatkan sebuah pesan dengan menggunakan Bahasa Persia dari nomor yang tidak dikenal. Anna langsung membuka pesan tersebut kemudian membacanya. Pesan tersebut tertulis:

«»

‹‹‹Kamu sudah menerima alamatnya, bukan? Temui aku di alamat yang tertulis di kertas itu besok malam! Omong-omong berita di TV memang benar-benar membosankan. Sudah seminggu lebih televisi memberitakan tentang hubungan Amerika dan Iran saja.›››

«»

Mata Anna yang awalnya sipit karena rasa kantuk langsung terbuka lebar setelah membaca pesan tersebut. Bagaimana orang ini tahu jika dia menonton berita di televisi. Apa lagi, orang itu tahu apa yang ditonton oleh Anna. Anna menoleh ke kanan dan kiri untuk memeriksa sekitarnya. Dia bertanya-tanya, apakah ada orang lain di rumah ini?

Gawai Anna bergetar lagi menandakan bahwa ada notifikasi yang masuk. Satu pesan lagi terkirim di HP Anna. Nomor tidak dikenal itu mengiriminya satu pesan lagi dalam Bahasa Persia. Anna membaca pesan tersebut yang tertulis:

«»

‹‹‹Mengapa kamu terlihat begitu terkejut setelah melihat pesanku? Kamu mencari keberadaanku, bukan? Aku tahu kamu sedang mencariku. Itu tergambar dengan jelas di ekspresi wajahmu. Tapi... kamu tidak akan tahu di mana aku berada. Kamu tidak akan bisa melihatku›››

«»

Anna terkejut setelah membaca pesannya. Bagaimana orang itu tahu secara persis ekspresi Anna? Perempuan itu langsung keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Dia memeriksa setiap kolom meja untuk memastikan apakah ada orang lain di rumah ini. Atau mungkin ada orang yang bersembunyi di rumahnya. Selain dapur, dia juga memeriksa ruang tengah dan kamar mandi. Perempuan itu juga membuka setiap lemari yang ada di rumah itu untuk memastikan tidak ada orang yang bersembunyi.

Namun, Anna tidak menemukan siapa pun di tempat tinggalnya. Tidak ada orang lain selain dirinya sendiri di rumah ini. Perasaan Anna semakin tidak enak. Dia masuk ke dalam kamarnya kemudian mengunci pintu kamar rapat-rapat. Perempuan itu juga menutup korden jendela dan menutup semua ventilasi yang ada di kamarnya. Semua itu dia lakukan agar tidak ada celah bagi orang tersebut memata-matainya lagi.

Gawai Anna bergetar lagi. Perempuan itu menatap HP-nya dan memeriksa notifikasi yang masuk. Orang itu mengirim pesan lagi kepada Anna. Dia langsung membuka pesan tersebut dan membacanya.

«»

‹‹‹Temui aku di alamat yang kuberi. Jika tidak, entah apa yang akan terjadi denganmu nanti. Omong-omong, jangan ketakutan seperti itu. Aku tidak akan berbuat jahat kepadamu. Aku juga tidak bersembunyi di kolom meja ataupun lemari. Jadi jangan capek-capek mencariku di tempat itu.›››

«»

Orang itu mengiriminya pesan lagi dalam Bahasa Persia.

Anna merasa ketakutan menerima pesan itu. Dia melempar HP-nya ke kasur. Jantungnya berdetak dengan cepat. Orang itu tahu apa saja yang dia lakukan di rumahnya. Ini peneroran. Siapa orang yang menerornya ini?

Tanpa menunggu lama lagi, dia langsung mengambil gawainya dan memblokir nomor tersebut. Setelah itu dia duduk di atas ranjang dan meletakkan gawai itu di sampingnya. Perasaannya sedikit lega setelah memblokir nomor tersebut. Walaupun dengan memblokir nomor itu bukan berarti masalah sudah selesai.

HP-nya bergetar lagi. Dia mengambil gawainya dan memeriksa notifikasi tersebut. Sebuah pesan masuk dari nomor yang tidak dikenal. Dia membuka pesan itu dan membacanya. Pesan itu tertulis:

«»

‹‹‹Mengapa kamu memblokir nomorku? Aku masih bisa mengirimi pesan kepadamu walaupun kamu memblokir nomorku atau mengganti nomormu seratus kali. Jangan sia-siakan tenagamu. Itu sangat melelahkan. Dan satu lagi, mengenai hal ini, jangan lapor kepada siapa-siapa. Jika kamu lapor, aku tidak bisa menjamin apakah nyawamu masih ada besok. Aku juga tidak bisa menjamin keselamatan keluargamu di Indonesia.›››

«»

Keringat menetes di pelipis Anna. Orang ini sangat menakutkan. Perempuan itu langsung memeriksa profil orang tersebut. Nomor teleponnya juga tidak biasa. Nomor orang itu diawali dengan kode yang tidak dia kenali. Dia mencari di internet kode telepon tersebut. Namun, tidak ada hasilnya. Siapa dia sebenarnya? Pesan itu adalah pesan terakhir yang orang itu kirim. Akibat dari pesan-pesan yang dikirim oleh orang itu, Anna tidak bisa tidur sepanjang malam.

Keesokan harinya, Anna berangkat ke kantor seperti biasanya. Dia keluar dari rumah dan masuk ke dalam mobilnya. Kemudian, perempuan tersebut menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya menuju kantor.

Anna adalah seorang diplomat yang ditugaskan di Kota Tehran. Kota Tehran merupakan ibukota Iran. Dia bekerja di Kedutaan Besar Republik Indonesia untuk Iran sebagai staf yang mengurus budaya.

Sepanjang perjalanan, dia merasa was-was. Perempuan itu takut jika orang yang menerornya kemarin mengikutinya dari belakang. Setiap saat, dia melihat ke arah spion untuk melihat apakah ada mobil mencurigakan yang mengikutinya dari belakang atau tidak.

Sesampainya di kantor, dia memakirkan mobilnya dan keluar dari kendaraan. Kemudian, Anna masuk ke dalam gedung Kedutaan Besar Republik Indonesia dan berjalan menuju tempat kerjanya. Saat berada di tengah perjalanan dia berpapasan dengan rekan kantornya. Mereka saling menyapa sambil tersenyum, seperti rekan kerja kantor pada umumnya.

"Tunggu!" Anna menghentikan temannya. Dia berniat meminta bantuan kepada rekan kerjanya itu untuk ikut dengannya nanti malam ke alamat yang dikirim oleh orang yang menerornya kemarin. Dia butuh teman untuk pergi ke sana.

"Iya, ada apa?" Rekan kerjanya yang bernama Rania menyahut ucapan Anna.

"Ah, i-itu, tidak apa-apa." Anna memilih untuk mengurung niatnya meminta bantuan. Dia tidak bisa menyeret temannya ke dalam bahaya. Ini masalah pribadinya, dia merasa tidak berhak melibatkan orang lain untuk menyelesaikan masalahnya.

"Ada apa, Anna?" tanya rekan kerja Anna yang bernama Rania itu.

"Tidak jadi. Kamu boleh pergi sekarang," ujar Anna.

"Jangan membuatku penasaran seperti itu, Anna. Cepat katakan apa yang ingin kamu katakan?" kata Rania.

"Tidak apa-apa, lagi pula itu tidak terlalu penting," ucap Anna.

"Kamu yakin itu tidak penting," kata Rania.

"I-iya." Jawab Anna sambil melihat ke kanan dan kirinya untuk mencari alasan. Pandangannya terhenti ketika dia melihat segelas kopi yang dipegang oleh Rania. "Aku hanya ingin tahu di mana kamu membeli kopi itu. Minuman yang kaupegang kelihatannya enak, jadi saat aku melihatnya, aku menginginkan kopi itu. Tapi sepertinya aku tidak menginginkan kopi itu lagi."

"Oh, begitu. Baiklah kalau begitu aku pergi dulu." Kata Rania sambil pergi meninggalkannya sendiri.

Anna berjalan menuju mejanya. Sesampainya di meja kerjanya, dia duduk di kursi dan menatap komputer yang ada di depannya. Perempuan itu mengeluarkan sebuah kertas dari dalam sakunya. Kertas tersebut berisi alamat yang diberikan oleh peneror kemarin malam. Dia menyalakan komputer dan membuka internet. Setelah itu, Anna mengetik alamat yang ada di kertas ke kolom pencarian.

Hasil pencarian keluar. Alamat itu berada di luar Kota Tehran. Jaraknya 75 kilometer dari sini. Mata Anna melotot ketika melihat jarak tersebut. Tempat itu sangat jauh. Bagaimana bisa dia pergi ke sana dengan jarak sejauh itu. Apa lagi dia pergi sendirian di malam yang gelap.

"Yang benar saja! Buat apa dia menyuruhku pergi ke tempat itu? Apa dia akan membunuhku di sana?" Gumam Anna dengan sangat kesal. "Aku tidak akan pergi ke sana! Itu sangat jauh." Anna mengambil keputusan untuk tidak datang menemui orang tersebut.

Saat waktunya istirahat, Anna keluar dari kantornya dan berjalan menuju restoran langganannya. Setiap langkah, dia selalu memikirkan tentang orang yang menerornya kemarin. Dia juga memikirkan apakah dia akan datang ke alamat itu nanti malam atau tidak.

"Datang, tidak, datang, tidak, datang, tidak, datang, tidak." Kata Anna sambil menghitung kancing yang ada di bajunya. "Bodoamatlah, aku tidak akan datang. Jika aku dibunuh di sana, siapa yang akan menemukan mayatku? Aku tidak mau mati dalam kondisi lajang." Anna mempercepat langkahnya menuju restoran.

Pikiran negatif mulai memasuki kepala Anna satu per satu. Dia berpikir apa yang akan terjadi jika dia tidak pergi ke sana? Apa orang itu akan terus menerornya setiap malam? Atau dia akan dibunuh di rumahnya? Atau mungkin keluarganya yang ada di Indonesia akan dibantai oleh orang itu? Anna langsung menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh. Ini benar-benar membuatnya gila.

Sesampainya di restoran, dia melihat rekan kerjanya sedang makan sendirian di sebuah meja. Perempuan itu langsung duduk di depan rekannya dan menyapanya. Rekan kerjanya yang bernama Rania itu membalas Anna dengan senyuman sambil mengunyah makanan.

"Tumben, kamu datang lebih dulu di sini? Biasanya aku dulu yang datang ke sini, kemudian disusul denganmu? Apa kamu kelaparan?" tanya Anna.

Teman kerja yang duduk di hadapan Anna menelan makanannya. "Iya, aku lapar. Memangnya mengapa?"

"Seharusnya kamu tunggu aku dulu. Kita bisa pergi bersama ke sini," ujar Anna.

"Kelamaan. Keburu pingsan nanti." Rania memasukkan sesendok makanan ke dalam mulutnya.

"Omong-omong, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan kepadamu," kata Anna.

"Kamu ingin menanyakan apa?" tanya Rania.

"Ini hanya perumpamaan, jadi jangan dianggap serius," balas Anna.

"Apa itu?" Rania merasa penasaran.

"Omong-omong ya, misalnya, ini misalnya ya, bukan kejadian nyata. Jadi jangan salah paham! Ada seorang wanita yang kemarin malam diteror oleh seseorang. Dan orang yang meneror itu mengirim pesan ke korban--," ucapan Anna terpotong oleh Rania.

"Pesan seperti apa?" Rania memotong ucapan Anna setelah menelan makanannya.

"Eh, ya pesan yang membuat korban ini menjadi ketakutan. Misal, korban saat malam itu sedang menonton televisi. Dan beberapa saat kemudian, Si Korban ini mendapat SMS atau pesan dari pelaku peneror. Pesan itu berisi kalau Si Pelaku tahu jika Si Korban sedang menonton televisi, lengkap dengan acara yang dia tonton," jelas Anna.

"Jadi, Si Pelaku tahu apa pun yang sedang dilakukan oleh korban saat itu?" tanya Rania.

"Ya, begitulah intinya," jawabnya.

"Astaga, itu sangat menyeramkan," kata temannya.

"Benar, kan? Itu sangat menyeramkan, bukan?" Anna memukul meja dengan telapak tangannya.

"Biar aku lanjutkan ceritanya. Setelah itu, Si Korban merasa ketakutan. Dia berjalan mengelilingi rumahnya untuk memeriksa apakah ada orang lain yang ada di rumahnya. Selang beberapa saat kemudian, Si Korban ini mendapatkan pesan lagi dari pelaku. Pesan tersebut berisi jika pelaku mengimbau korban agar tidak mondar-mandir di rumahnya. Pelaku juga berkata kepada korban agar tidak merasa cemas. Bukankah itu menakutkan? Si Korban merasa jika Si Pelaku ini tahu apa pun yang dia lakukan."

"Ceritamu sangat menakutkan, Anna."

"Iya, itu sangat menakutkan. Misalnya, jika kamu berada dalam posisi korban apa yang akan kamu lakukan?"

"Pertama-tama aku akan memblokir nomor pelaku," kata Rania dengan nada enteng.

"Nah, itu dia. Si Korban sudah memblokir nomor peneror. Tapi entah apa yang sebenarnya terjadi, orang itu masih bisa mengirim pesan walaupun sudah di blokir berapa kali pun. Jika sudah seperti itu, apa yang akan kamu lakukan?" kata Anna.

"Tidak ada pilihan lain, aku akan melaporkannya ke polisi dan meminta bantuan orang lain," jawab Rania.

"Itu juga tidak bisa dilakukan. Pelaku akan membunuh korban keesokan harinya jika Si Korban melaporkan tentang kejadian itu. Dan satu hal lagi. Pelaku meminta Si Korban untuk menemuinya di sebuah tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya. Malam-malam lagi. Jika bertindak sebagai korban, apakah kamu datang menemuinya atau tidak datang?" tanya Anna.

"Aku tidak akan datang. Itu sangat menakutkan. Bagaimana jika terjadi apa-apa denganku di sana?"

"Sudah kuduga, pasti kamu akan menjawab itu." Anna memukul meja dengan keras. Suara yang dihasilkan membuat pelanggan yang lainnya menoleh ke arahnya. "Tapi, jika korban ini tidak datang, Si Pelaku akan membunuhnya, atau mungkin bisa jadi membantai keluarganya," kata Anna.

"Itu sangat menyeramkan." Rania menyendok makanan dan memasukkannya ke dalam mulut. Setelah itu dia mengunyahnya hingga menjadi lembut, kemudian menelannya. "Tapi... mengapa kamu menanyakan hal itu kepadaku?" tanya Rania.

"Ya, aku hanya ingin tahu saja bagaimana reaksimu," kata Anna

"Reaksiku? Untuk apa?" tanya Rania

"Hanya sekadar ingin saja," jawab Anna.

"Oh, hanya sekadar. Omong-omong, dari mana kamu mendapatkan cerita itu?" tanya Rania lagi.

"Ah i-itu, a-ku mengarang sendiri ceritanya. Aku hanya ingin mengetahui bagaimana reaksimu setelah mendengar cerita yang kubuat," jawab Anna. Dia tidak ingin pengalamannya kemarin diketahui oleh siapa pun.

"Buatan sendiri? Aku baru tahu kamu bisa mengarang cerita. Kamu menyembunyikan bakatmu dengan baik," kata Rania.

"Y-ya, begitulah."

Anna berpikir lagi apakah dia akan datang atau tidak nanti malam. Dia memikirkannya dengan sangat matang. Jika dia salah memilih keputusan, entah apa yang akan terjadi dengannya atau keluarganya.

Setelah memikirkannya berkali-kali, Anna akhirnya memutuskan sesuatu. Dia memilih untuk tidak datang ke alamat itu. Benar kata temannya tadi. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi di sana jika dia datang. Lebih baik tidak datang untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.

"Baiklah, aku tidak akan datang!" Anna bergumam kepada dirinya sendiri dengan suara pelan.

"Kamu bilang apa? Aku tidak mendengarnya," tanya Rania yang ingin tahu ucapan Anna.

"Ah, tidak. Aku tidak mengucapkan apa-apa," kata Anna.

"Ayolah, kamu tadi mengatakan apa, Anna?" Rania memasukkan makanan yang ada di sendoknya ke dalam mulut. Setelah itu dia mengunyahnya hingga lembut lalu menelannya.

"Tidak, aku tadi tidak mengatakan apa-apa, Rania. Mungkin kamu salah dengar," jawabnya.

"Baiklah kalau begitu," balas Rania dengan singkat. "Tapi...." Rania menghentikan kegiatan makannya dan menatap Anna.

"Ada apa, Rania?"

Rania mengembuskan napas dalam-dalam. Dia menatap mata teman yang ada di depannya, menandakan bahwa dia sedang serius sekarang. "Anna, seharusnya kamu mengatakan sesuatu kepadaku jika ada masalah. Kisah yang baru saja kamu ceritakan itu.... adalah pengalaman yang kamu alami kemarin malam, bukan? Kamu diteror kemarin, kan? Kejadiannya sama persis dengan apa yang kamu ceritakan tadi," kata teman Anna.

Anna terkejut mendengar hal itu. Jantungnya berdegup dengan sangat kencang. Bagaimana bisa temannya tahu jika cerita itu adalah pengalamannya. "Ten-tentu saja tidak. A-aku hanya mengarang saja. Apa yang kamu katakan, Rania? Aku tidak pernah mengalami hal itu." Dia merasa panik setelah mendengar ucapan Rania.

✒✒✒✒📁📁📁📁✒✒✒✒

"Bagaimana temanmu bisa tahu kalau kamu diteror?" Kata Dav sambil mengerutkan dahi. Laki-laki itu mendengar cerita Anna dari tadi sambil mengelap senjata api miliknya yang berjenis senapan angin. Dia berhenti mengelap senapan angin yang dia pegang setelah Anna menghentikan ceritanya. Kemudian, Dav meletakkan senjatanya di lemari. Setelah itu, dia mengambil senjata lainnya di dalam lemari tersebut yang berjenis Glock. Sama seperti senjata sebelumnya, Dav membersihkan senjata berjenis Glock tersebut dengan mengelapnya menggunakan kain.

"Aku belum selesai bercerita. Jangan memotong seenaknya sendiri," kata Anna.

"Baiklah, maafkan aku. Silakan dilanjutkan kisahmu itu." Kata Dav sambil mengelap senjata apinya dengan kain.

✒✒✒✒📁📁📁📁✒✒✒✒