Chereads / Fugitive / Chapter 7 - Bagian 1.5

Chapter 7 - Bagian 1.5

Jantung Anna berdegup dengan sangat kencang. Dia hampir tidak bisa bernapas saking takutnya. Perempuan itu terus melangkah mundur menghindari orang yang ada di depannya. Hingga akhirnya, dia terpojok di dinding. Dia tidak bisa bergerak lagi. Langkahnya terhenti, sedangkan orang yang mengenakan pakaian hitam itu terus melangkah maju ke depan dengan perlahan mendekati Anna.

"Siapa kau?" Ucap Anna dengan menggunakan Bahasa Persia.

"Kamu tidak perlu takut." Laki-laki itu membuka masker yang menutupi hidung dan mulutnya. Dia tersenyum kepada Anna dengan senyuman manis.

"Siapa kamu?" tanya Anna dalam Bahasa Persia.

"Sudah kubilang kamu tidak perlu takut." Laki-laki itu terus melangkah mendekati Anna.

"Jangan mendekat!" Anna mencoba berjalan mundur untuk menghindarinya. Tapi, dia sudah tidak bisa melangkah lagi karena terhalang oleh dinding yang ada di belakangnya.

Laki-laki itu menghela napas ketika mendengar ucapan orang yang ada di depannya. Dia berpikir bahwa perempuan itu sangat sensitif dan penakut. "Aku orang yang ingin bertemu denganmu," kata laki-laki itu.

Setelah mendengar kata-kata itu, ketakutan Anna mulai berkurang. Anna juga mulai bisa bernapas dengan lega. "Benarkah itu kamu?"

"Iya," jawab laki-laki itu dengan singkat.

"Ah, syukurlah kalau begitu." Anna mulai merasa tenang sedikit demi sedikit. Jantung yang tadinya berdetak dengan sangat cepat kini mulai stabil.

"Mengapa kamu ingin bertemu denganku?"

"Ada sesuatu yang ingin kukatakan kepadamu," kata laki-laki tersebut.

"Apa itu?" ucap Anna.

"Kita bicarakan saja di dalam." Kata orang itu sambil melangkah meninggalkan tempat tersebut disusul dengan Anna dibelakangnya.

Laki-laki itu berjalan menuju lorong yang ada di sebelah kiri. Dia berjalan di depan sedangkan Anna di belakangnya. Di sebelah kanan dan kiri lorong ini banyak pintu yang berjajar-jajar. Di atas pintu-pintu tersebut tertera nomor yang berurutan dari pintu ke pintu.

Sesampainya di ujung lorong, dia berbelok ke arah kanan. Lorong ini lebih panjang dari lorong yang sebelumnya. Sama seperti lorong-lorong yang lain, sebelah kanan dan kiri lorong ini juga banyak pintu yang berjajar-jajar. Di atas pintu-pintu itu terdapat nomor yang berurutan dari pintu ke pintu.

Mereka terus berjalan di area yang gelap. Laki-laki yang ada di depan Anna bergerak dengan cepat tanpa membawa penerangan sedikit pun. Anna yang mengikutinya dari belakang merasa heran dengannya. Meskipun orang yang ada di depannya bergerak tanpa senter, dia berjalan dengan mulus tanpa menabrak apa pun. Seolah-olah dia bisa melihat di kegelapan. Sedangkan Anna sendiri selalu menabrak tembok yang ada di kanan dan kirinya. Sesekali dia juga tersandung oleh benda yang tergeletak di atas lantai. Untungnya dia tidak sampai terjatuh. Sesampainya di ujung lorong, laki-laki itu berhenti di depan pintu. Anna yang tidak bisa melihat apa-apa terus berjalan hingga akhirnya menabrak punggung laki-laki itu.

"Maafkan aku." Kata Anna setelah menabrak punggung lelaki yang ada di depannya.

Laki-laki itu tidak membalas ucapan Anna. Dia mengambil kunci dari dalam sakunya. Setelah itu, dia membuka pintu yang ada di depannya dengan kunci tersebut. Kemudian, laki-laki itu masuk ke dalam ruangan disusul dengan Anna di belakangnya.

Laki-laki itu memencet saklar untuk menyalakan lampu ruangan. Kemudian dia menutup pintunya. Ruangan yang mereka masuki ukurannya tidak terlalu luas. Hanya lima kali lima meter saja. Di ruangan ini ada satu set sofa, sebuah lemari kayu dan meja kerja lengkap dengan kursi yang memiliki roda di kakinya.

"Silakan duduk," kata laki-laki itu.

"Iya, terima kasih." Anna duduk di sofa yang berwarna abu-abu tersebut. Sedangkan laki-laki itu berjalan menuju meja kerjanya. Dia duduk di kursi beroda berwarna hitam yang berada di balik meja kerjanya.

Anna menatap laki-laki itu. Orang itu tidak terlihat seperti orang yang jahat. Penampilannya seperti pria baik pada umumnya. Wataknya juga sopan. Anna merasakan bahwa aura yang dikeluarkan oleh pria tersebut sangat baik. Jika orang itu terlihat sebaik ini, mengapa dia mengirim pesan yang menakutkan kemarin malam? Bukankah dia bisa meminta bertemu dengannya dengan baik-baik? Mengapa dia malah mengancamnya hanya untuk meminta Anna bertemu? Lalu apa tujuan pria tersebut memanggilnya ke sini? Anna tidak bisa membaca pikiran laki-laki itu.

"Tempat ini sangat rapi untuk ruangan yang ada di dalam gedung terlantar." Kata Anna sambil menyapu pandangannya dari ujung ruangan ke ujung ruangan yang lain. "Tempat apa ini?"

"Ini tempat tinggalku," jawab laki-laki itu.

"Tempat tinggalmu?" Anna tidak percaya dengan ucapan orang tersebut. "Kamu tinggal di sini?"

"Iya, aku tinggal di sini," jawabnya. Setelah itu, laki-laki tersebut membuka laci meja untuk mencari sesuatu.

"Tidur dan makan juga di sini?"

"Semua kegiatan kulakukan di sini." Ucap laki-laki itu sambil mengacak-acak semua barang yang ada di laci tersebut.

"Apa yang kamu lakukan di sini? Mengapa memilih gedung tua yang menyeramkan ini untuk tempat tinggal? Bukankah di Tehran masih banyak rumah yang layak huni? Kamu bisa menyewa sebuah rumah di sana," kata Anna.

"Aku tidak bisa melakukan hal itu." Kata laki-laki itu sambil mengerutkan dahinya. Sepertinya, barang yang dia cari belum ketemu.

"Mengapa?" Tanya Anna sambil mengerutkan dahinya.

"Aku tidak bisa menyebutkan alasannya. Ada sesuatu yang tidak bisa kukatakan kepada siapa pun." Laki-laki itu mengacak barang-barang yang ada di laci meja.

"Baiklah, aku tidak akan menanyakannya itu lagi," kata Anna.

Hening terjadi setelah percakapan singkat itu. Laki-laki itu masih mengacak-acak semua barang yang ada di dalam laci. Dia kehilangan sesuatu. Sedangkan Anna menatap laki-laki itu terus-menerus. Dia baru sadar jika laki-laki itu sepertinya bukan berasal dari negara ini. Ciri-ciri tubuhnya terlihat berbeda dari etnis-etnis yang ada di Iran pada umumnya. Logat Bahasa Persianya juga menunjukkan bahwa sepertinya dia bukan orang Iran asli. Jika diperhatikan lebih seksama, laki-laki itu sepertinya berasal dari Asia Timur.

"Apa kamu berasal dari Asia Timur? Mungkin Tiongkok?" tanya Anna dalam Bahasa Persia.

"Tidak, aku bukan dari Tiongkok." Laki-laki itu mengembuskan napas. Sepertinya dia menyerah mencari benda yang hilang itu dan menutup lacinya kembali.

"Lalu, dari mana kamu berasal?"

"Aku berasal dari Jepang. Memangnya mengapa?" tanya laki-laki itu.

"Aku hanya tanya saja. Kamu terlihat seperti orang Asia Timur, dan rupanya memang benar kamu berasal dari sana," kata perempuan itu. "Di mana kampung halamanmu di Jepang? Tokyo, Osaka, atau Okinawa? Mungkin Nagasaki, atau yang lainnya?" tanya Anna lagi.

"Aku berasal dari Hokkaido," jawab laki-laki tersebut.

"Oh, Hokkaido. Lalu apa yang kamu lakukan di Iran?"

"Aku...," ucapan laki-laki itu terhenti. Dia tidak bisa mengungkapkan tujuannya berada di negara ini. "Aku bekerja di sini," katanya secara asal.

"Ah, bekerja," kata Anna.

"Kalau kamu berasal dari mana? Sepertinya kamu bukan orang Iran," kata laki-laki tersebut.

"Aku berasal dari Indonesia," jawab Anna.

"Kamu orang Asia Tenggara rupanya. Apa yang kamu lakukan di Iran?"

"Aku bekerja sebagai diplomat di sini," kata Anna.

Laki-laki itu hanya menganggukkan kepala saja ketika mendengar hal itu. Dia sebenarnya sudah tahu jika Anna berasal dari Indonesia. Dia juga sudah tahu pekerjaannya, latar belakangnya, dan juga keluarga perempuan itu yang ada di Indonesia. Dia menanyakan itu hanya untuk basa-basi semata.

"Omong-omong, apa pekerjaannmu?" kata Anna

"Ada sesuatu yang perlu aku lakukan di tempat ini."

"Sesuatu? Sesuatu apa?" tanya Anna.

"Kamu tidak perlu tahu. Tidak semua yang ingin kamu tanyakan ada jawabannya."

"Baiklah kalau begitu. Maafkan aku. Aku tidak akan menanyakan hal itu lagi jika pertanyaannya mengganggumu." Setelah mengucapkan hal itu, Anna menatap lemari yang berada di sebelah meja kerja. Dia melihat tulisan dalam bahasa asing menempel di lemari itu. Dia tidak tahu bahasa apa itu dan juga artinya. "Omong-omong siapa namamu?" Tanya Anna sambil menatap laki-laki tersebut.

"Apa aku perlu memberitahu namaku kepadamu?" Kata laki-laki itu dengan tatapan tajam.

Anna yang melihat tatapan tajamnya langsung merasa sedikit takut. Laki-laki itu terlihat seperti mengancamnya atau menakut-nakutinya.

"Mengapa kamu menatapku seperti itu? Aku hanya menanyakan namamu saja. Apa aku membuat kesalahan kepadamu? Memangnya salah menanyakan nama?"

"Bukankah menanyakan nama seseorang secara tiba-tiba itu lancang?" ucap lelaki tersebut.

"Kamu sungguh aneh. Kamu yang menghubungiku dan memintaku untuk bertemu denganmu di sini. Bahkan aku tidak tahu apa tujuanmu memanggilku kemari. Dan sekarang aku bersedia menemuimu di bangunan yang aneh ini. Jadi wajar saja jika aku bertanya siapa namamu. Apa lagi kamu belum memperkenalkan diri."

"Baiklah, aku akan memberi tahu namaku. Namaku Taishi."

"Taishi? Namamu lumayan unik. Namaku Anna."

"Terima kasih." Laki-laki itu meletakkan kedua sikunya di atas meja dan menyatukan jari-jemarinya. Dia menatap perempuan itu dengan sungguh-sungguh, menandakan bahwa apa yang akan dia katakan adalah sesuatu yang serius. "Apa aku boleh meminta sesuatu kepadamu?"

"Apa yang ingin kamu minta?"

"Setelah keluar dari ruangan ini, anggaplah tidak terjadi apa-apa. Dan juga rahasiakan identitasku. Anggap saja kamu tidak pernah menemuiku." Kata laki-laki itu dengan serius.

"Mengapa?"

"Asal kamu tahu, hanya kamu satu-satunya orang luar yang mengetahui nama asliku?" kata Taishi.

"Nama asli? Apa yang kamu maksud dengan nama asli? Apa mungkin selama ini kamu memakai nama palsu gitu?"

"Iya, selama ini aku memakai nama palsu," jawab Taishi.

"So, what your fake name?"

"Aku memiliki banyak nama palsu. Adaam, Amiir, Michael, Yuzima, Soo Ahn, Kent, dan masih banyak lagi."

"Untuk apa kamu memiliki nama sebanyak itu?" tanya Anna.

"Aku tidak ingin orang-orang mengetahui identitasku," jawab Taishi.

"Alasan yang konyol. Aku baru mendengar alasan seperti itu. Memangnya siapa kamu sampai-sampai memiliki banyak nama palsu? Intel? CIA? PSIA? Atau mungkin buronan teroris? " kata Anna dengan nada mengejek. "Dan satu hal lagi. Apa yang kamu maksud dengan orang luar tadi?"

Taishi menatap perempuan itu, "Orang luar adalah orang yang bukan dari pihak kami."

"Pihak kami?" Kata Anna sambil mengangkat alisnya. "Apa lagi yang kamu maksud?"

"Kalau kamu tidak tahu lebih baik lupakan saja."

"Baiklah aku akan melupakannya. Lagi pula aku tidak akan ambil pusing mendengar kata-katamu yang konyol," kata Anna. "Apa tujuan kamu memanggilku ke sini?"

Taishi mengembuskan napas dalam-dalam. Dia sedikit membungkuk dan menatap perempuan itu dengan serius. "Aku akan langsung ke intinya saja, Anna. Tinggalkan Tehran dengan segera. Tidak, lebih jauh lagi. Tinggalkan Iran secepat mungkin."

"Apa maksudmu segera pergi dari Iran," ujar Anna.

"Sesuai yang kukatakan barusan, tinggalkan Iran dengan segera," katanya.

"Apa maksudmu meninggalkan Iran secepat mungkin? Aku seorang diplomat di sini. Aku bekerja di negara ini. Dan kamu dengan enaknya menyuruhku pergi dari sini. Memangnya siapa kamu sampai berani mengusirku?" kata Anna dengan nada yang sedikit tinggi.

"Aku hanya memberimu saran. Terserah apakah kamu akan menerima saranku atau tidak."

"Saran? Apa itu yang kamu maksud saran? Menyuruhku pergi dari Iran dan membuatku kehilangan pekerjaan. Memangnya kamu ingin menghidupiku? Aku ini tulang punggung keluarga. Aku yang bertanggung jawab atas keluargaku yang ada di Indonesia. Dan kamu malah seenaknya menyuruhku pergi. Memangnya kamu atasanku?" Anna merasa kesal dan marah.

"Apa pun jawabanmu, kamu tidak bisa menyangkal kenyataan. Di negara ini terlalu bahaya bagimu. Tinggalkan Iran dan pulanglah ke Indonesia. Jangan pernah kembali ke Iran atau negara-negara di Timur Tengah dalam waktu tertentu. Aku akan mengurusnya."

"Terlalu bahaya bagiku? Justru aku sangat takut denganmu. Kita baru saja bertemu dan kamu berani memberiku saran sampah itu. Ditambah lagi, kamu membuatku ketakutan kemarin. Apa kamu tidak merasa bersalah? Kau baru saja memata-matai seorang perempuan dan membuatnya takut. Kamu juga menerorku kemarin. Sepanjang hari ini, aku merasa ketakutan terus-menerus. Pekerjaanku terus menumpuk karena tidak bisa fokus sebab memikirkan kejadian kemarin malam."

"Anna, dengarkan aku dan tolong patuhi saranku. Ini demi kebaikanmu--." Perkataan Taishi terpotong oleh Anna.

"Aku tahu apa yang baik dan buruk bagiku. Jadi jangan asal-asalan menyuruhku dengan dalih kebaikan." Kata Anna memotong ucapan Taishi.

Sebuah suara terdengar dengan sangat keras. Anna dan Taishi menatap ke arah pintu setelah mendengar suara terssebut. Sepertinya bunyi itu adalah suara reruntuhan. Atau mungkin suara ledakan.

"Tetap di sini," kata Taishi.

Taishi berdiri dari kursinya dan berjalan menuju pintu. Dia memegang ganggang pintu dengan sedikit rasa takut. Anna berdiri dari sofa dan berjalan menuju pintu sambil menggenggam tangannya sendiri. Dia berdiri di belakang Taishi.

"Suara apa itu?" kata Anna.

"Aku tidak tahu," jawab Taishi.

Laki-laki itu membuka pintunya dengan perlahan. Suara pintu yang berderit terdengar dengan keras di bangunan yang sunyi ini. Taishi membuka pintunya seperempat dan mengintip keadaan luar dari balik pintu. Tidak ada apa-apa selain kegelapan yang ada di luar sana.

"Ada apa di depan sana?" Anna berbisik.

"Tidak ada apa-apa." Taishi membuka pintu sepenuhnya dan keluar dari ruangan itu disusul dengan Anna di belakangnya.

Anna dan Taishi berjalan di lorong yang sangat gelap. Jantung mereka berdetak dengan sangat cepat. Suara jangkrik menambah kengerian malam itu. Anna sempat ingin menyalakan senter dari HP-nya. Tetapi, Taishi melarangnya. Dia berkata mungkin ada seseorang di sini. Jadi dia melarang perempuan itu menyalakan senter. Cahaya senter hanya akan mengundang orang itu kemari. Sebelah kanan dan kiri lorong yang mereka lewati terdapat banyak pintu yang berjajar-jajar. Di atas pintu-pintu itu terdapat nomor yang berurutan dari pintu ke pintu.

"Ke mana kita akan pergi?" bisik Anna.

"Kita akan keluar dari gedung ini," Taishi membalas dengan berbisik.

"Tapi, mengapa kamu berbelok ke arah yang berlawanan dari pintu utama?"

"Kita akan pergi melalui pintu belakang. Kita tidak bisa keluar melalui pintu utama. Mungkin ada orang di pintu utama sekarang."

"Memangnya mengapa kalau ada orang?" kata Anna.

"Jangan bodoh, Anna. Bagaimana jika orang itu bukan orang baik? Tempat ini berbahaya," balas Taishi.

"Jika tempat ini sangat berbahaya, mengapa kamu tinggal di sini? Terlebih lagi kamu mengajakku bertemu di tempat ini. Apa kamu ingin membunuhku?"

"Sssstttt, jangan banyak bicara."

Suara langkah sepatu seseorang terdengar menggaung dari kejauhan. Taishi menghentikan langkahnya diikuti dengan Anna. Mereka mendengar suara langkah sepatu itu semakin lama semakin keras menandakan bahwa ada seseorang yang akan datang.

Tanpa menunggu lagi, Taishi langsung menarik tangan Anna dan masuk ke dalam salah satu ruangan. Laki-laki itu menutup pintunya tiga per empat bagian. Setelah itu, mereka berdua bersembunyi di balik pintu. Taishi sengaja tidak menutup pintu sepenuhnya. Suara yang dihasilkan oleh pintu saat tertutup dapat mengundang orang itu.

Suara langkah sepatu semakin terdengar keras. Orang itu berjalan semakin dekat. Anna menahan napasnya. Keringat menetes di pelipisnya. Sedangkan Taishi mengintip kondisi di luar ruangan dari sela-sela engsel. Jantungnya berdetak dengan sangat cepat.

Orang itu melintas di depan pintu. Taishi menelan air ludahnya ketika melihat orang tersebut melalui sela-sela engsel pintu. Orang itu berjenis kelamin laki-laki dan mengenakan pakaian militer berwarna hitam. Beberapa saat kemudian, orang itu sudah pergi jauh. Melihat hal itu mereka berdua dapat bernapas dengan lega.

Anna dan Taishi keluar dari ruangan itu dengan hati-hati. Mereka melanjutkan perjalanan menuju pintu belakang dengan langkah perlahan. Di dalam kepala Anna penuh dengan pertanyaan. Dia ingin menanyakan siapa orang itu dan apa yang orang itu lakukan di sini. Dia ingin menanyakannya kepada Taishi. Namun lebih memilih untuk menahannya. Saat ini bukan waktu yang tepat untuk menanyakan semua yang ada di kepalanya.

Mereka melihat kelokan di depan sana. Mereka akan berbelok ke arah kiri di kelokan tersebut. Namun, sebelum mereka sempat berbelok, dari balik kelokan itu, muncul orang yang mengenakan pakaian militer berwarna hitam. Taishi dan Anna langsung menghentikan langkahnya ketika melihatnya. Orang itu berjalan mendekati mereka.

Anna menahan napasnya. Orang itu terlihat menyeramkan. Dia memakai pakaian militer berwarna hitam. Di kepalanya terpasang masker berwarna hitam dan juga topi anti peluru. Di topi tersebut terdapat sebuah lambang yang dia tidak tahu lambang apa itu.

Orang tersebut berhenti di depan Anna dan Taishi. Dia membuka masker hitamnya dan juga membuka topi anti pelurunya. Laki-laki berpakaian militer yang ada di depan mereka berdua menatap Taishi dengan tatapan tajam.

"Halo, The T!" sapa laki-laki itu dengan Bahasa Persia. "Bagaimana kabarmu?"

✒✒✒✒📁📁📁📁✒✒✒✒

"The T?" Kata Dav sambil membersihkan senapan api miliknya dengan lap kain. "Apa aku tidak salah dengar?"

"Iya, laki-laki itu mengucapkan 'The T'. Memangnya mengapa?" tanya Anna.

"Entahlah, aku merasa seperti tidak asing dengan kata 'The T'." Kata Dav sambil meniup senapan apinya.

"Tidak asing?"

"Iya, aku merasa sangat familiar dengan kata-kata itu. Aku tidak tahu di mana aku mendengarnya. Aku lupa dengan hal itu," ujar Dav.

"Sebentar.... Kamu berhubungan dengan kelompok itu?" tanya Anna.

"Kelompok? Kelompok yang mana?" Dav menoleh ke arah Anna.

✒✒✒✒📁📁📁📁✒✒✒✒