Chereads / Fugitive / Chapter 11 - Bagian 1.9

Chapter 11 - Bagian 1.9

Rania berjalan mendekati Anna sambil menodongkan pistolnya. Jari telunjuknya memegang pelatuk dengan mantap. Perempuan itu menatap teman kerjanya dengan tatapan tajam. Dia siap menembak perempuan yang ada di depannya kapan saja.

Anna tidak percaya dengan apa yang dia lihat. Dia menelan air ludahnya dan melangkah mundur menghindari perempuan itu. Bagaimana bisa temannya menodongkan senjata api kepadanya? Anna masih belum mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Suasana ini terasa aneh baginya.

"Apa yang kamu lakukan, Rania?" Tanya Anna sambil melangkah mundur menghindari Rania.

"Kamu tidak lihat apa yang aku lakukan?" Kata Rania sambil melangkah maju, berusaha mendekati Anna.

"Mengapa kamu menodongkan pistol itu kepadaku?" tanya Anna. Rania tidak menjawab pertanyaan Anna. Dia menatap rekan kerjanya sebagai diplomat itu dengan tatapan tajam. Ekspresi Rania datar dan dingin seperti es, seolah-olah perempuan itu ingin segera membunuh Anna. "Apa yang sebenarnya terjadi?" lanjut Anna.

"Seharusnya kamu sudah mengetahuinya," ujar Rania.

Anna melihat pakaian yang Rania pakai. Perempuan itu tidak memakai baju yang Anna pinjamkan tadi. Dia sudah mengganti pakaiannya. Melihat hal itu, Anna merasa ada hal yang janggal. Bagaimana bisa Rania berganti pakaian dengan sangat cepat? Dan juga, dia merasa tidak asing dengan pakaian yang dikenakan oleh rekan kerjanya. Rania memakai pakaian berwarna hitam. Di bajunya terdapat motif loreng. Motif itu terlihat samar, sehingga saat dilihat secara sekilas, baju itu terlihat polos.

Anna merasa pernah melihat baju seperti itu. Perempuan itu mencoba mengingat-ingat di mana dia melihat baju itu sebelumnya. Hingga dia menyadari sesuatu. Dia teringat dengan Taishi. Tidak, lebih tepatnya dia teringat dengan teman-teman Taishi. Mereka mengenakan baju yang sama dengan Rania.

"Itu, tidak benar, bukan?"

Anna mulai sedikit memahami kondisi yang sedang terjadi. Dia mengira jika Rania adalah anggota dari organisasi yang kemarin dia temui. Organisasi yang menjadikan Anna sebagai target atau buronan. Apa jangan-jangan dia ditugaskan oleh atasannya untuk membunuh dirinya? Semuanya terlihat masuk akal sekarang.

"Kamu sudah paham dengan kondisinya?" Kata Rania sambil melangkah maju. " Serahkan dirimu secara suka rela, Anna. Kamu sekarang sudah tahu bukan siapa diriku. Aku mendapatkan perintah dari atasanku untuk membunuhmu. Tentu saja kamu tahu kan alasan mengapa aku harus membunuhmu? Karena kamu teman dan rekan kerjaku, aku tidak akan membunuhmu. Tapi, sebagai balasannya, kamu harus ikut aku ke markasku. Aku akan menyerahkan dirimu ke atasanku."

Anna tidak membalas ucapan Rania. Dia masih tidak percaya jika temannya ini adalah bagian dari organisasi itu dan mencoba untuk membunuhnya. Dia bertanya-tanya apakah kehadiran Rania dalam hidupnya disengaja oleh mereka agar bisa mengawasi Anna?

"Kamu benar-benar bagian dari organisasi itu?" tanya Anna sekali lagi. Dia masih tidak percaya jika Rania adalah bagian dari kelompok itu.

"Ikutlah denganku! Akan kupastikan kamu tidak dibunuh di sana!" Rania melangkah maju mendekati Anna.

"Mengapa kamu menjadi seperti ini?" Anna terus melangkah mundur menghindari Rania. Hingga akhirnya, dia menabrak sesuatu di belakangnya. Perempuan itu menoleh ke belakang untuk melihat apa yang dia tabrak. Matanya membulat ketika melihat seorang laki-laki yang mengenakan pakaian militer serba hitam berdiri di belakangnya.

Laki-laki tersebut langsung mengekang leher Anna dengan tangan kanan. Sedangkan tangan yang kiri memegang sebuah pisau dan mengarahkannya ke arah Anna.

"Lepaskan aku!" Kata Anna sambil memukuli tangan kanan laki-laki itu yang mengekang lehernya. Dia merasa kesulitan bernapas.

"Jika kamu tidak ikut denganku ke markas, aku akan membunuhmu di sini!" Ucap Rania sambil berjalan mendekati Anna. Sesampainya di depan Anna, Rania meletakkan moncong pistolnya di dahi Anna. "Aku sudah memberimu kesempatan untuk hidup, jika kamu tidak mau, aku siap menekan pelatuknya kapan saja. Membunuh seseorang tidaklah sulit bagiku."

"Mengapa aku harus ke markasmu?" ujar Anna.

"Tentu saja, karena kamu buronan kami. Atasanku memberi peraturan jika ada seseorang yang menjadi buronan di organisasi kami, maka orang itu harus dibunuh. Namun, spesial untukmu, aku akan melanggar aturan dari atasanku. Kemudian, aku membawamu ke markas sebagai gantinya." Rania menekan moncong pistol ke dahi Anna.

"Bagaimana jika aku tidak ingin mengikutimu?" tanya Anna.

"Kamu harus mengikutiku agar kau bisa hidup. Tidak ada cara lain agar kau bisa tetap hidup. Jika kamu tidak mau ikut ke markas bersamaku. Aku terpaksa harus membunuhmu di sini," kata Anna.

"Aku tidak akan mengikutimu!" kata Anna.

Mendengar hal itu, Rania merasa marah. Perempuan itu sudah tidak sabaran lagi. Dia memindahkan senjatanya dari dahi Anna dan mengarahkannya menuju ke arah samping. Setelah itu dia menekan pelatuknya. Suara tembakan terdengar keras di keheningan malam.

"Dengarkan aku baik-baik! Aku akan membiarkanmu hidup jika kamu ikut denganku. Aku mengasihinimu karena kamu temanku. Dan kamu menolak mentah-mentah bantuanku?"

"Mengapa kamu melakukan ini, Rania?" ucap Anna dengan suara terbata-bata karena sulitnya bernapas.

"Kamu selalu menghiraukanku! Mulai kemarin aku bertanya apakah ada masalah dan berniat untuk membantumu. Tapi, kamu malah menolakku dan memarahiku karena merasa risih. Aku tahu kamu sedang dalam kesulitan. Aku tahu apa yang kamu alami baru-baru ini. Diteror saat malam hari dan melihat gedung tua meledak. Aku tahu semua apa yang kamu alami! Kamu pikir, dengan menyembunyikan semuanya, kamu merasa baik-baik saja. Kamu pikir dengan menyembunyikannya dariku, kamu akan menjadi pahlawan karena tidak melibatkanku dalam masalahmu! Nyatanya tidak! Aku sudah terlibat dari awal! Kamu tahu siapa diriku?"

"Aku tidak peduli dengan dirimu," kata Anna. Mendengar hal itu, Rania menyengir dan tertawa. Dia menempelkan moncong pistolnya ke dahi Anna.

Rania mendekatkan bibirnya ke telinga Anna dan berbisik, "Kamu tahu siapa yang menjadikanmu buronan seperti ini?" Setelah mengatakan hal itu, Rania menatap ke wajah laki-laki yang mengekang leher Anna. "Uemaka uhaate enakaube apeaies engaye any-enakaideajeeneem iageabees enaemoerube?" Dia bertanya kepada laki-laki itu dengan bahasa yang tidak dimengerti oleh Anna.

"Haakaeakaube utei uaka?" Jawab laki-laki itu dengan bahasa yang sama.

"Aye, uemaka eraenabe!" jawab Rania.

Setelah berbicara dengan laki-laki itu, Rania kembali menatap Anna. "Kamu tahu apa yang laki-laki itu bicarakan?" Rania berbicara di depan Anna dengan wajah yang menyeramkan. Setelah itu dia mendekatkan bibirnya ke telinga Anna dan berbisik, "Dia berbicara jika akulah yang menjadikanmu buronan di organisaasi kami!"

"Apa maksudmu?" kata Anna.

Rania menjauhkan wajahnya dari Anna dan menyengir. "Akulah yang menulismu dalam daftar buronan di organisasi kami. Aku juga yang mengirim anggotaku untuk mengejar dan menangkapmu. Seharusnya, kamu berhasil tertangkap kemarin. Jika bukan karena Taishi yang berkhianat itu, kamu pasti sudah tahu siapa diriku yang sebenarnya lebih cepat atau lebih awal. Anak buahku yang bernama Taishi itu memang kurang ajar. Untung saja dia sudah mati."

"Apa? Taishi?" kata Anna.

"Kamu bertemu dengannya kemarin malam, bukan? Dia kutugaskan untuk menangkapmu. Namun, dia malah berkhianat dan menyelamatkanmu. Dia juga memasang bom di bangunan itu. Karena itu banyak bawahanku yang mati termasuk Taishi itu sendiri. Dia benar-benar sampah. Karena dirinya, banyak pasukanku yang mati sia-sia." Rania berbisik di telinga Anna.

Anna tidak membalas ucapan Rania. Dia menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Sebenarnya siapa mereka. Apakah Rania adalah "Pemimpin" yang diucapkan oleh Taishi dan teman-temannya kemarin malam?

"Siapa sebenarnya kalian?" kata Anna.

"Aku?" Rania menjauhkan bibirnya dari telinga Anna. Setelah itu, dia menatap rekan kerjanya yang tak berdaya itu. "Bukankah jawabannya sudah jelas? Apeaies nya-eraebebeeee ukaieride, The N?" Kata Rania kepada laki-laki yang mengekang Anna dengan bahasa yang tidak dipahami oleh Anna. Laki-laki yang mengekang Anna memiliki julukan The N.

"Uemaka haaeladea uka-enaesatea," jawab laki-laki itu dengan bahasa yang sama.

"Kamu mendengarkan itu, Anna?" Ucap Rania sambil mengangkat alisnya. "Dia berkata jika aku bukanlah orang baik."

Anna tidak mengeluarkan sepatah kata pun untuk membalas perkataan Rania. Dia melirik ke arah kanan dan kiri untuk menatap sekitarnya. Perempuan itu berharap ada orang yang lewat di sekitar sini dan dapat menolongnya dari dua orang yang menakutkan ini.

"Kamu ingin diselamatkan oleh seseorang yang lewat di area ini?" kata Rania. Anna hanya bisa menatap Rania ketika dia mengatakan hal itu. Bagaimana dia tahu isi pikirannya? "Jangan berharap untuk keluar dari genggamanku! Kami datang ke sini tidak berdua saja. Ada banyak pasukanku yang menjaga area sekitar rumahmu. Mereka bersembunyi di kegelapan. Jika ada orang yang berjalan mendekati rumahmu, maka pasukanku akan menembak mereka. Itu berlaku juga untukmu yang berusaha kabur," lanjut Rania.

"Apakah perempuan ini akan kita ke markas sekarang?" tanya laki-laki itu kepada Rania dengan bahasa yang sama.

"Lepaskan dia terlebih dahulu! Aku akan memberinya pilihan. Mati atau ikut denganku" jawab Rania.

"Baiklah." Setelah mengucapkan hal itu, laki-laki tersebut Anna. Perempuan itu langsung bernapas dengan lega setelah keluar dari cengkraman pria tersebut.

"Aku tidak akan banyak bicara lagi. Semuanya tergantung pilihanmu. Kaulah yang akan mententukan nasibmu sendiri. Ikutlah denganku ke markas," kata Rania.

"Bagaimana jika aku tidak ikut denganku," jawab Anna.

"Aku memberimu kesempatan terakhir untuk memilih apakah ikut denganku atau tidak. Pikirkan baik-baik! Aku memberimu kesempatan yang bagus karena kau adalah temanku, Anna. Jangan sia-siakan belas kasihku!" ujar Rania.

Hening terjadi setelah percakapan tersebut. Rania menatap Anna dengan kedua matanya. Dia ingat bagaimana dirinya bertemu dengan Anna untuk pertama kalinya. Dan, perempuan itu tidak menyangka akan memberikan pilihan sulit kepada rekan kerjanya hari ini.

Semua pasukan yang bersembunyi di balik kegelapan melihat Rania dan target berbincang-bincang. Pasukan-pasukan itu adalah bawahan Rania yang dia bawa untuk menangkap Anna. Mereka bersembunyi di balik semak-semak, dinding, atap, dan sebagainya. Namun, sepertinya para pasukan itu tidak berguna sekarang. Mereka hanya menonton Rania dan Anna asik dengan pembicaraan mereka.

Salah satu pasukan menghela napas dalam-dalam. Dia bersembunyi di balik semak-semak bersama dengan seorang temannya yang sekarang berada di sebelahnya. Dia lelah menunggu perbincangan itu selesai.

"Bukankah Pemimpin tidak suka basa-basi seperti itu? Seseorang yang menjadi target seharusnya langsung ditangkap saja. Mengapa dia malah asyik berbicara dengan buronan?," kata pasukan tersebut kepada teman yang ada di sebelahnya.

"Kamu tidak tahu jika mereka berteman?" Kata temannya sambil membawa senapan. Dia mengarahkan senapannya kepada perempuan itu.

"Apa? Mereka berteman?" Pasukan itu terkejut.

"Malah mereka teman dekat. Kamu baru tahu hal itu? " Kata temannya sambil memegang pelatuk dengan mantap.

"Dari mana kamu tahu jika mereka berteman?" kata pasukan tersebut

"Bukankah sudah jelas?" jawab temannya.

"Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan ," kata pasukan tersebut.

"Kamu tidak perlu tahu. Omong-omong, aku juga bosan menunggu mereka berbicara terus-menerus. Apa aku perlu langsung menembaknya saja?" Katanya sambil mengarahkan senapannya ke arah wanita itu.

"Jangan berbuat gegabah, kawan! Rania pasti marah jika kita langsung menembaknya," ucap pasukan itu.

"Aku akan menjamin dia tidak akan marah."

"Apa? Kami yakin dengan apa yang kami bicarakan? Kita harus mendapat perintah terlebih dahulu sebelum membunuh buronannya!" ucap pasukan itu.

"Tenang saja, aku sudah mendapatkan izin untuk membunuhnya!" jawab temannya.

"Mendapat izin dari siapa?" kata pasukan itu.

"Dari atasanku!" Kata temannya sambil menekan pelatuknya. Dia menembak seseorang. Suara tembakan terdengar di kesunyian malam. Peluru yang berasal dari senapan itu melesat dan punggung mengenai wanita itu.

Rania merintih kesakitan kemudian terjatuh ke tanah. Laki-laki yang memiliki julukan The N langsung melongo menatap atasannya yang tiba-tiba jatuh. Dia tidak tahu apa yang terjadi dengan perempuan itu hingga jatuh ke tanah. Beberapa saat kemudian, laki-laki yang memiliki julukan The N itu melihat darah mengalir dari tubuh perempuan tersebut. Tanpa menunggu lama, dia langsung menghampiri Rania yang tersungkur di tanah. Pasukan tadi menembak Rania. Dia menjadikan Rania target dari tembakannya, bukan Anna Si Buronan.

Anna terkejut melihat kejadian yang ada di depannya. Dia menatap Rania meringis kesakitan. Banyak darah yang keluar dari tubuh perempuan tersebut. Dia hanya bisa berdiam mematung melihat kejadian yang ada di depannya. Perempuan itu bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi dengan Rania.

Orang yang tadi menembak Rania terlihat santai. Dia meniup moncong senapannya dan membersihkannya dengan tangan. Teman yang ada di sebelahnya melongo melihat kejadian itu. Dia tidak percaya jika ada pasukan yang berani menembak atasannya.

"Apa yang kamu lakukan?" ujar teman pasukan yang menembak Rania.

"Kamu tidak perlu takut. Pemimpin kita menyuruhku untuk membunuh Rania." Kata pasukan yang tadi membunuh Rania sambil berjalan meninggalkan tempat kejadian.

"Apa? Tapi mengapa?" Temannya ikut berjalan mengikutinya. "Lalu bagaimana dengan targetnya?."

"Kata Pemimpin, kita biarkan saja dia pergi untuk sementara waktu. Kapan-kapan kita akan tangkap target itu," ujarnya.

"Mengapa kita tidak tangkap saja targetnya sekarang?"

"Entahlah, aku tidak tahu apa yang pemimpin pikirkan. Aku juga bertanya-tanya tentang hal itu. Kita ikuti saja perintahnya." Mereka berdua pergi meninggalkan tempat kejadian.

Tanpa berpikir lama lagi, Anna langsung berlari dari tempat itu dan masuk ke dalam rumahnya. Dia menutup pintu rapat-rapat. Setelah itu, Anna segera berlari menuju kamarnya. Dia membuka lemari pakaian dan mengeluarkan sebuah tas koper kemudian membuka tas itu.

Anna mengambil semua pakaian yang ada di lemari dan memasukkannya ke dalam tas. Tidak lupa, dia memasukkan laptop dan dokumen-dokumen penting lainnya. Semua barang yang dia bawa terlihat acak-acakan. Tidak ada waktu untuk merapikannya. Dia harus segera pergi dari tempat ini.

Perempuan itu menatap layar gawainya. Dia membatalkan tiket pesawat yang tadi dia pesan dan menggantinya dengan tiket penerbangan yang memiliki jadwal lebih awal. Dia akan pergi ke Algeria sekarang juga.

Setelah semuanya sudah siap, Anna langsung keluar dari rumah sambil membawa kopernya. Kondisi di luar sangat tidak kondusif. Laki-laki yang tadi mengekangnya, mencoba untuk menyelamatkan Rania. Darah perempuan itu mengalir dengan deras mengotori halaman rumah.

Anna tidak memedulikan hal itu. Dia tidak punya waktu untuk memperhatikan orang lain. Nyawanya sendiri masih dalam bahaya. Perempuan itu membuka pintu mobil dan memasukkan kopernya. Setelah itu, dia masuk ke dalam kendaraan itu dan menyalakan mesin. Anna menginjak pedal gas dengan keras. Seketika mobilnya melaju dengan cepat.

Dia berkendara menuju bandara. Anna selalu menatap kaca spion untuk melihat apakah orang-orang itu mengejarnya atau tidak. Tidak ada tanda-tanda jika mereka mengikuti perempuan itu dari belakang. Mungkin mereka masih sibuk dengan Rania yang sekarat dan terluka itu.

Sepanjang perjalanan, pikiran Anna terbayang-bayang dengan kejadian barusan. Dia bertanya-tanya siapa yang tadi melukai Rania? Dan juga mengapa alasan dia melukai Rania? Terkait siapa pun dan apa pun alasan orang itu, Anna berterima kasih kepada orang tersebut. Walaupun itu sedikit brutal, tapi Anna dapat lepas dari cengkraman Rania berkat orang tersebut. Dia juga punya sedikit waktu untuk melarikan diri.

Sesampainya di bandara, Anna langsung keluar dari mobilnya dan berlari menuju konter untuk melakukan check-in. Butuh waktu yang lama melakukan kegiatan ini. Jantung Anna berdetak dengan cepat. Dia takut jika mereka menyusul Anna kemari.

Saat sudah berada di pesawat, perempuan itu mencoba untuk menenangkan diri. Dia menarik napas berkali-kali dan mengembuskannya. Dia terus-menerus mengatakan kepada dirinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tidak apa-apa, Anna. Kamu akan meninggalkan negara ini. Sebentar lagi, kamu akan hidup dengan aman. Tenang saja. Anna berbicara dalam batinnya berusaha untuk menenangkan diri.