Taishi dan beberapa orang yang mengelilinginya berjalan di lorong-lorong bangunan. Pasukan yang mengawal Taishi mulai merasa curiga kepada laki-laki itu. Mereka sudah berjalan dari tadi. Namun, sampai saat ini mereka masih belum sampai di pintu keluarnya. Suasana semakin memanas. Orang-orang yang berada di dalam pasukan itu mengarahkan senapannya masing-masing ke arah Taishi.
"Kita belum sampai ke pintu keluar?" Kata pemimpin pasukan sambil berjalan dan mengarahkan senapannya ke arah Taishi.
"Bangunan ini sangat luas dan besar. Jadi butuh waktu untuk berjalan dari belakang bangunan menuju ke depan bangunan," kata Taishi dengan santai.
"Jika tahu akan sejauh ini, mengapa kita tidak lewat luar saja untuk menuju ke mobilmu yang ada di halaman depan? Mengapa kita lewat dalam?" kata orang itu.
"Akan sangat membutuhkan waktu yang lebih lama jika kita lewat luar untuk menuju ke halaman depan. Kita harus memutari bangunan ini," kata Taishi.
"Benarkah? Kita juga memakirkan mobil kita di halaman depan. Dan, kami mengejarmu menuju halaman belakang dengan melewati area luar bangunan. Tapi, kami tidak membutuhkan waktu yang lama."
"Oh, iya? Mungkin kalian ke halaman belakang dengan cara berlari, sehingga hanya membutuhkan waktu sebentar. Atau mungkin, kalian salah perhitungan?" kata Taishi dengan santai. Pasukan yang mengawal Taishi semakin curiga. Mereka mengarahkan senapan ke arah Taishi lebih mantap lagi. Mereka juga menyiapkan jari telunjuk mereka untuk menekan pelatuk.
"Mungkin saja." Pemimpin pasukan menatap Taishi dengan tatapan tajam.
Kurang tiga menit. Kurang tiga menit lagi bom yang berada di bawah bangunan akan meledak. Taishi hanya perlu mengulur waktu sebentar lagi. Dia harus bertahan selama tiga menit.
โโโโ๐ฃ๐ฃ๐ฃ๐ฃโโโโ
Anna merasa putus asa. Dia merasa bahwa dirinya tidak punya harapan lagi. Perempuan itu tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang. Tidak ada yang bisa dia lakukan di sini selain menunggu bom itu meledak dan menunggu ajalnya datang. Dia terjebak sekarang.
Waktu terus berjalan. Kini tinggal tiga menit lagi. Tinggal tiga menit lagi bom yang disiapkan oleh Taishi akan meledak. Tidak, bukan tiga menit. Lebih tepatnya tinggal dua menit lagi. Waktu terus berjalan hingga menyisakan waktu dua menit saja. Dua menit lagi bom itu akan meledak. Percuma saja jika dia kembali ke titik awal untuk mencari jalan keluar. Waktunya tidak akan cukup.
Di saat perasaan putus asa menyelimutinya, dia teringat sesuatu. Di sakunya terdapat sekotak korek api. Anna langsung merogoh sakunya dan mengambil korek api tersebut. Benda itu mungkin bisa membantunya keluar dari bangunan ini.
Dia pernah melihat sebuah film. Di dalam film itu, terdapat seseorang yang tersesat di ruangan bawah tanah pabrik besar. Orang tersebut menyalakan korek api dan memperhatikan arah asapnya. Asap itu bergerak menuju ke arah jalan keluar.
Anna menyalakan sebatang korek api. Siapa tahu cara itu berhasil. Asap yang dihasilkan oleh korek tersebut bergerak ke sebuah arah. Suasana di sekitarnya menjadi sedikit terang. Anna berjalan mengikuti arah asap itu. Siapa tahu dia dapat keluar dengan menggunakan cara ini.
Waktu dua menit mungkin cukup untuk keluar dari sini. Apa lagi dia dituntun oleh asap yang bergerak ke pintu keluar. Setidaknya ini terasa mudah. Mungkin hanya butuh waktu kurang dari dua menit untuk menemukan pintu utamanya. Secercah harapan mulai terlihat.
Beberapa saat kemudian, korek yang dia pegang telah habis. Seketika suasana di sekitarnya menjadi gelap. Tanpa menunggu lama lagi, Anna mengambil sebatang korek lagi dari dalam kotak dan menyalakannya. Area sekitarnya menjadi sedikit terang. Dia berjalan mengikuti arah asap yang dikeluarkan oleh korek tersebut.
Anna berbelok ke arah kanan dan ke arah kiri mengikuti arah asap. Ini sangat mudah. Mengapa tidak dari tadi dia menggunakan cara ini? Perempuan itu merasa bahwa dirinya bodoh karena tidak memikirkan cara ini dari tadi. Jika dia melakukannya, mungkin dia sudah keluar dari gedung ini sekarang.
Beberapa saat kemudian, korek yang dia pegang habis lagi. Area sekitarnya seketika menjadi gelap. Dengan segera, perempuan itu mengambil sebatang korek lagi dari kotak dan menyalakannya. Area sekitarnya kembali menjadi sedikit lebih terang. Dia mengikuti arah asap yang dihasilkan oleh korek tersebut.
Beberapa kali korek yang dia pegang habis dan padam. Beberapa kali juga Anna mengambil korek yang ada di dalam kotak dan menyalakannya. Korek yang terbuat dari kayu ini hanya bisa bertahan sebentar.
โโโโ๐ฃ๐ฃ๐ฃ๐ฃโโโโ
Ketegangan antara Taishi dengan pasukan yang mengelilinginya semakin tidak terkendali. Suasana di sekitar mereka semakin panas. Orang-orang yang berada dalam formasi pasukan siap menekan pelatuknya masing-masing dan menembakkan pelurunya kepada Taishi jika sewaktu-waktu dia memberontak. Sedangkan Taishi merespons itu semua dengan wajah santai. Dia seperti menganggap bahwa ini semua hanya main-main saja.
"Apa kamu mempermainkan kami?" kata pemimpin pasukan.
"Tentu saja tidak. Aku sudah mengatakannya bahwa rasa setia kawanku masih ada untuk kalian," kata Taishi.
"Kamu tahu kan apa yang akan kamu dapatkan jika berbuat macam-macam?"
"Iya, tentu saja aku tahu. Aku akan mati di tempat, bukan?" Kata Taishi sambil melihat satu demi satu pasukan yang mengelilinginya. "Tenang saja, aku tidak ingin mati. Kalian tidak perlu khawatir. Aku tidak akan memberontak." Laki-laki itu berusaha mengulur waktu sampai bom yang dia pasang meledak. Tinggal dua menit lagi bom itu meledak.
Taishi tidak merasa takut sedikit pun menghadapi pasukan yang mengelilinginya. Perkataan yang barusan dia ucapkan juga omong kosong. Laki-laki itu tahu jika dia akan mati karena ledakkan bom yang dia pasang sendiri. Sejak tadi, dia berniat untuk mati bersama dengan pasukan ini.
Taishi sengaja berbelok ke arah yang salah. Dia berniat untuk membawa pasukan itu ke tengah-tengah gedung. Tepat di bawah ruangan itulah dia memasang bomnya. Area tengah gedung juga jauh dari pintu utama maupun pintu belakang. Mereka tidak akan punya waktu untuk kabur dan keluar dari gedung ini.
"Apa kamu bermain-main dengan kami?" tanya orang itu lagi.
Mendengar hal itu, Taishi mengembuskan napas. Dia merasa bosan diberi pertanyaan yang sama terus-menerus. "Aku sudah bilang. Aku tidak mempermainkan kalian. Untuk apa aku mempermainkanmu dan juga teman-temanmu. Walaupun kita tidak terlalu dekat, tapi kita masih sama-sama anggota, kan? Seharusnya kita saling percaya kepada masing-masing anggota. Aku sudah bosan ditanyai hal yang sama terus-menerus," kata Taishi.
"Itu peringatan terakhirku. Jika kamu tidak mengarahkan kami dengan benar. Aku akan menembakmu di tempat."
"Iya, ya. Aku tahu. Sudahlah diam saja dan percaya kepadaku," kata Taishi. Mereka terus berjalan di dalam gedung itu. "Omong-omong, hukuman apa yang akan kuterima nanti?" Taishi mencoba untuk mengulur waktu sambil mencairkan suasana.
"Jangan banyak bicara!" kata pemimpin misi.
"Hei, aku cuma tanya saja. Tidak bolehkan aku bertanya? Aku berhak tahu apa hukumanku nanti?" Ucap Taishi dengan rasa kecewa. "Apakah kakiku akan dipotong nanti? Atau mungkin tanganku yang dipatahkan? Hukuman itu terdengar menarik, bukan?"
"Diam!" orang itu berbisik.
"Tidak semua orang merasakan kakinya dipatahkan. Jika memang itu hukumannya. Bukankah aku sangat beruntung. Dari sekian banyak orang, aku adalah salah satu orang yang bisa merasakan kakiku dipotong dengan sengaja. Aku tidak sabar untuk merasakan sensasinya," kata Taishi. Para pasukan itu tidak membalas ucapan Taishi. Mata mereka menatap Taishi dengan tatapan tajam. Laki-laki itu semakin lama semakin tidak terkendali.
Beberapa saat kemudian, mereka sampai di tengah-tengah gedung. Di bawah lantai yang mereka injak terdapat bom yang sebentar lagi akan meledak. Taishi berhenti berjalan. Para pasukan yang mengelilinginya juga berhenti berjalan. Kemudian, Taishi mengangkat kedua tangannya.
"Maafkan aku! Aku tidak tahu jalan keluarnya," kata Taishi dengan santai.
"Apa yang kamu katakan?" kata pemimpin pasukan.
"Aku tidak tahu jalan keluarnya. Kita tersesat di sini!" kata Taishi dengan enteng.
"Brengsek, beraninya kamu mempermainkan kami!" kata pemimpin pasukan.
"Baiklah, aku berbuat salah kepada kalian. Apakah kalian mau memaafkanku karena kesalahanku ini?"
"Jangan bercanda, The T! Tunjukkan jalan keluarnya!"
"Sudah kubilang, aku tidak tahu jalan keluarnya."
"Beritahu jalan keluarnya atau kutembak kau!" Kata orang itu sambil mengarahkan senapan ke arah Taishi.
Laki-laki itu menyengir ketika mendapat gertakan darinya. Dia ingin tertawa dengan keras, tetapi berusaha untuk menahannya. "Silahkan tembak saja aku! Tidak ada ruginya jika aku mati sekarang. Toh! Sebentar lagi kalian akan menyusulku."
"Jangan main-main dengan kami!" kata pemimpin pasukan.
Taishi mengambil suatu benda dari dalam sakunya. Benda itu adalah timer yang menghitung mundur peledakan bom. Dia menunjukkan benda itu kepada pasukan yang mengawalnya. Di dalam timer itu tertulis angka 00:01:05 yang artinya bom yang dia pasang akan meledak satu menit lagi.
"Tepat di bawah lantai yang kita injak. Ada bom yang siap meledak dalam waktu satu menit. Jadi kita akan terkubur di bawah reruntuhan gedung ini sebentar lagi!"
"Brengsek! Jangan macam-macam dengan kita! Akan kamu laporkan kamu ke markas!" kata orang itu.
"Silakan! Silakan laporkan aku ke markas. Itu pun jika kalian berhasil keluar dari sini. Tapi, sepertinya kalian tidak akan bisa lolos dari ledakkan yang kubuat. Ruangan ini jauh dari pintu keluar manapun. Sia-sia jika kalian berusaha keluar sekarang."
"Dasar berandal! Bagaimana bisa kamu melakukan ini kepada sesama rekanmu?"
"Hei, mengapa kamu marah? Bukankah kamu mau menembakku? Silakan tembak aku! Aku rela jika aku mati di sini. Setidaknya aku juga akan mati bersama kalian, bukan? Jangan merasa buruk untuk mati tertimpa bangunan. Setidaknya ini cara kita menebus semua dosa karena telah membunuh ratusan nyawa yang tidak berdosa hanya untuk kepentingan kita sendiri," kata Taishi.
"Apa kamu mengancam kami?" Orang itu memegang pelatuknya kuat-kuat.
"Anggap saja seperti itu," kata Taishi.
"Hentikan waktunya sekarang juga?"
"Aku tidak mau. Aku tidak ingin mati sendirian. Sebagai rekan, seharusnya kita hidup dan mati bersama, bukan?" kata Taishi.
"Kubilang hentikan waktunya sekarang juga!" orang itu berteriak.
"Kubilang aku tidak mau!"
Mendengar ucapan Taishi, pemimpin pasukan menghela napas dalam-dalam. Dia mencoba untuk rileks dan melemaskan badan. Dia tidak ingin mengambil risiko. Apa lagi timer yang dipegang oleh Taishi menunjukkan bahwa bom itu akan meledak empat puluh detik lagi. Dia memilih untuk menurunkan senjatanya dan juga memerintahkan kepada semua orang yang ada di pasukan itu untuk menurunkan senapannya masing-masing. Tanpa diperintah dua kali. Pasukan itu menurunkan senjatanya.
"Lihat, kan? Kita sudah menurunkan senjata kita masing-masing. Kita tidak akan membunuhmu. Kita bisa hidup selamanya. Sekarang tolong hentikan waktunya sebelum bom itu meledak," katanya.
"Hmm, tawaran yang menarik."
"Betul, bukan? Tawaran itu sangat menarik. Mulai saat ini kita berdamai saja. Aku tidak akan melaporkanmu ke markas. Sebagai gantinya tolong hentikan bomnya sekarang juga," orang itu memohon kepada Taishi. Dia melihat timer yang ada di tangan Taishi menunjukkan bahwa bom itu akan meledak tiga puluh detik lagi.
"Hmm, aku tidak bisa menolak tawaranmu. Itu sangat menggiurkan," kata Taishi.
"Tawaranku bagus, bukan? Ini adalah negoisasi terbaik yang pernah kutawarkan." Senyuman mulai terukir di wajah orang itu
"Tapi, sayangnya aku tidak bisa?" kata Taishi dengan santai.
"Mengapa?" Senyuman orang itu mulai memudar.
"Setelah bom ini ditekan, tidak ada yang bisa menghentikannya termasuk aku. Tidak ada pilihan selain mati di bawah reruntuhan bagunan ini."
"Apa!"
"Maafkan aku, tapi waktu kita tinggal dua puluh detik lagi." Kata Taishi sambil menunjukkan timer yang dia pegang. "Apa ada kata terakhir yang ingin kamu ucapkan?"
"Dasar berandal!" Pemimpin pasukan mengambil senapannya dan menembak perut dan dada Taishi beberapa kali. Taishi terjatuh ke lantai. Darah keluar dari perut dan dadanya. Beberapa saat kemudian, mulutnya menyusul mengeluarkan darah. Taishi ingin tertawa dengan lantang setelah melihat reaksi orang yang menembaknya tadi. Tapi saat ini, dia kesulitan untuk tertawa.
Orang yang menembak Taishi langsung berlari meninggalkan ruangan itu disusul dengan para pasukannya. Taishi yang melihat mereka tertawa hanya bisa menyengir dengan mulut yang penuh darah. Jarak antara ruangan ini dengan pintu keluar sangatlah jauh. Mereka tidak akan sempat menyelamatkan diri.
โโโโ๐ฃ๐ฃ๐ฃ๐ฃโโโโ
Anna terus berjalan sambil melihat arah asap yang dikeluarkan olek korek api yang dia bawa. Dia berjalan dengan kecepatan sedikit lebih laju dari sebelumnya. Korek yang dia pegang adalah korek terakhir yang dia punya. Dia tidak punya cadangan korek lagi. Perempuan itu harus bisa keluar dari gedung ini sebelum apinya mati.
Beberapa saat kemudian, api yang ada di korek itu sudah padam. Anna menghela napas dalam-dalam. Dia merasa kecewa. Perempuan itu sudah tidak memiliki korek lagi untuk dibakar. Dia juga belum keluar dari gedung ini.
Namun, sepertinya keberuntungan kali ini memihak kepadanya. Dia melihat pintu keluar berada beberapa meter darinya. Senyuman terukir di wajahnya. Tanpa menunggu lama lagi, Anna langsung berlari dan keluar dari gedung. Setelah melompat keluar dari gedung, dia berlari menuju mobilnya yang terparkir dua puluh meter di depan bangunan. Beberapa saat setelah Anna keluar melalui pintu utama, gedung yang ada di belakangnya meledak. Dia terjatuh ke tanah karena tidak bisa menahan gelombang ledakkan yang dihasilkan. Suara ledakkan itu terdengar sangat keras. Api menyambar ke segala arah. Cahaya yang dihasilkan membuat mata Anna menjadi silau.
Tubuh Taishi yang tepat berada di atas bom langsung berceceran tepat saat bom itu meledak. Orang-orang yang tadi melarikan diri juga tak luput dari ledakkan bom yang terjadi. Mereka semua jatuh ke lantai dan terbakar semburan api. Setelah itu mereka tertimpa reruntuhan bangunan.
Beberapa detik setelah ledakan terjadi, Anna menoleh ke arah bangunan tersebut. Gedung itu terbakar. Sebagian besar bangunan hancur lebur. Hanya menyisakan beberapa bagian saja. Keping-keping bangunan banyak yang berterbangan dan mendarat secara acak di tanah. Debu dan abu mengelilingi area itu.
Tanpa menunggu lama lagi, Anna langsung berdiri dan berlari menuju mobilnya. Perempuan itu membuka pintu mobilnya dan masuk ke dalam kendaraan itu. Kemudian, dia menyalakan mesinnya dan menjalankan mobil. Dia mengendarai kendaraan itu dengan kecepatan yang sangat tinggi.
Jalanan malam ini sangat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang berlalu lalang. Anna menyetir dengan kondisi penuh luka. Ledakkan yang terjadi tadi mengukir luka bakar di beberapa bagian tubuhnya karena terkena semburan api, walaupun lukanya tidak terlalu berat. Rambutnya berantakan dan penuh dengan debu.
Selama perjalanan, dia tidak memikirkan apa pun. Kepalanya fokus dengan jalanan yang ada di depannya. Dia ingin cepat sampai ke rumahnya. Matanya memerah dan juga terasa sedikit peri karena kemasukan beberapa debu saat ledakkan tadi.
Beberapa saat kemudian, Anna memasuki Kota Tehran, Ibukota Iran. Dia menambah kecepatan mobilnya. Perempuan itu tidak peduli jika kecepatan mobilnya melewati batas yang telah ditentukan. Yang dia pedulikan hanya satu. Pulang ke rumah secepatnya.
Setelah melalui perjalanan berpuluh-puluh kilometer, akhirnya, Anna sampai di rumahnya. Dia keluar dari mobil dan berjalan menuju rumahnya. Dia membuka pintu utama dan masuk ke dalam rumah. Setelah itu, dia menutup pintunya kembali dan menguncinya rapat-rapat. Dia juga menutup semua jendela yang ada di rumah itu. Setelah kejadian tadi, dia merasa ketakutan.
Anna masuk ke dalam kamar. Dia mengunci pintu kamarnya rapat-rapat. Setelah itu dia bersandar di dinding. Anna memegang wajah dengan kedua tangan. Kondisinya sangat berantakan sekarang. Baju yang dia kenakan begitu kotor. Kulitnya penuh dengan debu dan luka. Beberapa puing-puing bangunan yang berukuran kecil banyak yang menempel di rambutnya.
Anna duduk di lantai sambil memeluk lututnya. Punggungnya bersandar di dinding kamar. Dia menundukkan kepala. Matanya yang berkaca-kaca sejak tadi meneteskan air mata dan membasahi pipi. Dia merasa ketakutan sekarang.
Kondisinya semakin memburuk ketika memikirkan tentang kejadian tadi. Dia berpikir mungkin hidupnya akan terancam mulai saat ini. Perempuan itu terus menangis. Mulai sekarang dia akan dihantui dengan kematian. Apa lagi saat di gedung tadi, Taishi mengatakan bahwa Anna adalah target. Pasti banyak orang yang ingin membunuhnya. Terutama orang-orang yang berseragam militer tadi. Dia merasa sangat ketakutan sekali. Tidak ada orang lain yang melindunginya selain dirinya sendiri.
Walaupun dia bisa berhasil selamat dari kejadian tadi, bukan berarti kondisinya aman saat ini. Pasti kelompok orang-orang itu akan mengejarnya kembali. Mereka pasti mencari tahu informasi tentang Anna lebih banyak lagi. Dan mungkin mereka sudah mengetahui biodata serta latar belakangnya. Dengan hanya memikirkannya saja membuat Anna ketakutan. Apa lagi, dia harus berhadapan dengan mereka lagi.
Anna terus-menerus meneteskan air mata. Dia berharap Taishi selamat dan datang menemuinya di rumah ini. Hanya laki-laki itu yang bisa menyelamatkannya dari orang yang memburunya. Dia tidak bisa meminta tolong kepada orang selain Taishi.
Namun, melihat ledakkan dahsyat yang terjadi di gedung tadi, rasanya sangat mustahil jika Taishi selamat. Anna tidak bisa menjamin apakah laki-laki itu selamat dari ledakkan atau tidak. Dia tidak tahu apakah Taishi bisa keluar dari gedung itu atau tidak. Perempuan itu juga mengetahui bahwa tidak ada jaminan jika laki-laki itu masih hidup. Anna berharap dia bisa bertemu dengan lelaki asal Jepang itu walaupun kemungkinannya kecil.
Dia tidak habis pikir mengapa dirinya bisa terlibat dalam permasalahan ini. Apa salahnya sehingga menjadi buronan mereka. Perempuan itu bahkan tidak tahu siapa orang โorang yang mengenakan pakaian berwarna hitam itu. Dari tampangnya saja mereka terlihat sangat menakutkan.