Chereads / BARBIE GIRL - My Girlfriend Is a Doll / Chapter 6 - CHAPTER 5 - Rintik Hujan Dan Hangatnya Pelukan

Chapter 6 - CHAPTER 5 - Rintik Hujan Dan Hangatnya Pelukan

Bunyi khas perpindahan jarum jam mulai terdengar mengusik sepasang telinga, mengisi kesunyian dan keheningan abadi pada suatu ruangan privasi yang kusebut sebagai kamar. Ditambah dengan pacuan detak jantung yang mampu mendebarkan dada, pada saat sepasang mata mulai terbuka dengan pelahan guna menatap langit-langit di dalam kamar seorang pria.

"Di mana, aku? Eh... Apakah aku telah menjalani kehidupan baruku..." aku masih terbaring lemah di atas ranjang. Diriku menoleh pelan, mengamati sebuah meja dengan kursi kayu di depannya, "Eh, mengapa tempat ini tak asing bagiku."

Setelah bangkit, kini aku pun beranjak pergi mendekati jendela kamar yang masih terbuka lebar.

Kini aku berada di depan jendela, sedikit mendongak guna mengamati suasana sepi di sunyi di malam hari. Derasnya hujan yang mengguyur seluruh daratan, mendominasi gemerlap cahaya bintang di tengah gelapnya sang malam.

"Setelah sekian lamanya kau menunggu, kini dirimu telah di reinkarnasikan atas permintaan kedua orang tuamu," suara itu terdengar jelas mengusik sepasang telinga, membuat diriku menelesik, guna mencari tahu siapa pemilik suara tersebut, "Chelsea Matsuda... Nyawamu telah bersemayam dalam tubuh boneka, dan kelak akan berubah menjadi wanita sempurna setelah kau tahu jawabannya."

Aku terdiam sejenak, lalu mendongak guna melihat indahnya gemerlap bintang yang bersinar terang dari balik gelapnya sang malam. "Apakah namaku adalah Chelsea Matsuda," diriku mengangkat sepasang tangan dan menatap jemari lentik yang terbuat dari bahan karet silikon, "Aku—seorang boneka—"

Suara ketukan sepatu telah berhasil menarik perhatianku, membuat diriku segera berbalik arah dan beranjak pergi meninggalkan jendela. Diriku menghentikan langkah dan suara ketukan sepatu itu senyap seketika. Daun pintu yang terbuka dibagian samping dan terdorong ke arah dalam. Terlihatnya sepatu bot hitam di ikuti oleh masuknya seorang lelaki yang masih mengenakan kemeja putih dengan balutan jas hitam pada tubuhnya.

Seorang lelaki berhidung mancung nampak terlihat gagah dengan balutan kemeja putih tanpa syal berwarnakan merah, yang biasa ia kenakan untuk melilit  lehernya.

Tanpa sengaja lelaki itu menekan tombol saklar ke bawah, dan secara otomatis lampu halogen yang menggantung di langit-langit mendadak mati, sehingga membuat seisi ruangan menjadi gelap gulita.

Mendapati gelapnya ruangan, membuat lelaki itu mengambil inisiatif untuk merabahi dinding, guna mencari tahu keberadaan saklar lampu pada ruangan tersebut.

Lampu halogen menyala, memberikan sinar terang kesepenjuruh ruangan. Kala ia berpaling muka untuk melihat ranjangnya, dirinya terkejut setelah mendapati hilangnya sebuah boneka yang seharusnya terbaring di atas ranjangnya.

"Bo—bonekaku! Siapa yang mencurinya?!"

Sesosok boneka cantik bersurai hitam dengan balutan kimono yang hampir menutupi seluruh tubuhnya adalah aku.

"Tu—tuan, saya di sini," lirihku.

Lelaki itu segera menoleh, mendapati diriku yang tengah berdiri di depanya. Dirinya tak mampu berkedip. Seketika itu Akina menelan ludah, dan beransumsi bahwa apa yang di lihatnya hanyalah sebatas mimpi belaka.

Suatu hal yang tak dapat di jelaskan oleh logika, kini telah berada di depan mata, membuat sepasang mata membulat seketika dengan keringat dingin yang.mulai bercucuran keluar dari.dahinya.

"Bo—boneka itu. Ke—kenapa bisa hidup!" ucapnya tergagap kaku dengan jari telunjuk yang secara reflek di arahkan pada wajahku.

Pandangan mataku menatap lamat-lamat ekspresi wajahnya yang terlihat kaku. Lelaki itu nampak bingung harus berkata apa.

Butiran keringat dingin keluar dari dahinya, memaksa detak jantung untuk bergedup lebih kencang dari biasa.

Rintik hujan mengguyur permukaan bumi, di ikuti oleh hembusan angin kencang di malam hari.

Untuk menghindari kecanggungan di antara kami berdua, diriku memutuskan untuk berbalik arah dan berjalan mendekati jendela berlapis kaca. Aku mendongak pelan guna menatap keindahan langit hitam yang berpadu gemerlap cahaya bintang.

"Keindahan malam berpadu gemerlap cahaya bintang, dan telah membawaku terbang ke atas awan," aku menoleh, melihat sesosok remaja dengan jas hitam yang masih berdiri tegak di depan pintu kamarnya, "Namaku adalah Chelsea Matsuda, dan aku di reinkarnasikan ke dunia, dalam bentuk boneka."

Lelaki itu terbelakak seketika. Dirinya tidak menyangka bahwa boneka cantik yang di titipkan oleh Jimmy dapat berkata layaknya manusia normal pada umunnya. Selain itu, tidak ada logika yang sanggup untuk menjelaskan keanehan tersebut.

Sepasang tangan nampak gemetar tak terhingga, diikuti oleh butiran keringan dingin pada dahinya. Lelaki terlihat bingung dengan apa yang tengah di lihatnya.

"Aku tidak percaya jika kau adalah seorang boneka yang Jimmy titipkan kepadaku. Pasti ada hal lain yang dapat di jelaskan secara logika."

Aku menoleh, "Kematian bukanlah suatu halangan bagi diriku untuk hidup seperti sedia kala. Meski ragaku telah tiada, namun aku masih percaya bahwa Tuhan itu ada," diriku segera berpaling wajah dan beranjak keluar melalui jendela kamarnya, "Kusebut namamu dalam do'aku. Berharap engkau pun tahu lara hatiku."

Akina tercengang. "Ka—kau..."

Rintik air hujan mulai terlihat dari atas langit dan turun perlahan hingga menyentuh permukaan bumi. Menciptakan sensasi tersendiri di ari-ari kulit. Bebauan khas menyeruak lebih dominan dari sebelumnya, menciptakan suasana yang berbeda saat dinginnya malam kian menerpa.

Rintik hujan semakin deras dan mengguyur wajah, kala aku mendongak guna melihat indahnya sinar rembulan yang berpadu cahaya bintang. Saat sepasang tangan mulai mengepal di depan dada, tanpa sadar diriku telah meneteskan air mata.

"Dalam hati kuberkata, dalam mimpi kubermanja. Engkaulah laksamana bintang yang bersinar terang saat mentari telah tenggelam. Kau berikan sepercik cahaya harapan pada diriku yang malang, meski tiada lagi impian pada kelamnya arti kehidupan."

Akina berjalan mendekati jendela kamar, berdiri dengan tatapan yang dipenuhi oleh kekosongan disetiap sudut mata memandang. "Chelsea... Kau—"

"Kubersujud dalam do'a. Meminta kepada Tuhan yang maha kuasa agar dapat melihat adanya senyuman terindah saat kami masih bersama. Kutatap mega dengan sepasang mata, berharap agar diriku dapat melihat senyuman seorang Ayah yang telah tiada."

"Sekuat apapun yang memeluknya, seseorang yang tidak di takdirkan bersamamu pasti akan pergi pada saatnya." Suara itu seketika membuyarkan lamunanku, membuat diriku yang pada awalnya duduk bersimpuh, kini beranjak bangkit dengan sepasang mata yang kian terpaku.

"Ketika ketidak adilan itu melanda hati yang lara, apakah aku harus berdiam diri saja?"

Akina membuang wajah seketika. Perlahan ia menundukan kepala, mengepalkan sepasang tangan saat tubuhnya terlihat tegak di depan jendela berlapis kaca.

"Bagaikan seorang prajurit yang di terjunkan pada medan pertempuran, tak selayaknya bagi kita untuk mencari  amunisi yang hilang," lelaki itu sontak melentangkan sebelah tangan, "Melainkan bertahan dan menunggu datangnya fajar untuk kembali menyerang! Dan selayaknya kita yang di ciptakan oleh Tuhan, tak seharusnya bagi kita untuk mengingat masa lalu yang silam. Melainkan untuk berjuang demi menggapai semua mimpi yang hilang. Seharusnya kau tahu itu, Chelsea!"

Diriku mulai berkaca-kaca saat sepasang mata mulai terpaku untuk menatap parasnya. "Kau tak pernah tahu lara hatiku, hingga dengan seenaknya kau ucapkan kalimat itu di depan mataku."

"Aku hanya peduli padamu."

Aku masih terisak. Menundukan kepala hanya untuk mengeluarkan semua derita dengan adanya deraian air mata yang tersimpan dalam dada, "Aku adalah burung elang yang terkurung dalam sangkar, yang tak pernah mampu untuk terbang melintasi lautan dan melihat indahnya ombak yang menabrak batu karang."

Derasnya rintik hujan sebening kristal berjatuhan dari balik gelapya sang malam, mendomnasi keheningan canggung saat tubuh kami saling berhadapan. Sepasang mata berwarnakan cokelat berbinar memantulkan cahaya rembulan. Gemerlap cahaya bintang di atas langit yang kelam tak hanya menjadi hiasan di tengah gelapnya sang malam, tapi seakan menyaksikan adanya dua insan yang kini saling bertatapan.

Hembusan angin bertiup kencang saat hujan terus mengguyur daratan, membuat tubuhku yang dingin terasa amat menggigil tak karuan. Namun, diriku tak mampu untuk memalingkan pandangan saat tubuh kami saling berhadapan. Akina sedikit mengangkat sebelah tangannya, guna untuk menyentuh daguku saat diriku tengah menundukan kepala di hadapannya.

Perlahan ia mengangkat daguku hanya untuk menatap kembali kedua mataku. Bibirnya sedikit bergetar diiringi oleh sepasang tangan yang semakin gemetar. Aku tahu jika ia mulai merasa kedinginan. "Sampai kapan kau terus merasa seakan dirimu telah kehilangan suatu impian dalam pahitnya kehidupan. Meski dunia tak seindah apa yang kau bayangkan, dan pelangi tak secantik apa yang kau impikan," ia mulai tersenyum sembari mengedipkan sepasang mata, "Percayalah bahwa aku akan selalu ada untukmu. Meski kau bukanlah Chelsea yang seperti dulu, setidaknya izinkan aku untuk menajagamu seperti seorang Kakak yang merindukan kedatangan Adiknya."

Tatapan matanya yang tajam menjadi sayu pada saat tubuh kami hampir saling bersentuhan. Dinginnya hembusan angin malam, membuat Akina semakin menggigil tak karuan. Hingga pada akhirnya diriku mencoba untuk mendekap tubuhnya secara perlahan. Tak lupa bagiku untuk memejamkan sepasang mata, menyandarkan pelipis sebelah kiriku pada dadanya sambil berkata, "Haruskah aku bertahan dalam sukarnya kehidupan... Aku lelah untuk berlari, hingga aku terjatuh dalam ambang mimpi yang tak semestinya aku pijaki dalam pahitnya kehidupan ini," lirihku.

Akina merabah punggungku dengan perlahan. Ia mendongak, melihat indahnya cahaya rembulan yang berpadu dengan derasnya rintikan hujan yang mengguyur daratan. "Aku akan terus mencari jalan agar dirimu tidak lagi kesepian. Dan mulai sekarang, jadikanlah aku seorang Kakak, agar aku dapat menutupi semua luka yang tersimpan dalam dada, guna menghapus lara yang bergejolak dalam jiwa seorang gadis yang tak memiliki keluarga."

Aku mengangguk pelan. "Dan aku percaya bahwa di balik mendung masih tersimpan sepercik cahaya harapan."

Saat aku mendongak pelan, ia pun mulai menurunkan kepala hingga terjadilah suatu titik pertemuan antara pandangan mataku dan dirinya. Jantungku berdebar kencang meski mulutku masih dalam kondisi terbungkam. Hingga pada akhirnya diriku menutup sepasang mata, berharap ia akan mencium bibirku dengan mesra.

Akina mendekatkan wajah, dan hampir saja kami berciuman mesrah. Namun entah mengapa ia segera berpaling muka dan melepaskan pelukanku seketika.

"Ano! Sepertinya aku lupa untuk menutup pintu. Eh, tubuhku mulai kedinginan dan aku harus mandi sekarang."

Saat ia hendak pergi meninggalkanku, tidak lupa bagi dirinya untuk menoleh dan berkata, "Namaku adalah Yoshihiro Akina, dan mulai sekarang kau akan tidur di kamarku."

Aku berkedip. "Satu ranjang dengan Kakak?"

Ia menghelakan nafas lalu menggelengkan kepala. "Tentu saja tidak, dasar payah."

"Tapi! Aku kan, adikmu..."

"Dan aku bukan pria mesum. Mangkanya aku pilih tidur di sofa saja."

"Eh, biar aku saja."

"Tidak boleh!"

"Kalau tidur di sofa berdua?"

Lelaki itu menepuk sendiri dahinya. "Cerewet! Kalau aku bilang tidak boleh, ya tidak boleh."

Aku tersipu malu. "Baiklah."