Chereads / Revenge Marriage / Chapter 14 - Jangan jatuh cinta sendirian

Chapter 14 - Jangan jatuh cinta sendirian

Di dalam ruangan bernuansa putih itu, Irene mengedarkan pandangannya melihat seisi ruangan dengan sangat serius.

"Sepertinya ruangan ini tidak jauh berbeda dengan ruangan Revan. Hanya saja ruangan Revan lebih luas dan tampak lebih mewah karena interior yang sedikit berbeda," gumam Irene.

Tidak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka dan tertutup kembali. Sudah jelas bahwa itu adalah Felix yang baru saja kembali dari ruangan Revan.

Dengan cepat Felix langsung duduk di kursi kerjanya untuk membimbing Irene. Sementara Irene tersenyum canggung melihat Felix yang sedari tadi menatap nya dengan tatapan kagum.

"Jadi, apa yang belum kamu pahami?" tanya Felix dengan halus.

"Hanya beberapa point saja," jawab Irene sopan.

Tangan Irene terulur membuka lembaran berkas yang ada di atas meja, lalu menunjukkan nya pada Felix. Felix yang sedari tadi menatap Irene sekarang fokus pada berkas yang ada di hadapan nya itu.

Sesaat kemudian Felix mengerutkan keningnya terheran-heran. Yang ia lihat hanyalah sebuah laporan harian untuk jadwal meeting Revan, lalu dimana point yang tidak di pahami oleh Irene? Bahkan anak lulusan SMA pun seharusnya tau tentang hal ini.

"Boleh ku tanyakan satu hal padamu?" tanya Felix dengan hati-hati.

Irene mengangguk dan tersenyum tipis. "Tentu saja," jawabnya dengan anggun.

"Kau lulusan sarjana bukan?" Felix berusaha untuk memasang ekspresi wajah yang biasa saja agar Irene tidak terlalu curiga padanya.

Irene kembali mengangguk kecil sebagai jawaban. "Iya, saya lulusan sarjana, jurusan management, nilai saya juga baik, pak. IPK saya juga tinggi, saya lulusan dari universitas ternama juga. Memangnya ada apa ya, pak?" jawab Irene bingung dan kikuk.

Felix pun menyodorkan berkas yang tadi Irene tunjukkan padanya. "Coba kamu lihat ini," pinta nya sambil tersenyum tipis.

Irene dengan ragu kembali meraih berkas itu dan membuka nya lagi. Ia baru sadar satu hal bahwa ia membawa berkas yang salah. Dan ini benar-benar memalukan baginya.

"Apa kamu tidak di ajarkan bagaimana membaca jadwal?" tanya Felix sambil tersenyum paksa.

"I-itu... S-saya... M-maaf, Pak!" sahut Irene takut.

Seketika itu juga Felix teringat dengan perintah Revan untuk menguji Irene sebelum dirinya benar-benar tertarik serius pada wanita cantik yang ada di hadapan nya itu.

Revan pun tersenyum miring. "Tidak apa, mungkin kamu hanya gugup karena pekerjaan ini masih baru untuk mu. Lain kali lebih fokus lah," tutur Felix dengan tenang.

Irene pun mengangguk kan kepalanya mengerti.

"Apa kamu sudah memiliki seorang kekasih?" tanya Felix memancing Irene.

"Belum, saya hanya ingin berfokus pada karir saya," jawab Irene apa adanya.

"Benarkah? Hmm, saya lihat kamu cukup cocok dengan Pak Revan,"

Umpan selanjutnya di lemparkan oleh Felix. "Tapi, Pak Revan kan sudah menikah," sahut Irene ragu.

"Hmm, sepertinya kamu cepat mendapatkan informasi ya, apa kan..."

"T-tidak... S-saya hanya mendengar dari beberapa staff yang ada di perusahaan ini," potong Irene cepat.

Wanita itu menundukkan kepalanya takut dan pasrah.

"Saya pikir kamu memang sengaja mencari tau informasi tentang Pak Revan, ternyata saya salah," sahut Felix kemudian.

"M-maaf, Pak. Saya harus segera kembali ke ruangan saya, pekerjaan saya masih menumpuk," pamit Irene dan langsung berdiri begitu saja.

Wanita itu membungkukkan badannya sopan menghadap Felix dan langsung berjalan cepat meninggalkan ruangan Felix. Kini Felix sudah mengerti apa maksud dari perkataan Revan yang mengatakan bahwa Irene bukan gadis yang baik.

"Ck, ternyata benar. Gadis itu hanya mencari simpati untuk mendekati atasannya. Ternyata aku tidak sebodoh itu." gumam Felix sambil terkekeh kecil.

***

Sementara itu, Dilan hanya duduk terdiam di depan layar komputer di hadapannya. Pandangannya kosong, namun pikirannya menerawang jauh. Pemuda itu sedang memikirkan rencana yang harus ia lakukan untuk mendapatkan Davina kembali.

Hingga beberapa saat kemudian terdengar suara ketukan pintu dari luar ruangan nya, dan hal itu sukses membuyarkan suasana lamunan Dilan.

"Masuk!" ucap Dilan sambil meraih beberapa berkas laporan di depannya.

Suara pintu terbuka mulai terdengar di iringi dengan suara ketukan sepatu heels seorang gadis cantik yang tak lain ada Adelia, calon istri Dilan yang sangat mencintainya demi apapun.

Melihat kehadiran Adelia membuat Dilan semakin merasa muak karena mengingatkan apa yang sudah menjadi pilihannya waktu itu. Ada rasa kecewa yang sangat mendalam ketika mengingat bagaimana Dilan harus menerima perjodohan tanpa dasar cinta itu.

Namun, ini semua ia lakukan untuk membalaskan dendam nya pada kedua orangtuanya sendiri. Jika Dilan tidak bisa mendapatkan kebahagiaan nya dengan menikah dengan gadis yang sangat ia cintai, maka Dilan juga bertekad akan membuat Adelia tak bahagia meski gadis itu menikahi seseorang yang sangat ia cintai.

"Ada apa kau kemari? Apa ada hal penting yang ingin kau sampaikan?" tanya Dilan dengan ekspresi datar dan benar-benar terlihat tidak suka dengan kehadiran Adelia.

"Aku.. hanya ingin memberitahu mu..." sahut Adelia dengan nada rendah seperti ketakutan.

"Katakan saja, aku tidak punya banyak waktu untuk bersantai,"

Dilan berbicara tanpa memperhatikan Adelia yang sedang berdiri menatap nya dengan sendu. Dengan harapan besar Adelia datang untuk memberitahu Dilan tentang jadwal fitting baju pengantin mereka. Tapi sepertinya Dilan benar-benar tidak menganggap kehadiran Adelia sama sekali.

Terdengar helaan nafas Adelia yang semakin membuat Dilan kesal. Dilan terdiam untuk mendengarkan apa yang ingin Adelia sampaikan padanya, namun gadis cantik itu tidak kunjung mengatakan alasan kenapa ia kemari menemui Dilan.

"Apa kau tuli? Aku bertanya padamu," ketus Dilan sambil melengos melihat Adelia sekilas.

"2 hari lagi fitting baju pengantin kita, aku harap kau juga bisa ikut," sahut Adelia penuh harap.

"Aku tidak bisa. Kau pergi saja sendiri,"

"Kenapa? Bukankah baju pengantin itu sepasang? Kenapa kau tidak mau meluangkan waktu mu? Lagipula itu juga hari Sabtu, kau tidak mungkin bekerja bukan?" oceh Adelia.

"Ku bilang tidak bisa ya tidak bisa!" Bentak Dilan dengan tegas.

Adelia tersentak kaget mendengar suara Dilan yang meninggi dan sorot matanya yang tajam seakan ingin menghabisi nya saat itu juga.

"Bukankah yang memakai gaun itu hanya dirimu? Aku hanya perlu memakai setelan jas bukan? Kenapa kau sangat meributkan hal ini? Apa kau tidak bisa menanganinya sendiri? Jangan mencoba untuk membuat ku kesal. Apa kau paham?" omel Dilan tanpa memperdulikan bagaimana perasaan Adelia.

Dengan pasrah Adelia menganggukkan kepalanya menurut. Gadis itu tanpa sadar meneteskan air matanya begitu saja. Ia pun langsung berlari meninggalkan ruangan Dilan dan membanting pintu ruangan tersebut dengan keras.

"Jika ini pernikahan mu dengan Davina, apa kau juga akan membiarkan Davina pergi sendirian? Kenapa kau sangat kejam padaku, Dilan? Apa yang salah denganku?" batin Adelia sambil berlari meninggalkan kantor Dilan dan terus menangis sepanjang perjalanan.

Sangat menyakitkan bagi Adelia. Gadis itu benar-benar mencintai Dilan sepenuh hatinya, namun sepenuh hati Dilan juga masih tetap pada Davina.

Tidak mudah bagi Dilan untuk melupakan Davina, begitu juga dengan Adelia yang juga tidak mudah melepaskan Dilan meski hatinya berulangkali tersakiti secara sengaja.

***

******