Saat ini Davina dan juga Dilan masih berdiri di depan pintu masuk rumah mewah milik Revan. Keduanya saling berpandangan sesaat, kemudian Davina menghela nafas berat.
Wanita cantik itu bersendekap menatap Dilan dengan intens. Ada rasa kesal sekaligus sesak di benaknya kala menatap Dilan yang memandangnya dengan tatapan sendu. Meski berkali-kali Davina meminta agar Dilan tidak menemuinya lagi, namun pemuda itu masih saja tetap bersikukuh untuk menemui Davina.
"Harus berapa kali aku katakan padamu? Tolong ja--"
"Aku rindu padamu!" potong Dilan dengan cepat sebelum Davina menyelesaikan ucapannya.
"Maaf, tapi aku benar-benar tidak bisa jika tidak bertemu denganmu dalam waktu yang lama. Kau tau kan kalau aku masih mencintaimu?" ucap Dilan dengan raut wajah yang memelas.
Bohong jika Davina tidak kasihan pada Dilan, namun ia harus tetap tegas dengan pilihannya. Davina tidak mau memberikan harapan lagi pada Dilan, karena bagaimanapun juga Dilan tetaplah masa lalu bagi Davina. Dilan harus segera melupakan Davina agar tidak terus menerus mengejar Davina yang statusnya sudah jelas menjadi istri orang lain.
Mendengar pernyataan dari Dilan, Davina masih diam dan tidak memberikan respon apapun. Ia masih bingung harus berkata bagaimana lagi, terlebih ia juga tau dengan keadaan bahwa keduanya sekarang berada di rumah Revan. Ini benar-benar di luar kendali Davina. Wanita cantik itu tidak menyangka bahwa Dilan akan senekat ini untuk bertemu dengannya.
"Ku dengar kau akan segera menikah dengan Adelia," ucap Davina dingin.
"I-iya, itu memang benar. Tapi percayalah bahwa aku sama sekali tidak mencintai Adelia. Semua ini hanya pernikahan bisnis," tutur Dilan.
"Pernikahan tetaplah pernikahan. Kau tidak bisa mengatakan bahwa pernikahan mu hanyalah pernikahan bisnis, dan seharusnya kau belajar untuk menerima Adelia. Aku tau dia juga gadis yang baik, atau bahkan di lebih baik daripada aku," sahut Davina mencoba memberikan penjelasan pada Dilan.
"Tapi aku tidak bisa mencintainya!" ucap Dilan dengan tegas.
Davina tersenyum tipis mendengar itu, "apa kau sudah pernah mencoba untuk mencintainya?" tanyanya dengan tenang.
Dilan menggelengkan kepalanya lemah, memang kenyataannya Dilan lah yang tidak mencoba ataupun memberikan kesempatan untuk membuka hatinya pada Adelia. Meski Adelia sebaik dan secantik itu, namun bagi Dilan tidak ada yang bisa mengisi hatinya kecuali Davina. Hanya Davina lah yang saat ini Dilan cintai, bukan Adelia ataupun wanita lain.
"Cobalah untuk berpikir lebih jauh. Memangnya sampai kapan kau akan terus seperti ini, aku bahkan sudah tidak memiliki harapan apapun padamu. Aku juga ingin kau bahagia dengan kehidupan mu sendiri, jadi tolong belajar mencintai Adelia. Hanya itu yang bisa kau lakukan," tutur Davina.
Tanpa menunggu tanggapan dari Dilan, wanita itu langsung masuk ke dalam rumah dan menutup pintu. Sementara Dilan masih terdiam mematung mendengar pernyataan dari Davina yang benar-benar menusuk perasaannya.
"Haruskah aku melupakanmu? Lalu kenapa kau harus datang di kehidupan ku jika akhirnya kau pergi dan kita tidak bisa bersama? Aku tidak tau bahwa takdir akan sekejam ini." gumam Dilan.
Beberapa saat kemudian, ia pun segera pergi meninggalkan halaman rumah Revan dengan perasaannya yang masih gundah. Namun jika di pikirkan sekali lagi, Davina memang benar bahwa sudah seharusnya Dilan mencoba untuk menerima Adelia dan melupakan mantan kekasihnya itu.
"Maafkan aku, tapi juga tidak ingin kau terus menerus berada dalam kesedihan. Karena bagaimanapun juga kau dan aku tidak bisa bersama!" ucap Davina dari balik pintu.
Air mata wanita cantik itu langsung menetes tanpa ia sadari, lalu dengan cepat ia menghapusnya dan segera pergi masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap ke rumah bibinya.
***
Sementara itu, di kantor Revan sedang sibuk dengan pekerjaannya. Pria tampan dan mapan itu membuka lembar demi lembar berkas-berkas yang harus ia periksa satu persatu dan akan ia tanda tangani. Hingga beberapa saat kemudian, terdengar suara ketukan pintu dari luar.
"Masuk!" ucap Revan tanpa mengalihkan perhatiannya pada berkas yang sedang ia periksa.
"Maaf, Pak. Tadi bapak memanggil saya?" tanya Irene sambil tersenyum manis.
"Iya, tolong kamu atur pertemuan dengan CEO BA corp. Saya harus mengadakan rapat dengan mereka," pinta Revan dengan serius.
"Untuk Minggu ini atau Minggu depan, Pak? Minggu ini jadwal bapak ada kosong satu hari, juga dengan Minggu depan yang masih di rencanakan dan belum di beri persetujuan dari klien," sahut sang sekretaris.
"Minggu ini, karena lebih cepat lebih baik."
"Baik, Pak!"
Saat hendak pergi, Irene melihat bahwa dasi yang di kenakan oleh Revan sedikit berantakan. Ia pun berinisiatif untuk memperingatkan atasannya itu.
"M-maaf, Pak.."
Revan kembali menoleh melihat Irene, "ada apa?" tanyanya.
"Dasi yang bapak kenakan berantakan," ucap Irene sembari menunjuk kerah kemeja Revan.
"Kenapa? Kamu mau merapikannya?" tawar Revan tersenyum tipis.
"Saya tidak keberatan jika Pak Revan meminta saya untuk membantu merapikannya," sahut Irene antusias.
"Coba, saya ingin lihat bagaimana kemampuan kamu sebagai sekretaris!" ucap Revan menyeringai.
Irene pun berjalan mendekati Revan, lalu dengan perlahan meraih dasi yang di kenakan oleh atasannya itu. Jemari lentiknya sibuk membenahi dasi Revan dengan tenang. Sementara Revan melihat Irene dari sudut pandangnya dan memang Revan akui bahwa Irene sangat cantik.
Beberapa saat kemudian, Irene sudah selesai merapikan dasi Revan. Ia pun tersenyum genit untuk menggoda atasannya itu. Tidak perlu di ingatkan lagi, semuanya juga sudah tau apa tujuan wanita cantik itu masuk ke perusahaan milik Revan. Tentu saja untuk menggoda Revan meski sebenarnya ia sudah tau bahwa status Revan sudah beristri.
"Irene," panggil Revan tatkala sekertaris nya itu beranjak pergi dari ruangannya.
'kena kau!' batin Irene.
Wanita cantik itu berbalik badan, lalu tersenyum lebar menatap Revan dengan lekat. "Iya, Pak. Ada yang bisa saya bantu lagi?" sahutnya.
"Saya ingin mengajukan pertanyaan pribadi padamu," ucap Revan.
Irene pun berjalan menghampiri Revan lagi, kini ia merasa harapannya untuk mendekati Revan sudah mulai terbuka dan ada jalan yang menunjukkan arah kemana ia harus melangkah.
"P-pertanyaan apa ya, Pak?" tanya Irene berpura-pura polos.
"Apa kamu tau bahwa saya sudah menikah?" tanya Revan sembari mengetuk-ngetukkan jemarinya di atas meja.
Irene secara refleks melihat jemari Revan, entah sejak kapan cincin pernikahan melingkar di jari manis Revan, namun yang jelas ini pertama kalinya Irene melihat Revan mengenakan cincin pernikahan itu. Hal ini tentu saja membuat Irene sedikit terkejut.
"S-saya tau," jawabnya jujur.
"Oh ya? Kamu tau darimana?" tanya Revan lagi.
"S-saya hanya mendengar desas desus dari pegawai staf di sini. Tapi, saya juga belum mengetahui kebenarannya," jawab Irene lagi dengan jujur.
"Sepertinya staf di perusahaan ini lebih mementingkan gosip daripada pekerjaan mereka," smirk Revan.
"Maaf, pak!" ucap Irene merasa bingung dan bimbang.
Wanita cantik itu tidak tau apa maksud Revan sebenarnya, atau jangan-jangan Revan sudah tau niat buruk Irene? Tentu saja semua ini membuat Irene merasa ketakutan sendiri.
"Memang benar saya sudah menikah, tetapi pernikahan saya bukan di dasari cinta ataupun perasaan kasih sayang. Saya menikah hanya untuk menghancurkan masa depan saudara tiri saya!" jelas Revan.
"A-apa? M-maksud bapak bagaimana?" tanya Irene tak paham.
"Saya tau maksud mu yang sebenarnya masuk ke perusahaan ini untuk apa. Dan saya akan memberikan kesempatan padamu untuk membuktikan bahwa saya bisa tertarik padamu, sebelum saya benar-benar mencintai istri saya,"
Mendengar pernyataan dari Revan membuat Irene terkejut bukan main. Kini dirinya mulai berpikir apakah ia sedang bermimpi atau tidak, namun semua nya tampak seperti tidak nyata. Bagaimana bisa seseorang yang sudah menikah justru meminta untuk digoda? Sebenarnya apa maksud Revan ini.
"Saya hanya tidak mau jatuh hati pada istri saya karena setelah saya menjatuhkan saudara saya, saya berniat untuk menceraikan dia. Jika kamu bisa melakukannya, maka juga memiliki kesempatan untuk menikah dengan saya nantinya. Bagaimana?" sambung Revan dengan tegas.
"S-saya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Tapi, saya akan mencoba jika memang itu permintaan anda. Karena saya sendiri tidak bisa memungkiri bahwa saya memang menginginkan anda," jujur Irene.
"Baiklah, kita lihat saja nanti apa yang bisa kamu lakukan." pungkas Revan.
Pria itu kembali fokus pada pekerjaannya, sementara Irene juga kembali ke ruangannya. Keduanya sama bingung, Revan bingung depan apa yang baru saja ia katakan, dan Irene bingung harus berbuat apa untuk kedepannya.
"Memang ini rencana awal ku. Aku tidak bisa memungkiri bahwa memang menjadikan Davina sebagai alat untuk balas dendam, dan aku tidak boleh jatuh hati padanya.. Apapun yang terjadi!" gumam Revan.
Sejenak pria itu termenung, lalu kembali mengerjakan pekerjaannya. Meski bimbang dengan keputusannya, namun Revan mencoba untuk meyakinkan dirinya. Revan tidak mau jatuh cinta pada Davina yang mana itu akan melemahkan dirinya sendiri pada akhirnya.
.. To be continued ;