Chereads / Revenge Marriage / Chapter 18 - Rasa Yang Mulai Ada

Chapter 18 - Rasa Yang Mulai Ada

Seperti biasanya, Revan dan Davina sarapan bersama sebelum memulai aktivitas dan sebelum Revan berangkat ke kantornya. Dengan telaten Davina menyiapkan segala keperluan Revan, dan hal sudah menjadi kebiasaan Davina semenjak ia menikah dengan Revan.

Sementara Revan hanya menyunggingkan senyum melihat bagaimana sikap istrinya yang sangat perhatian padanya.

"Hari ini aku akan pulang terlambat, jadi kau tidak perlu menunggu ku untuk pulang. Mengerti?" ucap Revan pada Davina.

Davina menganggukkan kepalanya sebagai tanda bahwa ia mengerti.

"Aku akan berkunjung ke rumah bibi nanti siang. Apa boleh?" tanya Davina pada suaminya.

Revan menautkan kedua alisnya, "Mau apa ke sana? Bukankah kau sudah tau bagaimana kelakuan dari bibi dan sepupu mu itu?" tanyanya balik.

"Aku tau, tapi bagaimanapun juga mereka satu-satunya keluarga yang masih aku miliki. Aku tidak bisa menolak kenyataan kalau mereka masih berhubungan darah denganku," sahut Davina memelas.

"Baiklah baiklah, kau boleh pergi mengunjungi bibi mu. Tapi kau harus tau waktu," tutur Revan dengan tegas.

"Memangnya tidak boleh jika aku bermalam di rumah bibi?" gerutu Davina.

"Tidak boleh!" bentak Revan dengan lantang.

"Kenapa?" sahut Davina dengan santai.

"I-itu... I-itu karena... Memangnya kau tega membiarkan suami mu tidur sendirian?" elak Revan berusaha untuk memojokkan Davina.

Wanita cantik itu menautkan kedua alisnya heran. Kenapa tiba-tiba Revan membahas hal sejauh ini? Begitu batinnya.

"Bukankah sebelumnya kau juga tidur sendirian? Kenapa tiba-tiba sangat manja?" tanya Davina dengan heran.

"Memangnya tidak boleh? Aku kan suami mu!" geram Revan.

"Baiklah baiklah, jika kau tidak mengizinkan aku untuk bermalam di rumah bibi aku akan menurut. Apa kau puas?" putus Davina dengan sedikit sebal.

Revan tersenyum penuh kemenangan dan menganggukkan kepalanya. "Nah, itu baru istri yang baik," ucapnya memuji Davina.

"Ya, terserah bagaimana katamu saja," sahut Davina sewot.

Revan menautkan kedua alisnya heran karena baru kali ini Davina sangat cerewet dan banyak bicara. Sebelumnya Davina sedikit malu untuk berbincang panjang lebar dengan Revan, namun sekarang sepertinya Davina tidak merasa canggung sama sekali dengan Revan.

Bahkan Davina terkadang tidak segan-segan untuk bermanja-manja pada suaminya itu. Meski sebelumnya mereka memang tidak sedekat itu, namun Revan sama sekali tidak keberatan dengan sikap Davina padanya. Menurut Revan ini memang wajar mengingat bagaimana dulu Davina selalu di perlakukan dengan baik oleh Dilan.

"Apa kau tidak merasa aneh akhir-akhir ini?" tanya Revan pada Davina yang masih sibuk menghabiskan sarapan yang ada di hadapannya itu.

Wanita cantik itu mendongak, lalu melihat kearah Revan. "Aneh tentang apa?" tanya nya balik.

"Tentang bagaimana sikapmu padaku," jawab Revan menanggapi Davina.

"Memang ada apa dengan sikapku? Ada yang salah? Apa aku membuatmu tidak nyaman?" tanya Davina lagi bertubi-tubi seakan akan menyerang Revan.

"Tidak. Tidak ada yang salah, aku hanya terlalu bingung bagaimana harus bersikap padamu. Dulu waktu pertama kita menikah, kau sangat takut padaku, bahkan saat berbicara berdua pun kau tidak mau menatap ku, tapi sekarang kau bahkan tidak canggung sama sekali ketika aku menatapmu dengan lekat," oceh Revan mengutarakan apa yang ada di pikirannya saat ini.

Davina menyunggingkan senyum tipis, lalu meletakkan sendok dan garpu yang ada di tangannya. Wanita cantik itu menoleh menatap Revan lebih intens.

"Waktu itu aku belum mengenalmu, dan aku adalah tipe orang yang susah untuk dekat dengan orang lain. Jadi, aku sedikit canggung ketika berbicara dengan mu. Apalagi dengan status seorang istri, kita sama sekali tidak pernah mengenal sebelumnya, lalu menikah dalam waktu yang dekat. Bagaimana bisa aku menghadapi semua itu dengan tenang? Tidakkah kau berpikir sejauh itu?" oceh Davina.

Revan mengangguk kecil. "Aku paham, dan sekarang kau benar-benar tidak takut padaku bukan?" tanyanya lagi untuk memastikan.

Davina tersenyum lebar dan menggelengkan kepalanya. "Sama sekali tidak. Meski kita baru mengenal kurang dari satu bulan, tapi aku sudah yakin kalau kau sebenarnya adalah orang baik. Dan aku percaya itu," jawabnya mantap.

Mendengar jawaban dari Davina membuat Revan tersenyum masam. Ia benar benar tidak menyangka bahwa Davina akan benar benar tulus padanya. Awalnya ia hanya berpikir Davina bersikap baik padanya karena tidak ingin mendatangkan masalah untuk pernikahannya ataupun pamannya yang berstatus bawahannya di kantor.

Namun saat ini Revan benar benar yakin bahwa Davina memang tulus dari hatinya ketika bersikap baik saat melayani nya sebagai seorang istri yang seharusnya. Ini cukup membuat Revan bahagia karena meski dia menikah dengan Davina karena ingin balas dendam, tapi ia tidak salah memilih seorang istri.

Dan tentu saja hal ini semakin membuat Revan merasa bersalah pada Davina karena secara tidak langsung sudah memperalat istrinya itu. Perjalanan sudah ia lakukan, jadi mau tidak mau Revan tetap harus menjalankan rencananya untuk menguasai seluruh perusahaan milik keluarga Arsenio untuk membalaskan dendam nya pada Papa kandung nya sendiri.

"Aku harus segera berangkat ke kantor," pamit Revan sambil beranjak dari duduknya.

Davina pun ikut berdiri hendak mengantarkan Revan hingga halaman rumah. Tangannya sudah lebih dahulu terulur membawakan tas kerja milik Revan, dengan senyuman yang tak pernah luntur dari wajah cantiknya itu.

"Jangan pergi sendirian, ajak supir. Aku akan pergi sendiri, kau bisa pergi bersama supir pribadi ku," tutur Revan sebelum masuk kedalam mobil pribadinya.

Davina menganggukkan kepalanya menurut. "Baiklah, aku akan menuruti semua perintah mu," sahut nya.

Revan tersenyum kemudian mengusap lembut puncak kepala Davina dengan sayang. "Aku berangkat," pamitnya.

Keduanya tersenyum dan saling beradu pandang. Sebelum masuk Revan mengecup kening Davina sekilas. Ini adalah pertama kalinya Revan melakukan itu.

"Hati-hati," tutur Davina.

Revan mengangguk kecil dan segera masuk ke dalam mobilnya, lalu berangkat menuju kantor sendiri tanpa di temani supir seperti biasanya.

"Aku tidak tau apakah benar aku sudah menaruh hati pada Revan, tapi dia sangat baik padaku dan aku tidak bisa memungkiri bahwa aku sudah hampir lupa dengan Dilan." gumam Davina.

Wanita cantik itu tersenyum tipis mengingat bagaimana perlakuan Revan yang sebenarnya tidak kalah manis dengan perlakuan Dilan padanya. Percayalah bahwa Davina juga cukup bahagia menikah dengan Revan meski sebenarnya wanita cantik itu juga kecewa dengan keadaan.

Hingga tanpa Davina sadari bahwa sedari tadi ada yang memperhatikan segala gerak geriknya dari kejauhan. Siapa lagi kalau bukan Dilan yang sudah stand by di dekat rumah mewah Revan untuk mengawasi Davina. Bahkan Dilan sudah menunggu Davina keluar rumah sekitar satu jam yang lalu.

Baru saja Davina berbalik badan dan hendak melangkahkan kakinya untuk masuk kembali ke dalam rumah, ia mendengar seseorang tengah memanggil namanya.

"Davina!" panggil Dilan dengan cukup lantang.

Mendengar suara panggilan itu membuat Davina kembali menoleh ke sumber suara. Dan terlihat Dilan sudah berdiri di ambang pintu gerbang rumah mewah Revan.

"Dilan? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Davina.

Wanita cantik itu di buat keheranan sekaligus takut. Ia takut karena sudah pasti Revan akan tau bahwa Dilan datang menghampirinya. Sementara Dilan yang sudah mendengar sahutan dari Davina justru melangkahkan kakinya masuk ke halaman rumah Revan dengan tenang.

"Aku merindukanmu!" ucapnya dengan santai.

***

To be continued ...