Hari mulai gelap dan Revan sudah sampai di rumah sebelum Davina kembali dari pusat perbelanjaan menemui Sarah dan Nara. Karena terlalu terburu-buru, Davina tidak sempat berpamitan pada Revan untuk meminta izin menemui Bibi dan sepupu nya itu.
Revan mulai keheranan karena menyadari Davina yang tidak ada di rumah dan tidak meminta izin padanya ketika ingin pergi. Ia merasa kesal, terlebih ia masih mengingat bahwa sebelumnya Davina pernah bertemu lagi dengan Dilan.
"Dimana nyonya?" tanya Revan pada salah satu pelayan di rumahnya.
"Sedang keluar," jawab pelayan itu dengan jujur.
"Apa kau tau dia pergi ke mana?" tanya Revan lagi.
"Tidak. Nyonya pergi terburu-buru setelah mengangkat telepon. Sepertinya ia memiliki janji dengan seseorang," jawab pelayan itu lagi dengan apa adanya.
"Baiklah, kau boleh pergi!" perintah Revan dengan datar.
Pelayan itu segera pergi meninggalkan tuan nya yang sedang marah karena nyonya nya yang pergi tanpa berpamitan.
"Apa dia tidak berpikir tentang status nya saat ini? Kenapa dia tidak menganggap ku? Apa dia lupa kalau dia sudah menikah?" gerutu Revan dan berjalan masuk ke dalam kamar nya.
Sementara itu di perjalanan Davina masih melamun memikirkan apa yang baru saja ia lakukan apakah itu benar atau salah. Di sisi lain Davina benar-benar sudah tidak tahan dengan sikap Bibi dan sepupu nya itu, namun di sisi lain Davina juga tetap Davina yang merupakan gadis baik hati dan lemah lembut.
Davina sebenarnya tidak terlalu tega untuk membuat saudaranya menderita, namun Davina juga tidak bisa tinggal diam ketika hidupnya mulai ingin di kendalikan lagi oleh Sarah dan Nara. Bagaimanapun juga, Davina adalah seorang manusia yang memiliki perasaan, ia sanggup menerima satu atau dua rasa sakit dalam benaknya. Tapi tidak untuk rasa sakit yang terus datang dan perlahan akan menghancurkan dirinya sendiri.
Keputusan Davina sudah bulat, jika memang Sarah, Nara ataupun paman nya berani ikut campur lagi dalam kehidupannya, maka Davina juga tidak akan segan segan untuk menjatuhkan mereka meskipun status mereka masih bersaudara.
***
Beberapa menit kemudian, Davina sampai di rumah dan segera berlalu menuju kamarnya. Di dalam kamarnya, Revan duduk sambil menatap pintu masuk kamar dengan lekat menunggu kedatangan Davina sejak tadi.
Baru saja Davina membuka pintu kamarnya, wanita cantik itu ter-pelonjat kaget melihat Revan yang menatapnya dengan tatapan seakan ingin menerkam nya saat itu juga.
"K-kenapa menatap ku seperti itu? Kau membuatku takut," lirih Davina sambil perlahan menutup pintu kamarnya kembali.
"Darimana saja kau?" tanya Revan mengintimidasi.
"A-aku... Aku baru pulang belanja," jawab Davina ragu.
"Hah, belanja? Mana belanjaan mu? Kau jangan coba-coba membohongi ku. Apa kau tidak takut padaku?" sarkas Revan tak puas dengan jawaban Davina.
"Aku tidak bohong. Aku belanja, tapi bukan untuk ku sendiri," gumam Davina.
Revan pun berdiri dari duduknya dan berjalan mendekati Davina. Davina yang masih berdiri di dekat pintu itu menelan ludah nya takut.
Sementara Revan tersenyum menyeringai melihat ekspresi Davina yang menurutnya sangat lucu dan menggemaskan.
"Lalu, kau belanja untuk siapa?" tanya Revan sambil terus berjalan mengikis jaraknya dengan Davina.
"I-itu... A-aku... U-untuk Bibi dan sepupu ku," jawab Davina gugup dan tertunduk.
Mendengar jawaban Davina, Revan berhenti di tempatnya dan memandang Davina dengan tatapan bingung. Apa yang di maksud dengan membelanjakan Bibi dan sepupu nya?
"Apa maksudmu? Kau membelanjakan Bibi dan sepupu mu, begitu?" tanya Revan mencoba memastikan apa yang ada di pikirannya saat ini.
Davina menganggukkan kepalanya ragu, namun memang kenyataannya iya. Dirinya sendiri yang memutuskan untuk membayar semua belanjaan milik bibi dan sepupunya meskipun dia sebenarnya tau kaya sedang di manfaatkan eh keduanya.
Awalnya Revan ingin memarahi Davina karena tidak izin padanya ketika ingin pergi, namun melihat ekspresi wajah Davina yang terlihat ketakutan membuat Revan mengurungkan niatnya dan lebih fokus ingin tau alasan kenapa Davina tiba-tiba membelanjakan saudaranya, padahal dia sendiri tidak ingin atau berniat untuk belanja apapun.
Tangan Revan terulur menarik pergelangan tangan Davina dengan lembut dan mengajak istrinya itu untuk duduk agar suasana di dalam kamar itu tidak terlalu tegang dan canggung. Davina pun hanya diam dan menurut pada suaminya.
Keduanya duduk dengan tenang di atas sofa, dan Revan mulai kembali menatap Davina dengan tatapan mengintimidasi karena penasaran.
"Kenapa tiba-tiba kau bertemu dengan Bibi dan sepupu mu? Kah bahkan sampai tidak izin padaku, apa kau lupa bahwa kau sudah menikah?" cecar Revan pada Davina.
"Aku tau yang aku lakukan salah, tapi aku tidak bermaksud pergi tanpa izin padamu," Davina tertunduk mengakui kesalahan nya.
Revan pun menghela nafas. Ia sendiri bingung dengan dirinya karena tidak bisa marah pada Davina meskipun Davina berbuat salah. Sekeras apapun Revan berusaha untuk mengabaikan Davina dan bersikap acuh padanya, tapi pada akhirnya juga tetap gagal dan Revan selalu peduli pada Davina.
"Tadi Nara tiba-tiba menelepon ku, dia bilang kalau sedang ada masalah bersama bibi. Jadi, aku datang menemui mereka," sambung Davina masih tertunduk.
"Jadi, apa kesimpulan nya?" sahut Revan mencoba memahami Davina.
"Aku belum selesai berbicara!" decak Davina dengan gemas.
Oh yang benar saja, kenapa suasana ruangan itu berubah seketika. Seperti ada yang terbang di dalam hati Revan ketika melihat ekspresi Davina yang berubah menjadi lebih menggemaskan dan sangat imut. Jantung Revan pun tiba-tiba berdetak dua kali lebih kencang dari sebelumnya.
Revan langsung membuang muka enggan melihat Davina karena takut Davina menyadari wajah nya yang kini sudah memerah seperti kepiting rebus.
"Jadi, karena aku khawatir dengan mereka, aku pergi menemui mereka di pusat perbelanjaan kota. Aku tidak tau jika mereka meminta ku ke sana hanya untuk membayar belanjaan mereka. Jika aku tau... Mungkin aku tidak akan menemui mereka," sambung Davina dengan jujur.
"Sudahlah, tidak perlu dibahas lagi. Yang terpenting lain kali kau harus izin padaku jika ingin pergi menemui siapapun. Termasuk saudara mu sendiri. Apa kau mengerti?" tutur Revan dengan tegas.
Davina mendongakkan kepalanya menatap Revan, kini sepasang mata mereka saling bertemu dan beradu pandang sesaat. Hingga akhirnya keduanya saling membuang muka karena tersipu malu.
Davina menganggukkan kepalanya menurut. "Iya, maaf kalau aku tidak izin dan berpamitan padamu. Tapi, memang apa bedanya denganmu? Kau bahkan sama sekali tidak pernah mengabari ku bagaimanapun keadaan mu," gerutunya kemudian.
"Baiklah, lain kali aku akan selalu mengabari mu juga," putus Revan dengan santai dan masih enggan melihat Davina.
"Benarkah? Apa kau berjanji?" Seru Davina antusias.
"Ck, iya. Kenapa kau sangat kekanak-kanakan?" cebik Revan tak suka.
"Bukan kekanak-kanakan, hanya saja aku ingin lebih di anggap," gumam Davina.
Revan langsung menoleh kembali memperhatikan Davina. "Maksudmu?" tanya nya datar.
"Memang sejak kita menikah, apa kau pernah menganggap ku sebagai seorang istri? Bahkan jika aku sangat mengkhawatirkan mu saja, kau tidak peduli," ucap Davina apa adanya.
Kini wanita cantik itu kembali tertunduk lesu. Sesaat kemudian Revan tersenyum dan meraih dagu Davina membuat wanita cantik itu mendongakkan kepalanya sedikit menatap Revan.
"Bagaimanapun sikap ku padamu, itu tidak akan merubah keadaan dan kenyataan... Bahwa kau adalah istriku!" Ucap Revan dengan tegas.
Davina langsung menyunggingkan senyum manis di kedua sudut bibir nya. Wanita itu tersenyum bahagia mendengar pernyataan dari Revan yang mengatakan dengan jelas bahwa dirinya menganggap Davina adalah istrinya dan tidak merubah apapun yang mempengaruhi dirinya.
**
****