"Bagaimana kondisinya, Dok?" Adeeva terlihat bertany-tanya perihal kondisi Yudistira yang terlihat sangat lemas. Tadi, setelah mengatakan bahwa pria itu hendak mencoba mencintainya, Yudistira langsung pingsan begitu saja.
Mau tidak mau Adeeva menariknya ke dalam kamar dan membaringkan Yudistira dengan susah payah. Dia sampai jatuh dua kali saat membawa tubuh raksasa tersebut.
Adeeva menghubungi Zion untuk meminta bantuan. Untungnya, Zion memiliki kenalan dokter langganan Yudistira. Namanya Dokter Gea. Dokter itu tampak cantik dengan rambut panjang yang lurus. Tubuh yang semampai bak gitar spanyol membuat penampilannya semakin menarik.
Adeeva cemburu melihatnya. Apalagi saat Dokter Gea menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan pada Yudistira. Mana ada dokter yang mengusap wajah pasiennya dengan penuh perhatian, kemudian mengecup keningnya. Melihatnya saja membuat Adeeva merasa jengah.
"Kau sekretaris Yudistira?" Tanya Dokter Gea.
Adeeva menjawab dengan judes. Dia tidak peduli apakah hal tersebut menyinggung perasaan dokter Gea, tetapi yang jelas Adeeva sudah terlanjur merasa kesal dan terbakar api cemburu.
"Iya! Aku sekretarisnya. Kenapa?!" Jawab Adeeva dengan nada yang meninggi. Sorot mata Adeeva mengobarkan peperangan, seakan ingin menjambak Dokter Gea meskipun kenyataanya memang begitu.
Wanita elegan harus bisa menjaga emosinya bukan? Setidaknya itu yang Adeeva pikirkan agar tidak meledak.
"Lalu mengapa Yudistira ada disini?" Tanya Dokter Gea membuat Adeeva merasa jengah.
Apa-apaan? Memang apa urusan Dokter Gea jika Yudistira berada di apartemennya? Memangnya dia siapa sampai berani mengatakan hal tersebut. Adeeva yakin bahwa Dokter Gea tidak lebih dari salah satu pelacur Yudistira. Lihat saja lipstik tebal yang digunakan di jam 3 dini hari hanya untuk menemui pasiennya. Bahkan Dokter Gea mengenakan pakaian yang cukup terbuka di dalam jas dokternya. Benar-benar semakin memperjelas statusnya.
"Kau tidur dengannya? Yah, sudah pasti kau salah satu pelacur Yudistira." Bukan Adeeva yang bertanya, melainkan Donter Gea.
Astaga, ingin rasanya Adeeva menarik bibir itu kemudian mengikatnya dengan karet gelang. Dasar bibir murahan yang tidak pernah bisa berhenti mengurusi hidup orang lain.
"Bukankah seharusnya aku yang bertanya seperti itu? Jika dilihat dari penampilanmu, terlihat jelas bahwa kau adalah pelacur berkedok dokter." Balas Adeeva sambil tersenyum. Dia merasa senang saat melihat Dokter Gea merasa kesal dan menggeram.
"Sudahlah, aku tidak ingin bertengkar denganmu. Bagaimana dengan kondisi Yudistira?" Tanya Adeeva baik-baik.
Untungnya Dokter Gea merespon dengan baik juga meskipun tetap terdengar sedang kesal. Adeeva tidak peduli, karena yang menjadi prioritasnya saat ini adalah Yudistira.
"Hanya kelelahan dan kurang tidur. Sepertinya dia tiga hari tidak tidur. Aku sudah meresepkan obat di nakas, kau bisa menebusnya di apotek terdekat." Jawab Dokter Gea.
Adeeva mengucapkan terima kasih, kemudian mengantar Dokter Gea ke pintu keluar apartemennya. Sebelum Dokter Gea benar-benar pulang, dia sempat mengingatkan pada Adeeva sesuatu hal.
"Jadwalkan kunjungan psikiater seminggu sekali untuknya. Insomnia dia sepertinya semakin parah." Pesan Dokter Gea.
***
Adeeva terus memperhatikan Yudistira yang tergeletak di atas ranjangnya. Yudistira terlihat sangat lemas dan pucat, bahkan bibirnya mengering. Astaga, kenapa pandangan Adeeva jadi tertuju pada bibir tersebut?
Bahkan, tanpa sadar tangan Adeeva sudah mengusap bibirnya sendiri. Tiba-tiba ingatan tentang ciuman tadi muncul di benaknya, terus menggerogoti pikiran sehatnya sejak tadi. Bibir basah yang melumat bibirnya, mengobrak-abrik mulutnya, membelit lidahnya...
Astaga, Adeeva jadi panas dingin sendiri hanya dengan mengingatnya.
Kini Adeeva duduk di tepi ranjang, memperhatikan Yudistira yang masih terlelap.
"Dia masih tampan seperti dulu." Jemari Adeeva mengusap rahang kokoh milih Yudistira, berkelana ke mata, hidung dan bibirnya.
"Aku harap suatu hari aku bisa mengatakan padanya bahwa aku mencintainya dengan tulus." Ujarnya. Kini jarinya mengusap pipi Yudistira, mengantarkan rasa sayang dari dalam hati.
"Adeeva..." gadis itu tersentak dan segera menarik tangannya dari wajah Yudistira.
Apa Yudistira sudah terbangun dari tadi dan mendengar ucapannya? Tidak. Itu tidak boleh terjadi. Ucapan Adeeva bisa menambah pertanyaan baru di benak Yudistira.
"Adeav?" Racau Yudistira.
"Yudis mimpi?" Adeeva bertanya-tanya. Lihat saja pria itu terus meracaukan namanya dengan mata yang terpejam. Memang dia mimpi apa hingga menyebut namanya seperti ini?
Adeeva merasa kasihan. Dia kemudian mencoba membangunkan Yudistira dengan menepuk-nepuk pipi Yudistira cukup kencang. "Sir?!" Seru Adeeva setengah berteriak.
"Bangun Sir!" Lanjutnya.
Setelah kurang lebih lima panggilan, akhirnya mata tajam milik Yudistira mulai terbuka secara perlahan. Alangkah kagetnya dia saat hal pertama yang masuk ke dalam iris matanya adalah sosok gadis cantik yang tengah tersenyum di depan wajahnya.
"Jangan tersenyum seperti itu!" Teriak Yudsitira sampai membuat Adeeva menganga tidak percaya. Memangnya dia harus bagaimana jika tidak tersenyum? Menangis ? Tertawa terbahak-bahak? Atau bagaimana? Aneh sekali Yudistira ini.
"Apa salahnha aku tersenyum? Barangkali senyumanku bisa menyembuhkanmu, Sir?" Tanya Adeeva. Menggoda Yudistira adalah hal yang menyenangkan.
"Tidak. Itu membuat sakitku semakin parah. Astaga, sepertinya aku kanker stadium akhir setelah melihat senyumannu." Kesal Yudistira.
Yudistira memegangi dadanya, bertingkah seolah kesakitan. Hal itu tidak membuat Adeeva panik. Kenapa dia harus panik saat Yudistira hanya demam biasa?
Dasar Yudistira banyak drama. Ngomong-ngomong, kalau Yudistira sakit bukankah Adeeva seharusnya bahagia? Tidak akan ada hal-hal memuakkan seperti membuat kopi dengan suhu tertentu, membeli makan di tempat yang jaraknya jauh dengan waktu yang singkat, serta tak ada perintah seenaknya dari Yudistira. Apa Tuhan membuat Yudistira sakit karena ingin Adeeva beristirahat sejenak?
"Kenapa kau tersenyum sumringah seperti itu?" Suara Yudistira membuyarkan lamunan Adeeva. Lebih tepatnya khayalan yang akan menjadi nyata.
"Tidak apa-apa Sir." Jawab Adeeva dengan senyum mengembang.
Kening Yudistira berkerut, kedua alisnya nyaris menyatu dengan terus memperhatikan tingkah Adeeva yang mencurigakan. "Kau sedang memikirkan apa?" Tanya Yudistira dengan mata penuh curiga.
Adeeva menggeleng seraya mengendikkan bahunya. "Tidak ada, hanya memikirkan sebuah kebebasan." Jawab Adeeva.
Gadis itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul setengah empat dini hari. Ternyata masih ada waktu cukup untuk tidur. Gadis itu memilih untuk berbaring ke samping Yudistira dengan penuh percaya diri.
Yudistira yang melihat hal itu memicingkan matanya, memperhatikan setiap pergerakan Adeeva yang semakin aneh.
"Kenapa kau tidur di sini?" Tanya Yudistira saat melihat Adeeve memejamkan matanya dengan percaya diri.
"Ini ranjangku, seharusnya aku yang bertanya seperti itu." Jawab Adeeva dengan mata terpejam.
Dia sudah bersiap untuk di tendang oleh Yudistira seperti waktu itu. Bahkan matanya terpejam semakin erat sambil memikirkan kemungkinan yang ada jika dia terjatuh ke lantai.
"Tidurlah." Ucap Yudistira membuat Adeeva membuka matanya dengan cepat.
Bukan tendangan yang gadis itu dapatkan, melainkan sebuah dekapan hangat dari Yudistira. Pria di depannya tengah memeluk Adeeva dengan erat.