"Yudistira sakit, aku bebas!"
"Yes! Yudis sakit, hore hore!"
"Semoga sakitnya lama!"
"I can't say how pleased I am," gadis itu membuka lemari pendingin, sedikit membungkuk untuk mengambil sebotol jus yang biasa dia minum di pagi hari.
Adeeva tak henti-hentinya bersenandung. Wajahnya terlihat penuh kebahagiaan. Dia seperti pengantin baru dengan wajah yang sangat bercahaya. Memang, kebahagiaan selalu menampilkan aura berbeda.
"Aku tidak menyangka sekretarisku tipe orang yang bahagia di atas penderitaan orang lain." Suara seorang pria membuat gadis itu tersentak. Bahkan, botol yang berisi jus di tangannya nyaris jatuh jika saja Yudistira tidak menangkapnya dengan cepat.
Jus miliknya kini berpindah tangan, bahkan berpindah kepemilikian saat Yudistira meminumnya hingga habis. Adeeva melihat semuanya dengan mata yang terbuka lebar, masih tertegun dengan kehadiran Yudistira yang sangat tiba-tiba.
"Kau mendengar semuanya, Sir?" Tanya Adeeva dengan rasa khawatir. Bisa mati dia jika Yudistira marah karena mendengar semua ucapannya.
"Hm. Aku mendengar semuanya. Bahkan aku melihat kebahagiaanmu yang begitu... besar." Yudistira berjalan meninggalkan Adeeva. Dia duduk di meja makan sambil memakan sebuah donat yang berhasil dicurinya dari lemari pendingin Adeeva.
"Kemarilah." Pengucapannya terdengar kurang jelas. Itu karena Yudistira sedang sibuk mengunyah donatnya.
Jari telunjuk Yudistira terangkat ke udara, kemudian bergerak, memberi kode pada Adeeva untuk mendekat. Adeeva menarik nafasnya dalam, berjalan mendekat pada Yudistira yang tampaknya mulai pulih.
Tidak ada kebebasan yang dia impikan. Kebahagiaannya terenggut hanya dalam sekejap.
"Ada apa?" Tanya Adeeva dengan suara yang tidak bersemangat.
Merasa gadis itu terlalu jauh darinya, Yudistira menarik pinggang Adeeva agar mendekat. Sekarang, gadis itu berada di antara kedua kakinya yang terbuka.
Adeeva tidak memberontak sama sekali. Meskipun terlihat kaget, tapi dia tetap tenang dengan sebuah wajah penuh tanda tanya. Menggemaskan sekali wajahnya jika sedang seperti ini.
"Apa kau mau menciumku lagi, Sir?" Tanya Adeeva dengan percaya diri. Dia segera menarik rambutnya kebelakang, mengikatnya jadi satu kemudian memejamkan matanya dan memajukan bibirnya menuju Yudistira yang tengah terkekeh geli melihat tingkah Adeeva.
Cup!
Sebuah ciuman singkat mendarat di bibir Adeeva. Gadis itu awalnya diam, menunggu Yudistira untuk bertindak lebih. Tetapi, sekian lama menunggu tak ada pergerakan lagi di bibirnya. Adeeva segera membuka matanya dan melihat ekspresi Yudistira yang terlihat meremehkan. Sial, dia pasti terlihat sangat murahan sekarang.
"Apa dulu ciuman pertamamu juga seperti ini?" Tanya Yudistira tiba-tiba.
Adeeva mencoba mengingatnya. Tidak, dia sangat ingat kapan ciuman pertamanya di ambil. Itu saat mereka berada di bibir pantai dan Yudistira mengungkapkan perasannya.
"Tidak Sir. Ciuman pertamaku sangat manis. Bahkan, sangat berkesan sampai detik ini." Jawab Adeeva. Pipinya merona hanya dengan mengingat hari itu. Hari bersejarah yang membuat hidupnya berwarna.
"Ck! Umur berapa saat kau mendapatkan ciuman pertama itu?" Tanya Yudistira. Dia terlihat sedikit marah mendengarnya.
Baru saja Adeeva hendak menjawab, Yudistira malah kembali berbicara. "Tidak usah di jawab. Sudah dipastikan saat kau SMA." Kata Yudistira.
Adeeva terdiam, memandangi Yudistira yang terlihat tampan. Tiba-tiba wajah yang tadinya marah kini mulai menghangat. Pria itu menarik pergelangan tangan Adeeva, kemudian memperhatikan luka-luka sayatan di tangan gadis itu. Adeeva yang menyadari hal tersebut berusaha menarik tangannya dengan sekuat tenaga. Bahkan dia tidak mempedulikan rasa sakit yang didapatnya karena terlalu keras berusaha.
"Diamlah atau kau akan kehilangan pekerjaanmu." Ancam Yudistira membuat Adeeva masih bersih keras mau menarik tangannya.
"Apa kau tidak peduli dengan pekerjaanmu?" Tanya Yudistira dengan kesal. Gadis ini keras kepala sekali.
Adeeva terdiam. Dia membiarkan tangannya masih dicekal oleh Yudistira. Matanya menatap Yudistira dengan tajam, seolah pria di depannya telah mengusik ketenangan gadis itu.
"Kau seharusnya beruntung bekerja denganku, Adeav. Aku memberimu gaji yang besar meskipun pekerjaanmu kadang kurang memuaskan." Ucapan Yudistira yang satu ini berhasil membuat Adeeva menganga tidak percaya.
"Wah, kau sangat percaya diri Tuan Adyatama." Balas Adeeva.
Yudistira tertawa kecil. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Adeeva sehingga wajah keduanya terlihat berdekatan.
"Aku adalah atasan paling baik di dunia. Memangnya di dunia ini ada seorang atasan yang mengkhawatirkan sekretarisnya sampai dia datang ke apartemen sekretarisnya di jam 2 pagi?" Yudistira menyombongkan dirinya. Sedangkan Adeeva, hanya menatap malas perbuatan pria di depannya.
Atasan paling baik di dunia? Ck! Yudistira pasti sedang melindur. Dia bahkan pernah membuat Adeeva kecelakaan. Bagaimana bisa itu di sebut baik?
"Selain itu, mana mungkin di dunia ini ada seorang atasan yang peduli kepada mental sekretarisnya?" Yudistira menarik pergelangan tangan Adeeva, kemudian memperhatikan luka-luka di sana dengan seksama. Adeeva yang melihat hal itu hanya terdiam. Dia sudah pasrah. Memberontakpun tak ada gunanya.
Tanpa Adeeva duga, Yudistira mengeluarkan sebuah spidol dari saku celananya. Dia menggambar sebuah bunga di sana. Itu bunga matahari. Bunga kesukaan Adeeva.
"Apa maksudnya, Sir?" Tanya Adeeva. Dia tidak merasakan perih sama sekali mengingat Yudistira menggambar sedikit jauh dari lukanya.
"Jika aku menulis namaku di sini, kau akan semakin melukainya. Yah, bagaimanapun kau bahagia melihatku sakit. Dan jika aku menulis namamu di sini, kau juga akan tetap melukainya. Jadi aku menggambar sebuah bunga. Bukankah bunga matahari sangat indah sehingga tidak seharusnya untuk dilukai?"