"Kurasa, kau harus mengganti mobil bututmu ini segera, Leon!" dengus Grace.
Selama perjalanan, Leoni hampir saja menabrak beberapa kendaraan yang ada di depannya. Karena, rem mobil tuanya itu tidak berfungsi dengan cukup baik.
Padahal, sudah sebulan yang lalu Grace memperingatkan hal ini kepada sahabatnya. Namun, tampaknya Leoni enggan untuk mengindahkan.
"Kau tahu, Grace... hal yang paling menyenangkan di dunia ini adalah, saat kita berada antara hidup—dan—mati, dan aku yakin... kau akan menyukainya."
"Tidak... terimakasih!" ketus Grace dan langsung menutup pintu mobil Leoni.
"Perlu kutunggu?"
Grace memiringkan wajahnya, pada gerbang tinggi yang ada di samping tempatnya berdiri. Bangunan yang akan dimasuki nanti bukanlah sebuah rumah, batin Grace. Sebab, terlalu megah untuk disebut itu.
Bangunan kuno dengan gaya yang benar-benar klasik. Bahkan, Grace sering melihat bangunan seperti ini di film-film. Ah, Grace tahu, ini seperti... kastil?
"Kurasa, kau tak usah menungguku, Leon. Cukup pulang dengan selamat dan buatkan makan malam untuk Korvy. Aku takut, tak bisa sampai rumah tepat waktu."
Mata Leoni terbelalak. Seketika, dia bergegas turun dari mobil kemudian memutari mobilnya dengan tubuh mungil itu. Dia menggenggam erat tangan Grace, matanya berkaca-kaca seolah membuat makan malam untuk Korvy adalah hadiah natal terindah yang pernah ia terima.
"Aku akan melakukannya, Grace... sungguh! Aku akan membuat Korvy jatuh hati dengan masakanku!"
"Bukan dengan... dadamu yang besar itu?" goda Grace. Leoni terkekeh, dia menyikut lengan Grace kemudian memperhatikan bangunan yang ada di sampingnya.
"Waow... Grace! Ini luar biasa! Kau... kau akan interview di rumah ini? Apa kau yakin? Ya Tuhan! Apa kau akan dijadikan putri oleh seorang pangeran, Grace?!"
"Ayolah, Leon! Berhenti bercanda dan pergi! Kau tahu, ini jam berapa?"
Leoni mengangguk lagi. Setelah ia mengusap ujung matanya, dia kembali menggenggam erat kedua tangan sahabatnya.
"Dengarkan aku, Grace," ucapnya, "kau harus yakinkan Nyonya dan Tuan Kyle kalau kau benar-benar serius bekerja di sini. Aku tahu, pengalamanmu sangat kurang dalam hal ini. Dan mungkin, ada banyak pelamar yang juga ditelefon untuk datang. Dan satu lagi, kau harus memperkenalkan dirimu dengan lantang dan percaya diri. Oh ya Tuhan..." Leoni mengusap lagi ujung matanya.
"Aku seperti orang tua yang melihat anaknya akan melakukan wawancara kerja."
Grace tersenyum tipis. Ia membalas genggaman tangan mungil sahabatnya. Dia tahu lebih dari siapa pun, jika Leoni adalah satu-satunya sahabat yang menjadi saksi hidup atas apa yang ia alami selama ini.
"Terimakasih, Leon... terimakasih." ucap Grace.
Setelah saling peluk, keduanya langsung berpisah. Grace menuju gerbang besar yang ada di depannya kemudian mendorong gerbang yang kebetulan tak tergembok itu agar terbuka.
Dahinya berkerut, mengingat jika rumah sebesar dan semegah ini tampak sepi. Tidak ada pembantu rumah tangga di sini. Atau, siapa pun itu?
Lagi, Grace mengerutkan kening. Langkahnya terhenti menatap lurus-lurus ke arah rumah keluarga Kyle.
Apakah ia akan bekerja sebagai pembantu di sini?
Atau seseorang yang mengurus bayi?
Ah... Grace memeluk tubuhnya yang berbalut mantel saat angin musim dingin mulai menerpa tubuhnya.
Bahkan daun-daun yang mulai menguning di pohon terpaksa gugur karena terpaan angin yang cukup kencang. Grace pun tak melihat, burung gereja atau pun kupu-kupu tampak berterbangan. Pasti, mereka lebih memilih tinggal di sarang dari pada harus keluar dalam keadaan sedingin ini.
"Huh!" asap putih keluar dari mulut Grace tatkala ia mengembuskan napasnya di depan kedua tangan.
Dia menaiki anak tangga teras keluarga Kyle. Matanya sesaat terpesona dengan beberapa pahatan patung yang ada di sisi kanan dan kiri teras itu.
"Maaf, Nona Hester?" sapa seseorang yang berhasil membuat Grace hampir melompat.
Seorang lelaki tua dengan mata birunya yang menenangkan. Ia tersenyum ramah ke arah Grace kemudian sedikit membungkuk.
"I... iya." jawab Grace terbata. Sesekali Grace mencoba menurunkan rok pendeknya yang terus-terusan merangkak ke atas, menampilkan paha putihnya yang mulus.
"Tuan dan Nyonya Kyle sudah menunggumu di dalam, Nona."
"Oh...." hanya itu yang keluar dari mulut Grace. Mulutnya tercekat, ada rasa tak percaya diri yang merajai hatinya.
Dan... sebutan Nona Hester? Dari mana lelaki tua ini tahu jika dia akan berada di sini? Maksudnya... bukankah, seharusnya, pelamar yang datang banyak? Atau, keluarga Kyle menyelidiki seluk beluk semua calon pegawainya?
Atau?
Ah... lag-lagi Grace menepis semua pertanyaan yang ada di dalam otak kecilnya. Mungkin saja, lelaki tua ini adalah sekertaris atau pun tangan kanan keluarga Kyle.
Terlebih, saat Leoni mengirimkan datanya bukankah fotonya ikut dikirim juga? Jadi... siapa tahu lelaki tua ini mengenalnya dari situ. Ya... itu pasti!
Grace hampir terjatuh saat ia berjalan tanpa memperhatikan apa yang ada di depannya. Dia memaksakan seulas senyum pada lelaki tua yang namanya pun dia tak tahu. Sebab, lelaki itu dengan sigap menolongnya.
Meski Grace terus memerintah otaknya untuk tidak melihat-lihat apa pun. Tetap saja, matanya begitu aktif meneliti setiap sudut rumah keluarga Kyle.
"Lewat sini, Nona Hester."
"Oh... iya." jawab Grace lagi. Setelah ia melewati dua tangga yang berbentuk setengah lingkaran membentang megah di depannya.
Di tengah-tengah tangga itu, ada sofa dengan bentuk melingkar, yang tempatnya sedikit lebih rendah dari pada tempat lainnya. Grace bahkan menghitung, ada enam anak tangga yang menuju sofa itu.
Grace kembali mengikuti langkah lelaki tua yang ada di depannya. Setelah berbelok ke kanan. Ada sebuah ruangan yang Grace rasa lebih nyaman dari pada ruangan-ruangan yang sebelumnya ia lewati. Entahlah, hanya saja... mungkin karena pencahaan rumah ini kurang, membuat Grace tampak tak nyaman.
Bahkan... awalnya, Grace pikir, penghuni rumah ini adalah sosok vampire atau semacamnya yang tak menyukai sinar matahari.
"Oh... Nona Hester! Selamat datang... duduklah!" Grace memekik. Saat alam bawah sadarnya terpaksa dihancurkan oleh sapaan ramah itu.
Sepasang orang tua lain tengah duduk santai di sebuah ruangan yang penuh dengan rak-rak buku.
Setelah Grace menebarkan pandangannya, dia berdiri tegap memandang ke arah sepasang orang tua yang Grace yakin jika mereka adalah Tuan dan Nyonya Kyle.
"Maafkan saya, Tuan... Nyona."
"Oh... tidak apa-apa, Nona Hester. Duduklah." jawab Nyonya Kyle ramah.
Setelah lelaki tua yang menuntunya sampai ke sana pergi. Grace duduk di depan pasangan suami—istri itu.
"Ini adalah ruang baca keluarga Kyle. Tempat kesukaan kami."
Grace mengangguk dengan kaku. Ruangan dengan wallpaper motif bunga berwarna maroon memang terlihat sangat cocok digunakan untuk tempat santai sambil menghabiskan waktu dengan buku-buku. Terlebih, di sini... langit-langit ruanganya sebagian terbuat dari kaca. Grace bisa membayangkan, bagaimana indahnya berada di sini saat malam datang. Malam dengan penuh bintang-bintang.
Seketika, Grace ingat apa tujuannya datang jauh-jauh dari London ke sini. Dia datang bukan untuk berkunjung, pun untuk mengagumi rumah dari keluarga Kyle. Dia sedang ada wawancara pekerjaan dan bagaimana bisa ia memberikan kesan pertama yang begitu buruk dengan suami—istri Kyle ini! Ya Tuhan!
"Nama saya Grace Hester! Saya berasal dari London! Umur saya 23 tahun! Pendidikan terakhir saya—"
"Kau diterima."
"Apa?!" pekik Grace tak percaya.