"Hey, Korvy! Kau benar-benar seperti kekasihnya. Dia adalah kakak permpuanmu, kau tahu!"
"Bahkan... jika bisa, aku mau menikahinya agar tak ada lelaki mana pun yang menyakitinya, Bradley."
"Waow!" seru Bradley takjub. Ia tahu, memang. Jika sifat posesif Korvin terhadap kakak perempuannya itu sangat berlebihan. Namun, Bradley juga tahu, tentang masa lalu dari keluarga Hester itu.
Bagi Korvin, Grace adalah satu-satunya keluarga yang ia punya pun sebaliknya. Jadi, menjaga kakak perempuannya adalah wajar bagi Korvin.
"Jadi di mana Grace bekerja? Apakah kau tak bisa menemuinya?"
"Bahkan, keluarga sialan itu melarang siapa pun termasuk aku mengunjungi Grace... sial! Dia berada di Blackpool sekarang, dan aku semakin mengkhawatirkannya karena dia bekerja di rumah keluarga Kyle."
"Keluarga Kyle?" tanya Bradley. Ada nada terkejut di sana. Namun, Bradley segera menutupi keterkejutan itu.
"Ya... kau tahu, keluarga yang katanya sangat... kaya raya. Bahkan, di hari pertama Grace bekerja beberapa hari yang lalu. Salah satu tangan kanan keluarga Kyle memberiku banyak uang. Entahlah, aku merasa... keluarga itu seolah ingin membeli Grace dariku."
"Apakah keluarga itu memiliki seorang cucu yang berusia kira-kira 35 tahun, Korvy?" tanya Bradley hati-hati. Korvin mengerutkan keningnya, kemudian ia tampak acuh—tak—acuh.
"Entahlah, siapa yang peduli tentang itu, Bradley... yang kupedulikan adalah Grace. Terlebih, Leoni... wanita jadi-jadian itu sekarang gemar sekali datang ke rumahku."
"Oh... sial! Dia adalah wanita berdada besar, Korvy! Kau harus mencobanya!"
"Oh... maaf, kawan. Dia bukan seleraku."
Keduanya tertawa, memecah kesunyian yang alam ciptakan pada siang ini. Bahkan, gelak tawa mereka membuat beberapa orang yang ada di sekitarnya menoleh ke arah mereka.
*****
Malam ini Nicholas sudah duduk dengan tenang di atas ranjang Grace. Memandang wanita berwajah pucat itu dalam kegelapan. Dia diam, tak seperti biasanya yang akan langsung memburu bibir ranum Grace.
Nicholas tersenyum kecut mengingat secuil adegan yang ia liat tadi siang di balik kamarnya. Terlebih... melihat senyum Grace pada Alex, Nicholas sangat tak menyukainya.
"Sial!" dengus Nicholas sambil meninju kasur dengan amarahnya. Dia kembali melirik ke arah Grace kemudian menyeringai.
Entah kenapa, mainannya yang satu ini membuatnya mabuk kepayang. Biasanya, Nicholas tak akan pernah berbasa—basi. Ia akan menikmati tubuh mainanya kemudian membunuhnya begitu saja. Tapi tidak dengan Grace. Bahkan, ia rela menunggu 13 tahun hanya untuk melihat gadis kecil itu tumbuh besar dan matang.
"Sial!" umpat Nicholas untuk kesekian kalianya.
Ia langsung mencium bibir Grace dengan brutal, sampai wanita itu kehilangan napas. Sebelum Grace benar-benar bangun, Nicholas pergi kemudian menghilang dari balik pintu rahasianya. Sejenak dia diam, memandang ke arah Grace yang kini sudah terbangun, seolah-olah tangah mencari keberadaannya.
Dengan seringaian dingin dia memandang ke arah Grace, kemudian bergumam; "tak kan ada yang bisa merebutmu dariku, Grace... lihatlah."
*****
Pagi harinya, Grace tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk Tuan Mudanya. Yang Grace tahu setelah beberapa hari bekerja di sini adalah... Tuan Mudanya itu tak menyukai daging. Bahkan, hampir setiap hari makanan yang dikonsumsi hanyalah sayur-sayuran. Grace pikir, jika Tuan Mudanya itu adalah lelaki yang memiliki kecenderungan untuk hidup sehat. Atau mungkin, bahkan... terlalu menjaga tubuh idiealnya?
Entahlah... Grace tak mau tahu tentang itu. Yang jelas, dia mulai menyukai kebiasaan makan Tuan Mudanya itu. Pagi hari, Tuan Mudanya lebih memilih teh hijau dari pada kopi hitam pekat yang tanpa gula. Siang hari masih dengan minuman yang sama. Baru malam hari, Tuan Mudanya itu menginginkan segelas wine sebagai penutup makan malamnya.
Oh... apakah Grace sekarang sudah mulai tertarik dengan apa-apa yang disukai Tuan Mudanya? Bahkan, ia sudah mulai penasaran dengan wajah lelaki yang tak pernah ia temui itu. Yang Grace tahu dari Leoni hanyalah... lelaki itu bernama Nicholas Kyle, dan tentu, ia adalah lelaki yang sangat... tampan.
Meski Grace tak tahu langsung. Tapi melihat dari babagimana pola makan serta dekorasi kamarnya, bisakah Grace meyakini ucapan Leoni jika itu benar adanya?
"Maaf, Nona Hester." ucapan itu berhasil membuat Grace membuyarkan lamunanya.
Dia memiringkan wajahnya, rambut merah yang diikat satu secara asal tampak mulai berjatuhan di kening helai—demi—helai.
"Iya, Gob... ada apa?" tanya Grace.
Ia masih mengenakan kaus putih berkerah V, dengan bahawan piama tidur yang dari semalam ia kenakan. Penghangat ruangan di rumah keluarga Kyle berfungsi sangat baik, itu sebabnya Grace tak perlu memakai pakaian tebal karena takut kedinginan.
"Ada yang mencari anda, Nona," ucap Gob. Grace hanya diam, ia mengerutkan kening tak mengerti.
Ada yang mencarinya? Bukankah Korvin tidak akan bisa berkunjung ke sini? Pun dengan Leoni, sahabatnya? Lalu, siapa yang mencarinya? Grace merasa tak punya kenalan siapa pun selain adik kesayangannya dan sahabat gilanya itu.
"Seorang lelaki, Nona... keluarlah, dia menunggumu di gerbang." Gob langsung pergi.
Grace melihat jam yang ada di dinding dapur, belum ada jam 07.00 dia masih memiliki sedikit waktu untuk menemui siapa orang yang mencarinya.
Setelah ia mengelap kedua tangannya dengan serbet. Buru-buru, dia berjalan meraih mantel kesayangannya dan keluar. Menebarkan pandangannya pada ujung jalan depan gerbang.
Keningnya kembali berkerut, sebab... baru kali ini dia tahu jika gerbang rumah keluarga Kyle dibuka lebar-lebar. Bahkan, biasanya, gerbang itu selalu ditutup rapat-rapat. "Hey... Grace!" seruan itu terdengar samar-samar dari indera pendengaran Grace.
Ada Alex di sana, di seberang jalan tengah menenteng beberapa sayuran segar. Senyumnya tampak merekah. Bahkan, tangan kanannya melambai kuat untuk Grace.
Grace membalas lambaian itu. Dia pun tersenyum melihat tingkah lucu Alex. Apakah Alex orang yang mencarinya? Jika iya, maka dia paham kenapa Alex mencarinya pagi-pagi seperti ini.
Sebab, kemarin... Alex sempat berjanji untuk memberikan beberapa bunga untuk Grace. Agara bisa ditanam di kebun samping rumah keluarga Kyle.
"Grace! Ini bungamu!" teriak Alex. Menyeberang jalan dengan langkah lebar-lebar.
Namun siapa sangka, jika tiba-tiba sebuah truk sampah melaju dari arah barat dengan kecepetan tak terkendali. Mata Grace terbelalak, melihat laju truk sampah yang semakin cepat. Akan tetapi, Alex seolah tak tahu truk itu!
"Alex, awas!" teriak Grace.
Alex yang menyadari teriakan Grace pun berhenti. Ia langsung menoleh ke kiri. Dia tertegun... sayur—sayuran yang sedari tadi berada dalam keranjang yang ia pegang langsung jatuh berhamburan. Mata kecil Alex membulat saat truk itu terlihat semakin dekat, dan...
BRAK!!
"Alex!" teriak Grace kesetan.
Tubuh Alex hancur, tertindas ban truk sampah yang besar. Matanya terbelalak seolah kesakitan. Terlebih, darah terus keluar dari seluruh bagian tubuhnya.
"Tolong! Tolong aku, Tuan! Nyonya!" teriak Grace tanpa hasil. Dia berlarian, melihat truk sampah yang berhenti. Tak ada siapa pun di sana. Bahkan, sang supir biadab yang mengendarai truk itu pun tak ada.
Apakah... apakah truk sampah itu tanpa pengendara?
Kepala Grace terasa sakit. Kenangan buruk di masa lalunya mulai muncul lagi. Dia hanya berdiri mematung, memandang tubuh Alex yang sudah tak bernyawa. Bagaimana bisa, dia harus melihat kejadian mengerikan ini lagi. Setelah, 13 tahun ia mengalami trauma yang mengerikan. Kini, Tuhan kembali menunjukkan kepadanya kejadian yang memilukan ini. Kejadian mengerikan yang merenggut nyawa orang yang ia kenal. Terlebih... tepat di depan matanya sendiri.
Grace luruh, dia memandang ke arah mayat Alex. Ditangkap wajahnya yang masih utuh kemudian dia menangis. Tak seharusnya ia bertemu dengan Alex, tak seharusnya ia mengenal Alex. Jika dia tahu akan seperti ini, seharusnya, dia memilih bersembunyi di dalam rumah dan tak akan pernah keluar meski ribuan kali Gob mengatakan padanya jika ada seseorang yang sedang mencarinya. Ya... seharusnya Grace melakukan hal itu.
"Jadi... aku apakan tubuh lelaki itu, Nick." ucap Marvin yang sedari tadi berdiri patuh di belakang Nicholas.
Wajah Nicholas tampak dingin, matanya tak henti-hentinya memandang ke arah pemandangan yang mungkin sebagian orang menyebut itu; mengerikan.
Namun bagi Nicholas, pemandangan yang ia lihat adalah pemandangan yang paling menyenangkan.
"Aku mau kedua matanya, untuk kuawetkan sebagai kenang-kenangan." jawabnya mantap. Setelah itu dia menyeringai, menyibak jubah hitamnya dan pergi meninggalkan Marvin yang sudah menunduk patuh padanya.