Sore ini Grace hanya terdiam di dalam kamar. Setelah ia memberikan makan malam untuk Kyle muda, dia langsung menutup diri di kamar. Bukan karena dia malas bekerja, hanya saja... kejadian tadi pagi yang baru saja ia lihat menguras kewarasannya. Dia masih sangat terpukul dengan itu. Terlebih... mental yang dulu sempat terguncang, seolah enggan untuk mengulang hal yang sama. Bukan... Alex memang bukanlah keluarga Grace. Hanya saja, lelaki itu baru saja dikenal Grace. Dia adalah lelaki yang cukup ramah dan ceria. Bagaimana bisa hidupnya begitu singkat dan mati dengan cara... mengerikan.
"Nona Hester, apa kau ada di dalam?" suara seorang laki-laki terdengar dari balik pintu. Tentu, setelah pintu kamar Grace diketuk dengan tenang, namun terdengar sedikit kencang.
Grace memeluk kedua kakinya, wajah yang sedari tadi ditenggelamkan di balik pahanya pun diangkat. Kemudian, dia memiringkan wajah cantiknya. Dia tahu, pemilik suara itu. Lelaki tua yang selalu bersikap formal padanya.
"Masuklah, Gob... pintu kamarku tak dikunci." jawab Grace.
"Tapi, Nona—"
"Masuklah, kumohon jangan berdebat, Gob." pinta Grace. Tak berapa lama, pintu kamar Grace pun terbuka. Hanya ada sosok hitam yang berdiri di balik pintu, seolah-oalah, sosok itu enggan untuk masuk.
Grace tahu jika Gob sungkan, terlebih... kamarnya tak ada penerang. Semua cahaya lampu sedari tadi Grace padamkan. Grace beranjak dari tempat tidur, kemudian dia menyalakan lampu agar Gob berani untuk masuk ke dalam kamarnya. Meski memang Gob benar-benar masuk, namun lelaki tua itu lebih memilih berdiri dengan formal sambil menundukkan kepala. Tangan kananya dilipat ke depan, sementara tangan kirinya berada di belakang punggung.
Ini sungguh aneh, Grace tahu jika ia hanyalah seorang pekerja sama seperti Gob di tempat ini. Namun tingkah Gob, seolah-olah Grace adalah Nyonya di rumah ini. Itu bukan tingkah seperti sesama pekerja, tapi lebih tepat seperti... bawahan yang tunduk dengan atasan.
"Maaf, Nona Hester... kejadian yang menimpa Tuan Alex, seharusnya segera hapus dari ingatan Nona."
"Kenapa, Gob?"
"Sebab, di rumah ini... tidak akan pernah ada waktu untuk sekedar mengingat hal-hal semacam itu, Nona... lagi pula, itu hanyalah kecelakaan. Takdir dari Tuhan."
Grace terdiam, dia membenarkan ucapan Gob. Sepenuhnya, apa yang dialami Alex bukanlah kesalahannya. Hanya saja, kejadian mengerikan itu kebetulan terjadi di depan mata. Namun begitu, Grace masih enggan untuk melupakan begitu saja. Biar bagaimanapun, berduka bukanlah hal yang salah, kan?
"Baiklah, Gob... apa pekerjaanku setelah ini?" putus Grace. Meski berat, ia menampakkan seulas senyum. Lelaki tua itu menunduk, dengan wajah datar dia pun memberikan secarik kertas untuk Grace.
"Tuan Muda Kyle menginginkan anda melakukan ini, Nona."
Grace mengambil secarik kertas yang diulurkan Gob. Rupanya, kertas itu berwarna senada dengan kertas yang ia temukan beberapa hari yang lalu. Kertas warna kuning cerah dengan goresan tinta hitam di dalamnya.
Grace hendak mengatakan terimakasih kepada Gob, namun sayang... lelaki tua itu sudah pergi dari kamarnya.
'Tersenyumlah, Grace.'
Isi pesan singkat yang Gob bawa dari Kyle muda. Grace mengerutkan kening tak mengerti, apakah sepenting itu dirinya sampai Tuannya, Kyle memberikan pesan seistimewa ini? Namun, jika memang dia istimewa, seharusnya Kyle muda mengucapkannya langsung, bukan dengan cara memberikan secarik kertas seperti ini. Terlebih, itu lewat Gob.
=000=
Marvin dehem berkali-kali, dia memandang punggung tegap Nicholas yang bergeming di tempatnya. Nicholas, Tuannya, kini sedang duduk dengan angkuh sambil meneliti beberapa file yang baru saja ia berikan. Tak lama setelah itu, Nicholas membalikkan kursinya. Mata elang yang tajam menatap Marvin tak terelakkan.
"Jika aku menginginkan jantung Bowman, apa kau bisa melakukannya?" tanya Nicholas. Dia melempar file ke lantai, tepat di depan Marvin.
"Maafkan aku, Nick. Percayalah lain kali—"
"Ck!" decak Nicholas membuat ucapan Marvin terhenti. Dagu Nicholas ditumpu dengan kedua tangan, tatapannya lurus ke arah Marvin. "Kukira, yang bodoh di sini hanyalah Sean, tapi rupanya... kau juga."
"Tapi, Nick—"
"Cepat habisi keluarga sialan itu sebelum aku murka, Marvin! Kau pikir, tujuanku hidup selama ini untuk apa? Untuk membunuhmu?!"
Marvin langsung menunduk saat Nicholas melemparkan gelas kristal berisikan wine sampai pecah.
Ya, Marvin tahu... bagaimana bencinya Nicholas kepada keluarga Bowman. Bagaimana dendamanya Nicholas dengan keluarga sialan yang tak tahu diri itu. Namun, Marvin jauh lebih tahu dari siapa pun, jika keluarga itu adalah keluarga yang sulit sekali ditangkap. Mereka cepat sekali bergerak, seolah-olah keberadaan anggotanya mudah dilacak.
Sial! Umpat Marvin dalam hati. Seharusnya, ia tak menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Di saat keluarga Bowman ada di London. Namun sayang, apa pun upaya yang ia kerahkan tetap saja, keluarga sialan itu tak bisa tertangkap.
Seharusnya Marvin sadar, jika hidupnya adalah untuk Nicholas. Bahkan, jika tanpa Nicholas saat itu, maka Marvin tidak akan bisa hidup sampai sekarang.
"Beri aku kesempatan sekali lagi, Nick... kumohon." pinta Marvin sedikit mengiba.
Nicholas menghela napas beratnya, mata elangnya menatap ke arah Marvin yang kini menundukkan kepalanya sambil berlutut.
"Hay, Nick! Kita punya mangsa empuk, kau tahu! Keluarga Omar, akan berkunjung ke London. Kita bisa menjarahnya!"
Sean masuk, tanpa mengetuk pintu dia pun langsung terdiam. Melihat Marvin yang tengah berlutut, file-file berserakan di lantai, terlebih... gelas wine yang hancur berantakan. Dia tahu, jika saat ini sepupunya sedang dalam emosi yang buruk. Jadi, tak banyak omong, adalah hal yang wajib ia lakukan sebelum dia dikuliti atau dicincang.