"Haruskah kami berikan surat pernyataan kau diterima bekerja di rumah kami, Nona Hester?"
"Ah, bukan... maksudku—"
"Selama kau bekerja di sini, kau harus menginap, Nona Hester. Kau tak kami izinkan untuk pulang apa pun alasannya. Kau dapat jatah libur dua hari di akhir bulan untuk menemui adik laki-lakimu. Setelahnya, kau harus kembali ke rumah ini paling lambat jam tujuh."
"Tapi—"
"Tugasmu cukup mudah, Nona Hester. Untuk bagian merapikan apa pun di rumah ini, sudah ada yang mengurus. Dua pegawai rumah tangga keluarga Kyle, dan dua lagi lainnya. Kau cukup melakukan tugas yang... sedikit sensitif."
"Maksudnya?"
"Kau tahu, cucu kami... Nicholas? Dia paling membenci siapa pun yang menyentuh apa pun di dalam kamarnya, Nona Hester. Sudah beberapa pegawai yang kami suruh untuk melakukan pekerjaan ini. Namun, dalam waktu kurang dari satu jam, mereka mengundurkan diri. Itulah sebabnya, kami memanggilmu bekerja di sini."
"Jadi?" tanya Grace semakin bingung.
"Pekerjaanmu adalah, membersihkan kamar cucu kami saat pagi hari tepat pukul sembilan. Kemudian, menaruh sarapan di kamar. Jam sebelas, ambil makanan itu dan ambilkan makan siang untuk cucuku. Setelah itu, jam enam sore kau lakukan pekerjaanmu itu lagi, Nona Hester... membersihkan kamar cucu kami dan jam tujuhnya antarkan makan malam ke dalam kamarnya."
Grace diam. Tidak menanggapi penjelasan dari wanita tua berambut sebahu itu. Dia bingung dengan pekerjaannya. Apakah cucu dari keluarga Kyle mengalami cacat sampai sarapan—dan—makan malam harus di antar di kamar? Lalu, jika pekerja sebelumnya hanya mampu dalam waktu satu jam saja bekerja di sini, bagaimana dengan dia?
"Dia tidak cacat, Nona Hester." ucap Tuan Kyle yang berhasil membuat Grace terperanjat dari lamunannya.
"Maafkan aku, Tuan Kyle."
"Tidak... tidak. Ini salah kami. Dia tidak cacat, bahkan... kau tak akan melihatnya saat kau sedang berada di kamarnya. Kami akan membayarmu dengan gaji tinggi untuk ini, Nona Hester, percayalah."
"Tapi, Tuan Kyle... aku belum mengemasi barangku di rumah. Pakaian gantiku, terlebih... Korvin, adik laki-lakiku. Dia sendirian di rumah, Tuan... bagaimana bisa aku meninggalkannya begitu saja?"
"Untuk masalah itu, akan diurus oleh pegawai kami, Nona Hester. Masalah adik laki-lakimu. Kau bisa menggunakan telepon rumah untuk menghubunginya."
"Tapi—"
"Kamarmu ada di lantai dua. Tepat bersebelahan dengan kamar cucuku, Nicholas. Gob akan mengantarmu ke sana."
Mulut Grace terkatup rapat-rapat. Ada banyak pertanyaan yang ada di otaknya. Tapi, tak sempat ia tanyakan kepada orang tua itu.
Bagaimana bisa ia menangani hal semacam ini? Bagaimana ia bisa mampu? Ya Tuhan! Sepertinya, Blackpool adalah kota yang selalu membuatnya sial.
Ya... bagaimana bisa, kota yang bahkan sebagian penduduknya depresi—bahkan sampai bunuh diri hanya karena jumlah wanita lebih sedikit dari pria ini akan sangat menyenangkan? Kota yang Grace yakini sebagai kota mala—petaka. Tak akan ada hal yang menyenangkan di dalamnya.
"Nona Hester. Aku akan mengantarmu ke kamar."
Grace hanya mengangguk. Saat Gob mengatakan hal itu. Dia berdiri dan mengekori langkah Gob lagi. Berjalan menaiki tangga megah yang ia sempat kagumi tadi.
Matanya menyelusuri lorong yang tampak sepi. Rumah sebesar ini, kenapa terasa begitu mati?
"Ini kamarmu, Nona Hester." ucap Gob setelah sampai di depan kamar dengan pintu besar. Bahkan, Grace hampir tidak percaya. Bagaimana bisa, pegawai sepertinya mendapatkan kamar seperti ini?
"Apa kau tak salah kamar, Gob?" tanya Grace. Gob menggeleng.
"Bagi keluarga Kyle, kau adalah tamu penting di rumah ini, Nona Hester." Grace menyeringai. Dia bahkan hampir terbahak karena ucapan Gob.
"Apa kau bercanda, Gob? Apakah pembantu merupakan tamu istimewa? Kau gila!" desisnya setengah frustasi.
Entah kenapa, Grace merasa menyesal datang ke sini. Menyesal melakukan wawancara pekerjaan dan menyesal kenapa dia tak menolak saja pekerjaan ini tadi. Dia rindu Korvin, dia tak bisa jauh dari adik laki-lakinya.
Grace mengembuskan napas beratnya. Setelah ia menatap ke arah kamar yang ada di sampingnya dia pun melangkah masuk ke dalam kamarnya.
==000==
"Ingat ucapanku baik-baik, Tuan. Demi nyawa semua orang yang telah kau bunuh dengan keji, demi semua wanita yang telah kau tiduri. Aku bersumpah... kau tak akan pernah mendapatkan kebahagiaanmu! Karena... kau sudah terlalu sering merusak kebahagiaan orang lain!"
JREP!!
Rahang Nicholas mengeras mendengar celotehan wanita yang sedang tidur dengannya. Mata elangnya menatap ke arah pisau yang baru saja ia tancapkan tepat di leher wanita itu.
Namanya, Nicholas sama sekali tak tahu. Yang jelas, dia adalah salah satu dari wanita tawanannya yang ia ingin ajak bersenang-senang.
Nicholas memiringkan wajahnya. Dia kembali mengambil pisau yang tadi dia tancapkan pada leher wanita itu. Kemudian, menancapkan lagi tepat di jantung wanita itu, berkali-kali.
"Biadab!" geramnya marah.
Dia mengambil posisi duduk, kemudian menutup sebagian wajahnya dengan tangan. Bau segar darah mulai keluar dari tubuh wanita yang sudah tak bernyawa di ranjangnya, dengan kedua tangan dan kaki terikat kuat di ranjang.
"Biarkan mayat Elana kuambil, Nick." ucap Marvin. Setelah ia masuk ke dalam kamar Nicholas.
Bukan... ini bukanlah kamar Nicholas yang sebenarnya. Ini adalah salah satu dari sekian kamar rahasia yang ia punya. Yang biasa ia gunakan untuk bercinta dengan beberapa wanita sialan yang menggelitik hasratnya.
"Potong-potong tubuhnya kemudian bagikan pada anjing kita." perintah Nicholas.
Marvin mengangguk dengan patuh. Setelah itu, ia menyuruh beberapa anak buahnya untuk mengangkat mayat telanjang Elena.
Menyisakan Nicholas yang bahkan nyaris telanjang jika—tanpa selimut yang menutupi bagian bawah pusarnya.
"Kudengar Bowman sedang ada di London, Nick." suara lelaki lain dari arah belakang Marvin.
Nicholas diam, dia langsung beranjak dari tempat tidurnya. Seolah, berjalan tanpa busana di depan dua lelaki yang ada di kamarnya itu adalah hal yang biasa.
Dia meraih pakaian yang ada di kursi samping ranjangnya. Mengenakannya dengan bantuan Marvin kemudian seringainya kembali tercetak di sudut bibir Nicholas.
"Apa informasimu ini akurat, Sean? Sebab, aku tak ingin membuang-buang waktu untuk keluar rumah malam ini. Aku ingin bermain dengan wanitaku."
Sean menunduk, sepupu sekaligus tangan kanan Nicholas lainnya ini pun merasa bersalah. Dia sering sekali memberikan informasi. Tapi, berkali-kali juga informasi tentang keberadaan keluarga sialan itu selalu saja lenyap. Seolah, Bowman selalu tahu jika sudah dari belasan tahun lalu keluarga Kyle mengincarnya.
"Itu adalah informasi terakhir yang kudapatkan, Nick." jawab Sean pada akhirnya.
Nicholas kembali diam, matanya memandang ke arah kedua tangan kanannya dengan tajam. Kemudian, ia melangkah keluar dari kamar.
"Bunuh semua orang yang kita sandera tadi. Aku mau menemui wanitaku dulu." perintahnya mutlak.
Marvin dan Sean mengangguk. Setengah membungkuk keduanya langsung pergi memenuhi tugas mereka.
Membunuh, merampas hak orang, terlebih... melakukan kekejian lainnya adalah pekerjaan mereka sedari dulu. Tapi, mereka sama sekali tak merasa berdosa dengan itu.
Nicholas keluar dari pintu rahasia yang ada di kamarnya. Setelah ia membersihkan diri dan berganti pakaian. Dia pun kembali masuk ke dalam pintu rahasia lain di balik rak-rak buku kemudian berada di kamar Grace.
Dia tersenyum. Semuanya sudah disiapkan Nicholas jauh-jauh hari. Tentang kamar Grace yang besebelahan dengannya, tentang pekerjaan Grace pun yang lainnya. Semuanya... sebab, wanita yang saat ini tengah terlelap di atas ranjang itu adalah obsesi terbesar Nicholas. Obsesi yang akan menjadi mainan berharga baginya.
Dia melangkah dengan hat-hati. Di balik suasana gelap dari lampu yang dimatikan Grace. Kemudian, dengan pelan dia duduk tepat di samping Grace terlelap.
Alisnya, hidungnya, bentuk wajahnya, kelopak matanya yang terpejam, serta... bibirnya. Nicholas merindukan itu semua. Bahkan, Nicholas merindukan rasa manis yang ia cecap saat wanita ini berusia sepuluh tahun dulu.
Pelan... Nicholas menundukkan wajahnya. Tangan kananya membelai pipi Grace dengan lembut. Sementara, tangan kirinya memegang dagu Grace.
Lagi... untuk kedua kalinya. Dia mencium bibir itu. Setelah tiga belas tahun ia menahannya. Setelah tiga belas tahun ia menunggu.
Nicholas tersenyum, setelah melumatnya dengan lembut. Segera, dia menarik tubuhnya dari Grace. Dia tidak ingin membuat wanita ini ketakutan seperti dulu. Terlebih... jika Grace melihat bekas luka di pipi kiri Nicholas. Dia ingin melakukan apa pun dengan Grace begitu hati-hati. Bahkan, jika perlu... dia akan melakukan cara apa pun agar Grace secara suka rela memanjakannya. Memanjakan hasratnya yang menggebu.
"Sial!" umpat Nicholas.
Dia langsung beranjak menjauh dari Grace, sebelum kewarasannya hilang dan menerjang wanita itu malam ini. Dia harus pergi, sekarang!
==000==
"Dia akan segera datang, Nick. Bukankah kau harus menghilangkan bekas luka yang ada di pipimu itu agar dia tak mengenalimu?"
Sosok bernama Nick masih diam. Di balik jubah hitamnya, dia memandang keluar jendela kamar. Mengintip sedikit halaman depan dari balik gorden.
"Gadis mungil itu, sekarang sudah matang, Marvin... dan aku sudah tak sabar untuk menikmatinya," ucap Nick mantap dengan seringaian licik di balik topeng hitamnya.