Sindy menolak untuk bicara dengan Andre. Dia bukan gadis yang pandai membangun sebuah percakapan dengan orang lain lebih dulu. Sindy menghela nafas dalam, berpikir sejenak, lalu berkata pada Rendy "Gue.., boleh ke rumah lo nggak, jenguk Andre?"
Rendy menurunkan padangannya, bingung dengan apa yang di rasakannya sekarang. Aneh, dan sangat mengganjal.
"Jelas boleh, dong, lo mau ke sini kapan aja juga nggak ada yang ngelarang" jawab Rendy.
"BTW, maaf ya Ren, gue malah ngomongin Andre, padahal tujuan gue nelpon karena pengen ngobrol sama lo, malah nanya soal Andre" ucap Sindy kikuk. Padahal dia memang ingin tahu keadaan Andre. Rasa gengsi untuk menanyakannya secara langsung membuatnya penasaran.
"Santai aja kali, Sind, gue sama sekali nggak marah lo nanyain soal Andre, toh, juga dia adalah saudara kembar gue"
Rendy tersenyum kecil, melempar pandangannya ke arah frame photo dirinya dan Andre yang sedang tersenyum lebar. Siapapun yang sedang dekat dengan saudaranya itu, dia sama sekali tidak berniat untuk ikut campur. Asalkan Andre bahagia, dia akan sangat senang.
Percakapan mereka berdua di akhiri dengan Sindy mengucapkan selamat tidur untuk Rendy. Gadis itu meletakkan handphone nya, kemudian merebahkan tubuhnya ke dalam selimut. Ia berusaha memejamkan matanya, namun bayangan wajah Andre terus saja mengganggu pikirannya. Sial. Gadis itu menutupi seluruh wajahnya dengan selimut, berharap wajah Andre hilang dan dia bisa segera tidur.
***
Sindy berjalan menuju dapur degan kantong belanjaan penuh di kedua tangannya. Dengan hati-hati dia meletakkan semua barang itu di atas meja makan. Ibu Nia-mamanya Sindy mengikutinya dari belakang. Mereka berdua baru saja pulang dari pasar. Mereka hanya tinggal berdua setelah ayah Sindy tiada saat dia duduk di bangku sekolah dasar. Dia anak tunggal, walaupun begitu ia tidak merasa di manjakan oleh ibunya. Bukan tanpa alasan, ibunya tidak ingin Sindy tumbuh sebagai gadis yang lemah. Dia ingin anak gadisnya itu menjadi seorang yang mandiri dan kuat walaupun kehilangan sosok seorang ayah.
"Baru ada maunya, aja, mau pergi ke pasar, kalau nggak, harus di pukul dulu baru mau gerak" sindir ibu Nia.
Sindy hanya cengengesaan sambil ikut merapikan belanjaan dan memasukkan sayuran serta daging ke dalam kulkas. Kemarin malam, Sindy membujuk ibunya untuk membantu mebuatkan makanan untuk di berikan ke Andre.
"Dulu, kalau papa sakit, mama buat makanan apa?" tanya Sindy antusias.
Ibu Nia menerawang mengingat makanan kesukaan ayahnya dulu. "Papamu suka soto betawi, jadi kalau dia sakit, mama selalu membuatkannya"
"Oh ya, dulu, papa orangnya romantis, nggak?"
"Dia itu orangnya kaku, lebih banyak mama yang membuka pemebicaraan" kenang ibu Nia. Mengingat masa mudanya bersama ayah Sindy membuatnya tersenyum, sekaligus sedih.
"Tapi dia adalah laki-laki yang dewasa, selalu mengalah dan tidak pernah berkata kasar pada mama,.." mata ibu Nia memerah karena berkaca. Wanita itu merindukan sosok suami yang dia cintai.
Melihat raut wajah ibunya, Sindy mendekat lalu memeluknya. Ia juga merindukan ayahnya, sudah lama sekali ia tidak merasakan kasih sayang seorang bapak. Namun, mendengar cerita ibunya, ia tahu betapa beruntung ia memiliki orang tua seperti mereka.
"Aku sayang mama sama papa" ucap Sindy, memeluk ibunya erat.
***
Rendy mengetuk pintu berwarna coklat gelap yang bertulisan 'Andre' itu sambil membawa nampan yang berisi semangkuk bubur ayam dan susu.
"Ndre, gue masuk, ya?"
Andre menoleh mamandangi arah pintu, dan melihat Rendy membawakan makanan untuknya. Saat itu Andre terlihat lebih segar dari sebelumnya. Selama satu minggu Rendy terus mengontrol saudaranya itu agar tidak lupa untuk meminum obat yang di sarankan oleh dokter. Sempat di rawat inap selama tiga hari, pihak dokter menginjikan Andre pulang setelah keadaannya berangsur membaik.
"Makan dulu, baru minum obat!" seperti biasa Rendy menyiapkan obat dan menaruhnya di samping mangkuk agar Andre tidak lupa meminumnya.
"Thanks" ucap Andre, tersenyum lalu menegakkan tubuhnya di sandaran tempat tidur. Ia mengambil mangkuk berisi bubur itu kemudian menyantapnya.
"Badan lo, udah enakan?"
Andre mengangguk seraya mengunyah makanannya. Dia bersyukur memiliki saudara yang begitu peduli terhadapnya.
"Ayah sama Ibu sangat khawatir dengan keadaan lo, mereka ingin ke sini untuk menjenguk" kata Rendy seraya mengambil posisi duduk di samping Andre.
"Perjalanan dari Solo ke Jakarta jauh, Ren, gue nggak mau mereka repot datang kemari"
"Gue ngerti, tadi gue sudah nelepon mereka, ngasi tahu kalau lo udah sehat, jadi mereka nggak perlu khawatir. Dan ibu nitip pesan, supaya lo lebih bisa jaga kesehatan"
Sekedar informasi, di antara kedua saudara kembar itu, Andre memiliki daya tahan tubuh sedikit lebih lemah di banding Rendy, jadi dia mudah sakit seperti saat ini.
"Gue bukannya males ngabarin mereka langsung, gue cuma nggak mau denger ibu nangis" Andre menatap Rendy, mengisyaratkan jika ia tidak ingin membuat orang tua mereka khawatir dengan apa yang terjadi pada dirinya. Rendy mengangguk tanda mengerti.
Rendy menghela nafas kemudian berdiri dari tempat ridur Andre. Ia melihat arloji di tangannya. Sudah jam 8, waktunya untuk berangkat ke kampus.
Namun sebelum ia melangkah, ia teringat akan sesuatu yang harus di sampaikannya pada Andre.
"Nanti siang Sindy bakalan kesini jengukin lo"
Andre tertegun mendengarnya. Bersamaan dengan itu, jantungnya berdetak tak karuan. Mampus. Gadis itu bakalan melihat keadaannya yang lusuh seperti ini.
"Kok, dia tahu gue sakit?"
Rendy nyengir memperlihatkan giginya yang tersusun rapi. Andre mengernyit, ingin rasanya ia melempar saudaranya itu dengan bubur yang ada ditangannya.
"Kemarin dia nelpon gue, terus nanyain lo, kenapa lo ngilang nggak ada kabar"
Andre menurunkan pandangannya. Dia sakit karena tidak bisa tidur selama dua hari di sebabkan ia terus memikirkan kejadian malam itu. Di saat dirinya sedang melamun, Rendy menutup pintu kamar, dia tidak sadar jika saudara kembarnya itu sudah pergi dan berangkat ke kampus.
***
Gadis itu turun dari taxi, dan tidak lupa membayar bill nya. Dengan rambut yang di kuncir ke belakang dan hanya mengenakan jins juga kaos putih lengan panjang serta sepatu snikers kesayangannya membuat ia tampak modis dan cantik. Sindy mendongak memandangi bangunan apartemen di hadapannya itu takjub. Baru kali ini ia punya teman yang tinggal di apartemen mewah seperti itu.
Pandangan matanya terus memperhatikan satu persatu nomor unit yang tertera di depan pintu sepanjang lorong apartemen itu.
Ketemu. Nomor 3020.
Jantungnya mulai berdebar tidak karuan. Dengan ragu ia mengangkat tangannya ke atas untuk menekan bel yang ada di sana. Beberapa kali ia urungkan niatnya untuk menekan bel itu. Seketika keberaniannya menurun tidak seperti sebelum berada di tempat itu. Setelah megumpulkan keberanian, akhirnya jari telunjukknya menekan bel itu.
Detak jantungnya seketika naik saat suara gagang pintu terbuka. Sosok laki-laki dengan rambut yang sedikit acak-acakan muncul dari balik pintu. Matanya membulat, nafasnya tercekat, dia benar-benar hilang kendali sekarang.
"H..Hai" sapanya singkat dengan senyumannya yang kaku.
Ya, Tuhan. Kenapa dalam keadaan kucelpun dia terlilhat ganteng, sih? Katanya dalam hati.
"Hai, Sin" balas Andre, tersenyum lebar menyambut kedatangan Sindy.
Sindy dan Andre memasuki ruangan tengah yang langsung bertemu dengan dapur. Ada meja makan, TV serta sofa. Sangat minimalis dan rapi juga bersih untuk ukuran tempat tinggal laki-laki. Dibandingkan dengan kamar Sindy yang bagiakan kapal pecah.
Beda banget sama kamar gue, pantesan mama selalu ngamuk. Bantinnya berucap.
Andre mempersilahkan Sindy duduk di sofa. Gadis itu memandangi setiap bagian apartemen itu. Ada aquarium kecil di sebelah TV dan juga ada beberapa photo yang tertata rapi di atas meja.
"Mau minum apa?" tanya Andre tiba-tiba.
Sindy tersdar, lalu mengalihkan pandangannya pada Andre. "Nggak usah repot-repot, gue belum haus" jawabnya kikuk.
"Lo adalah tamu, jadi gue harus melayani lo sebaik mungkin" balas Andre, melangkah menuju dapur mengambil minuman dingin dari kulkas. Jus melon yang selalu ia beli setiap pergi ke swalayan dekat apartemen.
Sindy dan Andre hanya terpaku dalam diam. Tak ada yang berani membuka percakapan. Dan pada akhirnya mereka bersuara di waktu yang bersamaan.
"Lo, duluan aja"
Sindy mempersilahkan Andre berbicara lebih dulu.
"Maaf, atas kejadian malam itu. Gue nggak bermaksud mempermainkan perasaan lo, Sin"
"Lo nggak perlu minta maaf, kok, karena gue nggak marah sama sekali, dan gue nggak berpikir kalau lo mempermainkan perasaan gue"
Andre diam, pandangannya ke bawah. Tak berani menatap gadis itu lama-lama.
"Gue,..emang suka sama lo, bagi gue, lo beda sama kebanyakan cewek yang pernah gue kenal. Kita memang baru satu bulan saling mengenal, tapi entah kenapa, di saat lo ketawa, gue ngerasa senang banget. Gue nyaman aja saat ngobrol bareng lo"
Sindy tertegun mendengar ucapan laki-laki itu. Baru kali ini ada orang lain memuji dirinya selain dirinya sendiri.
"Dan..maaf kalau gue ga ngabarin lo, gue nggak ada bermaksud menghindar dari lo. Gue cuma nggak mau orang-orang khawatir tentang gue"
"Iya, gue ngerti kok, dan gue nggak mempermasalahkan hal itu" jawab Sindy, menatap lekat Andre yang duduk di sebelahnya.
Tiba-tiba Andre menyentuh tangan Sindy dan menggenggamnya. Sindy sontak kaget dan matanya membulat. Lagi dan lagi detak jantungnya berdebar hebat. Sentuhan tangan laki-laki itu begitu hangat. Seketika udara di sekitarnya menipis membuat ia kesulitan bernafas.
"Sin...lo mau nggak jadi...cewek gue?"
Bagai petir di siang bolong. Ia semakin sesak nafas sekarang, saat mata coklat itu menatap lekat dirinya. Siapapun, tolong berikan dia oksigen sekarang.
"I, iya, gue...mau jadi cewek lo"
Andre tak percaya dengan jawaban gadis itu. Saking senangnya, ia memeluk gadis itu erat.
Jantung Sindy berdebar semakin tak karuan. Baru kali ini dalam hidupnya di peluk oleh seorang laki-laki selain ayahnya. Ada rasa senang dan bahagia. Sedikit ragu dan kikuk, Sindy membalas pelukan Andre, lalu tersenyum lebar.