"Waah, aku gak nyangka kalian pindah ke Jakarta"
Gadis bermata sipit dengan tinggi 160 cm itu mengitari seluruh ruangan, memandangi setiap isi apartemen. Mulai dari photo-photo yang tertata rapi di atas nakas dan lukisan abrastrak di dinding.
Gadis itu bernama Sisi Amelia, teman masa kecil Rendy dan Andre. Ia memutuskan untuk melanjutkan study nya di Australia jurusan Designer, menjadi Designer teranama adalah impiannya. Namun tiba-tiba hari ini ia datang tanpa memberikan kabar sebelumnya.
Sisi mengehentikan aktifitasnya menjelajahi ruangan itu. Ia memutar tubuhnya ke belakang, tepat ke arah Rendy yang sedang duduk di sofa.
"Oh ya, dari tadi aku gak lihat Andre, kemana dia?" tanya Sisi seraya mencari sosok Andre dengan matanya.
"Dia lagi pergi ke rumah temennya" jawab Rendy dengan nada yang terkesan tak peduli.
Sisi mengangguk paham lalu melangkah ke arah sofa dan duduk di samping Rendy.
"Oh, aku hampir lupa," seru gadis itu tiba-tiba seraya menggeret koper yang di samping sofa "Aku beliin kalian oleh-oleh, lho"
Rendy hanya memperhatikan Sisi yang sibuk mencari oleh-oleh yang ia maksud di dalam koper. Ia tak ada niatan untuk membantu gadis itu. Entahlah, dia sedang tidak bersemangat atau ia tidak nyaman dengan kehadiran Sisi yang secara tiba-tiba itu.
"Ketemu!"
Sisi mengeluarkan dua bingkisan dari kopernya. Bingkisan itu berbeda warna, yang ada di tangan kanannya berwarna biru dan sebelah kirinya warna orange. Sisi meletakkan bingkisan berwarna biru itu di atas meja, kemudian yang warna orange ia berikan pada Rendy.
"Isinya apa?" tanya Rendy seraya menimbang bingkisan itu. Enteng sekali.
"Di buka, dong"
Rendy perlahan membuka bingkisan itu. Di dalamnya ada sebuah kotak berwarna hitam yang tampak mewah. Setelah itu ia membuka kotaknya dan ternyata isinya adalah jam tangan bermerek, jika di lihat dari designnya saja sudah di pastikan harganya pasti mahal.
"Gimana? Suka gak? Aku beliin kamu itu, karena aku tahu kamu suka ngoleksi jam"
Sindy tersenyum, matanya membentuk bulan sabit, sungguh manis.
"Thanks ya" ucap Rendy, mengangkat matanya menatap Sisi. "Sebenernya kamu gak usah repot-repot bawa oleh-oleh untuk kami"
Sisi menggeleng pelan, "Itu atas kemauan aku sendiri, jadi gak repot sama sekali, kok".
"Kapan acara peresmian butik baru kamu?" tanya Rendy yang masih memegang kotak yang berisi jam mewah itu.
Setelah kedatangannya yang tiba-tiba itu, Sisi telah menceritakan alasannya cuti kuliah dan apa saja rencananya di indonesia selama tiga bulan kedepan. Salah satunya yaiut, peresmian butik yang baru ia buka di daerah Jakarta. Ia memulai bisnis itu sejak satu tahun yang lalu bersama salah seorang temannya yang juga merupakan teman sekelasnya di Australia.
"Minggu depan… dan aku berharap kamu bisa datang"
Rendy mengernyit, ia heran, kenapa gadis itu mengharapkannya untuk datang. Bukankah, dulu gadis itu sama sekali tidak mengharapkannya. Batin Rendy berseru saat mengingat masa lalunya bersama gadis yang duduk di sampingnya.
Sebelah ujung bibir laki-laki itu terangkat, ia mendengus samar. sementara Sisi masih menunggu jawaban darinya.
"Akan aku pikirkan"
Jawaban yang singkat namun berhasil membuat raut wajah Sisi berubah. Yang tadinya ia bersemangat bahwa yakin kalau Rendy bisa datang, kini bahunya turun, kecewa mendengar jawaban laki-laki itu.
Tepat setelah Rendy mengatakan itu, suara pintu terbuka berbunyi. Andre muncul dari balik pintu. Ia membuka sepatunya kemudian meletakannya ke dalam rak yang ada sebelah kanan pintu masuk. Saat akan melangkah masuk, ia melihat sepatu high heels. Baru kali ini ada tamu wanita bertandang ke apartemennya selain Sindy.
Saat melewati dapur, ia melihat lampu ruang tengah menyala. "Ren, lo belum ti…"
Ucapannya terhenti saat Sisi muncul dari balik pembatas pilar ruang tengah seraya berseru "Hai, Andre, long time no see"
Matanya seketika membulat sempurna, ia sangat terkejut dengan kehadiran Sisi yang secara tiba-tiba, sama seperti reaksi Rendy di awal.
"Lo, kok bisa ada di sini?" tanya Andre yang masih tidak percaya.
"Surprise Juli!" jawab Sisi dengan tersenyum lebar.
Sementara itu Andre hanya diam tanpa ikut berkomentar.
Setelah sisi menceritakan maksud kepulangannya yang mendadak pada Andre, mereka saling menanyakan kabar masing-masing dan melepas rindu setelah empat tahun lamanya tidak bertemu. Andre tampak senang dengan kedatangan Sisi. Tapi tidak dengan Rendy. Ia hanya memperhatikan keduanya yang sedang tertawa lepas saat Sisi menceritakan keajdian-kejadian lucu selama berada di Australia dengan tatapan nanar.
***
Sindy senyum-senyum saat mengingat kejadian malam itu. Saat di mana Andre memeluknya, menemaninya sampai larut malam, dan yang membuat wajahnya bersemu merah ketika Andre menciumnya. Ia menutup wajahnya saking malu jika mengingat hal itu. Saat itu ia begitu takut, tapi Andre membuatnya tenang dan tidak merasakan ketakutan apapun.
"Sindy, lo kenapa, sih, senyum-senyum kaya gitu" Dita menggoyangkan pundak Sindy. Ia menatap gadis di seberangnya itu takut. Jangan-jangan anak itu kesurupan. Batin Dita.
Sindy sadar, kemudian menoleh pada Dita. Ia mengusap wajahnya lalu memperbaiki posisi duduknya.
"Lo kenapa, sih?"
"Eng, gue gak kenapa-napa kok" jawab Sindy gelagapan.
"Ayo ngaku, lo habis ngapain sama Andre?" goda Dita dengan menyikut lengan Sindy.
"Apaan, sih, pikiran lo aneh-aneh aja, deh"
"Habis, lo senyum-senyum kaya gitu. Mana muka lo merah lagi"
"Masa sih?" Sindy mengusa-usap wajahnya.
Hari itu Dita mampir ke cafe tempat Sindy bekerja, beruntung cafe sedang lengang jadi mereka bisa ngobrol santai sambil minum coffe late.
"Oh ya… lo udah coba hubungi Rendy?"
Seketika raut wajah Sindy berubah murubah menjadi murung. Mengingat nama itu membuat hatinya sedih. Sebelum menanggapi pertanyaan Dita ia mengembuskan nafas pelan seraya mengalihkan pandangannya ke luar jendela cafe menuju bangunan aprtemen yang ada di seberang jalan raya.
"Kenapa?" tanya Dita lagi, saat meyadari perubahan pada raut wajah Sindy.
Sindy melempar pandangannya ke bawah. Dita semakin penasaran dan cemas.
"Kemarin gue ketemu sama Rendy, dan…" ucap Dita menggantungkan ceritanya.
Dita memajukan tubuhnya, ia penasaran akan kelanjutan cerita gadis itu.
"Dia marah besar sama gue, dia sama sekali gak mau bicara apapun saat itu. Saat dia ngebentak gue, hati gue rasanya sakit, Dit" Sindy melanjutkan ceritanya dengan suara yang terdengar bergetar menahan tangis.
Dita yang mendengarnya syok, dan masih menanti kelanjutan cerita yang akan keluar dari mulut Sindy.
"Sebenernya, gue pengen minta maaf sama dia, dari gue yang gak pernah bales chatnya sampai ngerahasiain hubungan gue dengan Andre"
Dita turut merasa sedih. Ia hanya mengucapkan kata "sabar" sambil menenangkan Sindy dengan mengusap bahunya. Sebagai sahabat, ia hanya bisa memberikan semangat tanpa berani ikut campur ke dalam masalah di antara mereka.
Sindy menunduk lesu. Ia tidak tahu apa yang harus di lakukannya agar Rendy mau mendengarkannya barang sedetik saja. Ia bahkan berpikir apakah kesalahannya begitu besar hingga membuat laki-laki itu membencinya.
***
Sisi melihat arloji yang terpatri cantik di pergelangan tangannya. Matanya terus mencari sosok yang sedang ia tunggu. Sepuluh menit ia sudah menunggu kedatangan orang itu.
Akhirnya selang beberapa menit kemudian sosok laki-laki muncul dari arah kerumunan pengunjung mall, kedua sudut bibirnya terangkat membentuk sebuah senyuman manis.
Rendy, laki-laki itu melangkah lebar ke arah Sisi. Penampilannya malam itu sangat tampan tak salah Sisi mengagumi perubahan yang terjadi pada teman masa kecilnya itu. Ralat--mantan--lebih tepatnya.
"Sorry, tadi aku harus mampir ke toko buku, ada buku yang harus di beli"
Sisi menggeleng pelan "Santai aja, gak apa-apa, kok"
Rendy duduk di tempat yang sudah di sediakan Sisi sebelumnya. Mereka janjian di sebuah restoran yang ada di dalam mall besar di daerah Jakarta. Hanya empat puluh menit dari unit apertemen Rendy.
"Lo mau pesen apa?" tanya Sisi menawarkan buku menu pada Rendy.
Setelah Rendy menentukan pesananya, Sisi memanggil seorang pelayan dan memesan makanan yang telah mereka tentukan.
Saat pelayan itu pergi, suasana jadi hening seketika. Sisi tampak kikuk, sementara Rendy sibuk memperhatikan keseliling restoran. Pengunjung tempat itu cukup ramai.
"Hmm, Ren, aku boleh nanya sesuatu gak?"
Rendy melemparkan pandangannya pada Sisi. "Nanya apa?"
"Sekarang ini, ada cewek yang kamu suka, gak?" tanya Sisi dengan nada hati-hati.
Rendy mengernyit heran. Pertanyaan macam apa itu, pantaskan bertanya hal pribadi seperti itu pada orang lain.
"Kalau aku bilang ada, urusannya denganmu apa?" Rendy balik bertanya dengan nada dingin. Tatapan tajamnya menusuk tepat ke dalam bola mata hitam gadis itu.
Sisi terpaku. Ia terkejut dengan sikap Rendy yang begitu dingin padanya. Apakah ia belum memaafkannya setelah kejadian itu? Sisi membatin.
"E, aku hanya.. Ingin tahu, tidak ada maksud apa-apa"
"Lebih baik simpan rasa ingin tahumu itu, karena ada atau tidaknya orang yang aku sukai, bukan urusanmu"
Mata sindy membulat, kata-kata yang terlontar dari mulut Rendy menusuk hatinya bagaikan panah beracun.
"Kamu masih marah sama aku, atas kejadian itu?"
"Kalau kamu hanya ingin membicarakan tentang itu, maaf, aku harus balik ke apartemen"
Sisi menahan lengan Andre yang beranjak dari kursi.
"Rendy, tunggu, aku gak ada maksud membahas tentang itu"
Laki-laki itu menatap Sindy dengan tatapan yang penuh kebencian. Mengingat kejadian empat tahun yang lalu itu membuat ia semakin marah. Ia menepis tangan Sisi yang berusaha menahannya lalu beranjak pergi meinggalkan Sisi yang terpaku sambil menahan air mata.