Chereads / Sweet Eighteen / Chapter 9 - Ketenangan

Chapter 9 - Ketenangan

Sepulangnya mengantarkan pesanan ke apartemen Rendy, wajah gadis itu murung seharian. Dia tidak bisa fokus bekerja, hatinya sakit melihat perubahan sikap Rendy. Beberapa kali ia salah menghitung uang kembalian konsumen, menjatuhkan minuman, dan juga tidak sengaja menyenggol pegawai lain yang sedang mengantarkan pesanan. Beruntung makanan yang di bawa tidak jatuh dan pegawai itu menahannya dengan baik. Salah satu pegawai melihatnya khawatir. Rekan kerjanya yang bernama Mira mendekati Sindy yang terduduk lesu di bangku kasir.

"Sindy, lo nggak apa-apa? Dari tadi lo ngelamun terus" tanyanya khawatir seraya memegang pundak Sindy.

Sindy menegakkan tubuhnya, menoleh Mira dengan senyum yang terkesan memaksa. Dia menggeleng memberi tanda bahwa dia baik-baik saja.

"Maaf gue bikin kerjaan jadi kacau"

"Kalau gak enak badan, mending lo istirahat" ucap Mira dengan mimik wajah khawatir.

"Gak apa-apa, cuma sedikit kecapekan karena lagi haid" Sindy beralasan.

Gadis itu berdiri, menghadap Mira, kemudian meyakinkannya bahwa dia dalam keadaan baik-baik saja. Gadis berambut pendek itu mengangguk mengerti, dan melanjutkan pekerjaannya.

Sindy harus profesional dalam bekerja, dia harus bisa menyisihkan masalah pribadinya saat kerja. Gadis itu mengembuskan nafas dalam, memantapkan dirinya agar tetap fokus dan menyelesaikan tugasnya hari ini dengan baik.

***

Andre menyusuri lorong kelas dengan langkah tergesa, lima menit lagi mata kuliah komunikasi akan di mulai. Saat ia melihat arloji di tangannya, tiba-tiba seorang gadis muncul dari arah berlawanan, tabrakan pun tak terelakan. Keduanya tersungkur ke lantai. Kaca mata gadis itu terpental tak jauh darinya.

"Yola, lo gak apa-apa? Sorry, gue lagi buru-buru, jadi gak liat jalan" kata Andre merasa bersalah. Dia bangkit, membantu merapikan buku Yola yang berserakan.

Sambil meringis, gadis itu mencari kaca matanya yang terhempas. Dia hampir tidak bisaa melihat sekitarnya di karenakan penglihatannya yang rabun. Namun ia bisa mengenal jelas pemilik suara berat itu.

Andre yang melihat kaca mata Yola yang tak jauh darinya, langsung mengambil benda itu, kemudian membantu memakaikannya.

Akhirnya penglihatan Yola terlihat jelas, ia langsung mengambil buku yang sudah di rapikan Andre dan berterima kasih. Tidak bisa di pungkiri, melihat wajah laki-laki yang di sukainya dengan jarak sedekat ini membuat dadanya berdegup tak karuan.

"Ma, maaf, gu, gue tadi juga lagi buru-buru" seketika ia gagap.

"Sorry ya, sekarang gue harus cepat masuk kelas" Andre berdiri, mengulurkan tangannya untuk membantu Yola berdiri.

Yola tertegun, dengan ragu ia meraih tangan Andre. Dalam hati ia memastikan bahwa ini bukan mimpi, ini nyata. Hatinya semakin tak karuan saat tangan lelaki itu menariknya, membantunya berdiri.

"Terima kasih" gumamnya pelan, malu untuk menatap wajah laki-laki itu.

"Gue ke kelas dulu ya".

Setelah mengatakan itu, Andre bergegas menuju kelas karena ia melihat Dosen sudah masuk dan siap memulai perkuliahan.

Yola mengiyakan, menatap punggung Andre itu yang semakin menjauh. Ia kegirangan, menahan diri untuk tidak berteriak. Gadis berkaca mata tebal itu pun pergi menuju kelas dengan menari-nari.

Sore itu hujan turun deras di luar. Suara petir datang susul menyusul, angin kencang bersiur, meskipun di dalam cafe temperatur pendingin sudah di turunkan udara terasa dingin. Hari ini Sindy minta izin pulang satu jam lebih awal karena perutnya terasa nyeri, haid pertamanya bulan ini.

Tiga puluh menit menunggu, sebuah mobil jazz muncul dari pengkolan jalan raya menuju parkiran. Dari balik dinding kaca cafe, Sindy tersenyum tipis melihat Andre sudah datang menjemputnya. Dia menyambut kedatangan Andre di depan pintu masuk cafe, mendekat, lalu berjalan berbarengan menuju mobil. Andre datang membawa payung mengantarkan Sindy menuju kemudi sebelah kiri, setelah gadis itu memasuki mobil ia berlari menuju bangku kemudi.

Meskipun Andre tidak menyalakan pendingin mobil, Sindy merasa kedinginan sehingga meraptkan sweater yang dikenakannya.

"Kamu sakit?" Andre melemparkan padangannya ke arah Sindy memastikan keadaan kekasihnya itu.

"Dari tadi siang badanku gak enak, mungkin karena efek datang bulan" jawab Sindy lemas seraya merebahkan pelanya ke senderan kursi.

Andre khawatir kemudian menempelkan punggung tangan kirinya ke jidat Sindy. Suhu tubuh gadis di sampingnya hangat.

"Sampai rumah, habis makan kamu minum obat, ya, setelah itu langsung istirahat. Jangan begadang" ucap Rendy lembut.

Sindy memiringkan kepalanya ke arah Andre, tersenyum, lalu mengangguk. Dia sangat senang, selain ibunya ada orang lain yang memperhatikannya. Tentu saja, karena Andre adalah pacaranya, sudah pasti khawatir jika orang yang di sayanginya sakit. Batinnya berkata.

Setibanya di rumah Sindy, keadaan lampu ruang tengah mati. Dia baru ingat kalau hari ini ibunya menginap di rumah neneknya karena ada pertemuan keluarga. Sindy tidak bisa ikut hadir sebab pekerjaan di cafe tidak bisa ia tinggalkan.

"Mama kamu kemana?"

"Mama hari ini ada pertemuan keluarga di rumah nenek dan sekalian nginep di sana" jawab Sindy seraya menghidupkan lampu tengah. Andre mengikutinya dari belakang.

"Aku mau mandi, kamu tunggu di sini dulu, ya" dengan langkah gontai Sindy berjalan menuju kamar untuk mengambil handuk dan baju ganti sekalian meletakkan tasnya.

Andre mengiyakan. Pandangannya mengitari seisi ruangan, ini pertama kalinya ia masuk ke dalam rumah itu, selama hampir satu bulan mereka jadian. Kesibukan masing-masing lah yang membuat Andre tidak bisa mampir. Keadaanya rumah itu nyaman, semua perabotan tertata sesui tempatnya. Photo-photo masa kecil Sindy juga berjejer rapi juga lukisan pedesaan menggantung di tembok ruangan.

Laki-laki itu berdiri menghampiri deretan photo masa kecil Sindy yang tertawa lepas. Begitu lucu dengan pipi yang menggemaskan. Pandangannya beralih melihat photo orang tua Sindy yang mengenakan kostum pernikahan adat jawa.

Beberapa saat kemudian, Sindy keluar dari kamar mandi dengan handuk yang melilit di atas kepalanya. Andre menoleh ke arah Sindy, tepat saat itu juga ia sedang melihat komik yang tergeletak di atas nakas.

"Maaf, nunggu lama"

Sindy melepas lingkaran handuknya seraya berjalan ke ruang tengah. Rambutnya yang setengah kering ia biarkan, sudah kebiasaannya tidak mengeringkan rambut setelah keramas.

"Badan kamu lagi hangat, kalau kamu biarkan basah kaya gitu, nanti kepala kamu pusing, sayang" kata Andre lembut.

"Nanti aja, lagi males" balas Sindy dengan suara yang sedikit bindeng.

"Suara kamu aja udah kaya gitu, sini aku yang keringin. Ambil hairdryer nya"

Andre gemas, menuntup komik dan meletakknya di atas nakas. Dia beranjak ke tempat duduk Sindy.

Laki-laki itu duduk di sebelah Sindy, menghimpitnya dan menatap tajam gadis itu. Merasa terintimidasi, Sindy menyerah, dan segera mengambil pengering rambut yang ada di kamarnya.

Setelah keluar dari kamar dengan membawa hairdryer, Andre tersenyum puas melihat wajah cemberut kekasihnya.

Dengan telaten Andre mengeringkan rambut panjang Sindy. Aroma shampoo yang manis membuat Andre senang mencium baunya. Sindy merasa lebih baik sekarang, namun hidungnya mulai terasa tidak enak. Sepertinya dia terkena flu.

Setelah kering Andre menekan tombol off pada hairdryer, meletakkannya di atas meja dekat sofa.

Saat Sindy akan membalikkan badan dan ingin mengucapkan terima kasih, tiba-tiba Andre memeluknya dari belakang dengan posisi mereka yang masih duduk. Sindy terkejut, kedua tangan laki-laki itu melingkar di pinggangnya. Sekarang ia tak tahu harus melakukan apa selain mematung.

Suara lembut Andre terdengar jelas di kupingnya. "I Love You"

Dadanya berdebar tak karuan. Matanya mengerjap, apakah ia harus membalas perkataan Andre?

Aroma tubuh khas laki-laki itu tercium jelas, aroma pafrumnya begitu lembut. Ia sangat suka tipe parfum yang seperti itu.

Andre menopangkan dagunya di bahu Sindy "Kok diem?"

Sindy berusaha bersikap santai "Hm..?"

"Ya udah, aku pulang sekarang, ya" katanya dengan nada malas.

Saat Andre melepaskan pelukannya, Sindy merasa kecewa. Sebenarnya dia berharap Andre memeluknya lebih lama lagi. Tapi karena masih kaku jadi ia bingung harus bagaimana.

Sindy membalikkan badannya, menahan tangan Andre yang hendak berdiri dari sofa.

"A, hm, maaf, aku masih terlalu kaku, aku belum pernah berpacaran sebelumnya"

Kepolosan Sindy membuat Andre semakin gemas. Laki-laki itu menghadap Sindy, mengelus pipinya dan kemudian wajahnya mendekat membuat gadis di hadapnnya sedikit memundurkan tubuhnya. Andre terhenti, menyadari Sindy yang terkejut dan tampak gugup. Bola mata berwarna coklat itu menatap dalam Sindy. Perlahan ia mencium lembut bibir merah gadis itu. Sementara Sindy tak bisa menghindar, tubuhnya kaku. Melalui ciuman itu Andre ingin memberikan ketenangan untuk Sindy.

Perlahan tubuh yang tadinya kaku mulai rilex, sentuhan lembut bibir laki-laki itu mengusir rasa takutnya.

***

Rendy melirik jam tangannnya, sudah pukul sepuluh malam. Andre belum juga pulang. Dia berusaha menepis pikiran-pikiran jelek yang ada di kepalanya. Tidak ada salahnya jika pasangan kekasih sedang berduaan sekarang, bukan ranahnya untuk melarang, bukan. Tapi kenapa ada yang mengganjal di hatinya. Cemburu? Bodoh!

Ketika hendak mematikan TV suara bel bunyi. Ia mengernyit, kenapa Andre harus menekan bel kalau mau masuk. Dia kan, tahu password apartemen.

Rendy beranjak dari sofa saat suara bel ketiga berbunyi. Tanpa melihat siapa yang datang dari intercom, ia membuka pintu. Dia terkejut saat melihat seorang perempuan berdiri di depan pintu. Matanya membulat tidak percaya.

"Hai, Rendy! Apa kabar?"

Suara nyaring gadis itu menyadarkan Rendy dari keterkejutannya.