Rendy memasuki ruang tengah apartemen, lampu menyala. Di depan televisi tampak Andre duduk menyilangkan kaki di atas sofa, bermain game yang sedang di gemarinya. Rendy mengembuskan nafas perlahan, berjalan mendekat dan berusaha bersikap biasa saja.
"Lo udah makan?" katanya seraya duduk di sebelah Andre.
"Gue nungguin lo pulang" jawab Andre tanpa mengalihkan perhatiannya dari game.
Rendy menatap saudara kembarnya, kembali teringat percakapannya beberapa waktu yang lalu bersama Dita. Rasa kesal yang sempat menyelimutinya kini berangsur menghilang, bukan haknya untuk marah atas keputusan hidup kakaknya. Dengan siapa dia berteman, pacaran, itu sepenuhnya pilihan Andre, bukan dirinya.
"Gue bawa makanan, tadi di jalan kebetulan nemu orang berjualan sate ayam yang kata Rino, itu enak banget"
Andre mengangguk, dia terlalu fokus menyelesaikan game. Rendy mengerti kemudian berdiri, meninggalkan ruang Televisi menuju dapur.
***
Sindy menghampiri pengunjung yang memanggil untuk memesan makanan, hari itu hanya ada dia dan dua orang pegawai. Dua orang lainnya sibuk mengantar pesanan ke setiap meja sesuai dengan nomor pesanan. Sindy yang tadinya sibuk di meja kasir terpaksa harus turun untuk melayani. Jam makan siang, di mana para pekerja di sekitar cafe berkunjung untuk melepas dahaga selepas berkutat dengan pekerjaan masing-masing. Tak sedikit para pelajar juga mengunjungi cafe itu, sekedar untuk nongkrong bersama teman. Design cafe yang minimalis membuat banyak orang sangat nyaman berada di dalamnya, music jazz menagalun lembut, mampu mengusir penat yang ada di kepala.
"Saya pesan coffee late dan juga pancake" ucap salah seorang pengunjung wanita.
"Saya juga sama" di ikuti oleh pria yang datang bersamanya.
Sindy mencatat dengan cepat lalu permisi untuk pergi menyiapakan pesanan.
Akhirnya sore pun tiba, suasana cafe tidak seramai tadi siang, para pegawai tampak sedikit lebih santai, hanya beberapa orang yang berkunjung. Hari itu malam minggu, para pasangan muda menghabiskan waktu di cafe, sekedar ngobrol sambil menikmati hidangan manis.
Sindy sibuk membereskan pekerjaannya, ketika handphone nya bergetar gadis itu dengan cepat merogoh saku celananya. Ada pesan dari Andre, dia tersenyum, meletakkan kembali benda itu dan melanjutkan kembali pekerjaannya yang sedikit lagi selesai.
Izin pulang lebih dulu di dapatkan oleh Sindy, masih 30 menit untuk membersihkan diri dan memoles wajahnya agar terlihat cantik. Beruntung cafe itu memiliki kamar mandi khusus untuk wanita yang jika pulang kemalaman bisa mandi dengan nyaman karena tempatnya yang bersih, juga di lengkapi dengan kamar ganti yang cukup luas. Jadi dia tidak harus pulang ke rumah dulu untuk bersiap.
Andre sudah menunggu Sindy di parkiran cafe, ini malam minggu pertamanya setelah resmi jadian minggu lalu. Dia memperhatikan cafe itu dari dalam mobil, jarak dari apartemennya sangat dekat, tepat di seberang jalan. Selang beberapa menit, Sindy mucul dari bilik pintu, Andre tersenyum.
Penampilan gadis itu kini berbeda dari biasanya yang hanya mengenakan T-shirt dan jins. Sindy pertama kalinya mengenakan dress, dia terlihat manis dengan perpaduan cardigan warna pastel. Rambutnya di biarkan terurai. Sesuai yang di pilihan Dita untuknya.
"Kenapa kamu melihatku terus?"
Andre tersenyum. "Kamu cantik dengan pakaian itu"
Wajah Sindy merah merona. Baru kali ini ada orang yang memujinya cantik.
Setelah satu jam perjalanan, akhirnya mereka sampai di sebuah pantai. Deburan ombak terdengar menenangkan. Jiwa yang sedang kalut jika mendengarnya pasti akan sedikit lebih tenang.
Lampu mercusuar berkedip di atas sana. Aroma pantai yang gadis itu sukai. Ya, dia suka pantai. Saat SD Sindy selalu di ajak ke pantai oleh ibunya berlibur. Sejak Sindy SMP ibunya sudah sibuk dengan usahanya, dan tidak pernah lagi mengunjungi pantai setiap libur sekolah.
Sindy membentangkan kedua tangannya, membiarkan angin pantai menyapu bersih wajahnya. Dia menghirup aroma laut yang ia rindukan. Membuat pikiran menjadi tenang.
"Sesuai perkiraanku, kamu pasti senang aku ajak ke sini"
Sindy menoleh, tersenyum lebar. Dia menurunkan tangannya di manghadap Andre yang berdiri di sebelahnya.
"Terima kasih" ucapnya dengan perasaan bahagia.
Andre meraih kedua tangan Sindy, menggenggamnya hangat. Menatap kedua mata gadis itu dalam, tinggi yang menjulang membuat Sindy harus sedikit mengangkat kepalanya.
"Selama ini, aku sangat ingin sekali mengajak orang yang aku cintai ke pantai ini, dan hari ini kamu orang pertama yang aku ajak ke tempat ini"
Sindy mengerjap, dadanya berdegup tak karuan. Suara deburan ombak memenuhi pendengarannya, namun masih mampu mendengar ucapan laku-laki itu.
Suara music yang berasal dari cafe yang ada di pesisir pantai, menambah suasana semakin romantis. Sindy dan Andre duduk di bibir pantai. Mereka tidak ingin hanya memandangi laut malam dari jauh, keduanya ingin merasakan langsung pasir pantai yang lembut.
"Selama aku mengenalmu, aku tidak tahu soal keluargamu, yang aku tahu kamu hanya tinggal bersama ibumu"
Sindy menatap bawah, mendengar perkataan Andre, dia baru sadar jika selama ini mereka belum saling mengenal lebih jauh. Dia melirik Andre sekilas lalu melemparkan pandangannya ke laut. Dia tersenyum tak keberatan sama sekali menceritakan kisah keluarganya.
"Ayahku meninggal saat aku baru menginjak kelas satu SD, mamaku begitu kehilangan, namun dia tidak patah semangat mengurusku sampai aku sebesar ini. Beliau adalah ibu yang kuat, tak sedikitpun aku melihatnya menangis ataupun mengeluh," Sindy menjelaskan. "Walaupun mama selalu ngomel, tapi aku sama sekali tidak marah ataupun kesal, aku tahu belau menyayangiku meskipun anaknya ini pemalas" Sindy terkekeh menceritakan dirinya yang selalu membuat ibunya marah.
Andre sesekali tertawa dengan cerita Sindy. Hembusan angin menerbangakan rambut gadis di sampingnya. Tangan kanannya menyelpikan rambut Sandy di antara sela kupingnya. Gadis itu menydari, menoleh padanya lalu tersenyum.
"Kalau kamu?"
Andre menoleh, berpikir sejenak, lalu kembali menatap laut. Dia mengembuskan nafas pelan, kemudian menceritakan tentang keluarganya.
"Papa dan mama tinggal di solo, mereka sibuk dengan usaha yang sudah mereka rintis dari aku masih kecil," Rendy menjelaskan "Aku dan Rendy hanya bertemu dengan mereka di waktu makan malam, karena paginya papa dan mama harus berangkat lebih awal dari para karyawannya. Tapi aku ngerti, orang tua kami berkerja untuk anak-anaknya".
Sandy kagum dengan kedewasaan laki-laki di sebelahnya itu, tak banyak anak yang mengerti kenapa dan untuk apa orang tua mereka banting tulang siang hingga malam. Beberapa anak mungkin akan mengira jika orang tuanya tidak memperhatikan mereka, selalu di tinggal dan hanya memberi uang saku untuk membeli makanan.
Sindy tersadar dari lamunannya ketika hentakan jari Andre mendarat di jidatnya. Dia meringis, Andre hanya tertawa.
Sambil mengusap jidatnya, Sandy teringat akan sesuatu. Ya, gadis yang dia lihat di kolom komentar Andre. Sebenarnya sudah dari beberapa hari yang lalu dia ingin menananyakan itu, namun karena kesibukannya di cafe membuat Sindy mengurungkan niatnya.
"Aku ingin menananyakan sesuatu ke kamu"
"Nanya apa?"
"Sisi Amelia itu siapa?"
Andre mengernyit, bingung dengan pertanyaan Sindy.
"Maksudnya?"
Sindy memutar bola mata nya, mendengus, lalu menatap tajam Andre. Laku-laku itu semakin tidak mengerti maksud gadis itu.
"Aku lihat, kamu sama cewek itu akrab banget saling balas komen di IG" suara nyaring Sindy tak kalah dengan suara deburan ombak yang hanya beberapa meter dari tempat mereka duduk.
Mendengar itu, Andre akhirnya paham maksud pembicaraan Sindy. Dia tahu gadis di sampingnya sedang cemburu dengannya.
Andre menyeringai lalu berinsiatif menggoda Sindy.
"Kamu cemburu?"
"Ng… aku nggak cemburu, aku cuma nanya aja," bantah Sindy. Anak kecil juga tahu kalau dia sedang cemburu sekarang "Jawab aja, cewek itu siapa?"
"Sisi itu tetangga aku di Solo, dan kami besahabat sejak TK" Rendy menerangkan "Kamu tahu, dia adalah mantan Rendy"
Sindy diam, sedetik kemudian bibirnya mengerucut. "Tapi kok, dia panggil kamu Juli?" tanyanya penasaran.
"Juli itu bagian dari nama panjangku 'Andre Julian Atmaja', dia selalu memanggilku Juli sementara Rendy dengan panggilan Lian"
Sindy menunduk seraya memainkan pasir di bawah kakinya. Dia baru tahu jika Andre memiliki sahabat wanita, mempunyai nama panggilan khusus, betapa dekatnya mereka. Rasa tidak suka muncul di hatinya.
"Hei, kamu kenapa? Kamu masih cemburu?"
Andre menundukkan kepalanya, mencoba melihat wajah Sindy yang menunduk. Saat akan menyibak rambut gadis itu, angin yang sedang berhembus menerbangkan pasir yang di maninkan SIndy, dan sekarang beberapa pasri masuk ke dalam mata. Sontak Andre meringis, dan mengucek matanya. Sindy yang menyadarinya langsung panik.
"Kamu kenapa?" tanya Sindy, memegang bahu Andre.
"Ada pasir yang masuk ke mataku"
Andre terus mengucek matanya. Sindy berusaha mencari cara agar benda kecil itu keluar dari mata laki-laki di sampingnya.
"Jangan di kucek, nanti mata kamu iritasi" Sindy menahan kedua tangan Andre agar tidak mengucek matanya terlalu lama.
"Sini, biar aku tiup"
Andre menurunkan tangannya, berusaha membuka mata namun susah. Sindy menconongkan tubuhnya, bersiap meniup pasir yang mengganggu mata laki-laki itu.
Kini wajah mereka hanya berjarak satu meter. Andre sudah tidak merasakan butiran pasir itu di matanya. Saat matanya melihat dengan jelas wajah Sindy dari jarak yang begitu dekat, membuat jantungnya berdebar kencang.
Sindy yang merasa di perhatikan, langsung berhenti meniup mata Andre. Dia terdiam, mata keduanya bertemu dalam jarak satu meter. Seketika dadanya berdebar, wajahnya kembali memerah. Seperkian detik dia bisa merasakan nafas Andre begitu dekat. Sekujur tubuhnya menegang saat permukaan bibir keduanya bertemu. Seluruh saraf otaknya seketika tidak bisa berfungsi dengan baik.