Chereads / Sweet Eighteen / Chapter 8 - Kekecewaan

Chapter 8 - Kekecewaan

Sentuhan hangat itu menjalar ke seluruh tubuh. Otak yang tadinya sempat membeku kini berjalan normal. Mata Sindy membulat, dia menjauhkan tubuhnya, mengatur nafas yang sempat tercekat.

Andre memalingkan wajah, menunduk malu. Dia bertindak ceroboh—lagi.

Suasana hening sesaat hanya deburan ombak yang terdengar.

"Maaf…"

"Kamu nggak salah"

Keadaan yang tadinya hangat berubah menjadi kecanggungan di antara mereka.

"Aku, refleks terbawa suasana… aku tidak akan melakukannya tanpa persetujuan dari kamu"

Tidak ingin suasana rusak karena insiden tadi, Sindy tersenyum, berdiri, lalu menatap Andre yang masih duduk.

"Aku nggak marah, kok, tadi aku hanya kaget karena belum siap" kata Sindy menjelaskan.

Andre mendongak, menyambut uluran tangan Sindy untuk berdiri.

"Karena itu bukan sebuah kesalah yang perlu kata maaf, jadi kamu tidak perlu minta maaf" Sindy tersenyum lebar.

Andre terseyum, mengenggam tangan Sindy, lalu menciumnya.

Sindy tertegun, bahagia dan juga bersyukur bisa di pertemukan dengan laki-laki seperti Andre.

"Kenapa?" Tanya Andre dengan nada terkesan menggoda.

"Apa kamu sekarang sudah siap aku cium?"

Sindy menyeringai, menginjak kaki Andre, kemudian tertawa puas. Andre meringis, kemudian tebersit ide jahil di kepalanya. Dengan cepat dia mencium pipi kanan Sindy kemudian berlari, menghindari amukan gadis itu.

***

Dita menatap laki-laki di depannya dengan tajam. Berkacak pinggang, tidak memperdulikan tatapan oran-orang di sekitarnya.

Laki-laki itu hanya menunduk, bergeser ke kiri untuk melangkah, namun Dita menghalanginya. Orang itu mengembuskan nafas, bergeser ke kanan, Dita pun tetap menghalanginya.

"Rendy!" Dita memekik.

Rendy enggan menjawab.

"Lo, masih marah sama gue?"

Sejak beberapa menit lalu, Dita yang pagi itu mengantar Ayahnya—seorang dosen—di UI, tidak sengaja melihat Rendy sedang berjalan menuju kelas. Berniat untuk minta maaf, Dita mengejarnya, tapi Rendy tidak menggubris.

"Ayolah! Gue udah berkali-kali minta maaf sama lo"

Kini suaranya merendah.

Rendy menatap Dita dengan datar, menghela nafas panjang.

"Gue nggak marah sama lo" jawab Rendy dengan suara rendahnya.

"Gue kecewa, kenapa lo seakan menganggap gue orang asing, kita sudah berteman lama," Rendy mengeluarkan keresahannya "Kenapa masih ada rahasia-rahasiaan? Pakek acara menghindar, lo jujur, gue nggak bakalan marah. Mereka pacaran, mereka menikah, gue nggak bakalan ikut campur"

"Sekali lagi gue minta maaf, gue tau gue salah udah ngerahasiain ini dari lo, tapi ini karena permintaan Sindy, dia takut kalau lo tahu mereka dekat, pertemanan kalian bakalan rusak"

"Rusak kenapa? Aneh.."

Rendy tidak ingin melanjutkan perdebatan dengan Dita. Dia berlalu, meninggalkan Dita yang masih terpaku. Gadis itu frustasi "Siapa yang pacaran, siapa yang pusing. Gila! Lama-lama gue bisa gila!" Dita berteriak, mengusap wajahnya seraya menghentakkan kakinya. Mahasiswa yang berjalan melewatinya menatap aneh.

***

Seperti hari sebelumnya, Sindy sibuk melayani pengunjung di jam makan siang. Namun hari ini dia tidak sesibuk tiga hari yang lalu. Semua pegawai masuk kerja, ia sibuk di bagian kasir. Dengan banyaknya pengunjung, Sindy harus hati-hati agar tidak salah dalam penghitungan uang. Pernah suatu hari ada seorang pengunjung yang sempat protes di karenakan uang kembalian tidak sesuai dengan yang tertera pada nota pembayaran. Beruntung pengunjung itu memaklumi dan masalah tidak menjadi besar.

Sindy menghela nafas lega, pengunjung sedikit berkurang karena sudah jam tiga sore. Tepat saat gadis itu akan membereskan salah satu meja, seseorang duduk tanpa mengucap salam. Sindy mendongak, mengernyit heran. Dita melipat kedua tangannya dengan wajah menekuk.

"Eh, elo, Dita, gue kira siapa" kata Sindy, melipat kain lap lalu duduk.

"Ada masalah? Kok wajah lo, nggak enak gtu?" tanya Sindy penasaran.

"Gue habis berantem sama Rendy" jawabnya ketus.

Sindy mengernyit bingung. "Berantem kenapa?"

"Nggak berantem sih," balas Dita dengan nada yang merendah "Ini semua itu karena kalian. Kenapa sih, lo nggak ngasi tahu Rendy, kalau lo pacaran sama Andre" kini intonasinya sedikit meninggi, membuat Sindy semakin kebingungan.

"Terus, kenapa lo sama Rendy yang berantem?"

"Rendy marah sama gue, karena ngerahasian hubungan lo sama Andre ke dia…" Dita menghentikan perkataannya, mengusap wajahnya, lalu menatap Sindy. "Mending lo yang jelasin ke Rendy deh, gue pusing sama kalian"

Sindy diam, dia merasa bersalah. Pertanyaan, kenapa dia tidak memberitahu hubungan mereka pada Rendy, memenuhi kepalanya. Dia pun tidak tahu jawabannya. Selama ini, ada rasa ketakutan pada dirinya jika hubungannya dengan Andre di tahu oleh Rendy. Sekarang, ia juga tidak bisa menjelaskannya pada Dita. Sulit sekali mengungkapkannya.

Sudah jam tujuh malam, Sindy bersiap untuk pulang. Namun sebelum pulang dia menyempatkan untuk mencuci wajahnya di ruang ganti. Ia menatap dirinya di cermin, wajahnya terlihat lelah. Dia termenung, mengingat percakapannya tadi sore dengan Dita. sudah tiga minggu ia tidak berhubungan dengan Rendy, laki-laki itupun sudah tidak pernah mengiriminya pesan juga menelponnya. Apakah Rendy marah dengannya? Baiklah, dia tahu apa yang harus di lakukannya sekarang.

Dengan cepat dia merogoh isi tas, mencari handphone, lalu mencari nama Rendy. Sambungan telepon sudah terdengar, seperti menelpon seorang gebetan, dia gugup. Entahlah, ia memang selalu seperti itu jika sedang dalam masalah. Tidak ada jawaban, untuk kedua kalinya ia melakukan panggilan, beberapa menit kemudian hasilnya tetap sama. Rendy tidak seperti biasanya yang kalau di telepon tanpa menunggu lama, pasti laki-laki itu langsung mengangkatnya.

Gadis itu mendecak kesal. Ini sudah kesepuluh kalinya ia menelpon, tapi hasilnya nihil, Rendy tidak mengangkat teleponya. Sudahlah, dia menyerah, memasukkan kembali handphone ke dalam tas, kemudian keluar.

Sementara itu, Rendy yang sedari tadi tahu bahwa yang meneleponnya adalah Sindy, sengaja tidak menjawab panggilan telepon gadis itu. Dia sedang tidak ingin berbicara dengannya di saat suasan hatinya sedang tidak baik seperti sekarang. Namun lebih tepatnya, dia marah dan kecewa. Ada yang lebih spesifik untuk menjelaskan semuanya, namun dia menepis pikiran bodoh itu.

Rendy mematikan handphonenya, menaruhnya ke dalam laci meja. Laki-laki itu tak peduli kemudian melanjutkan aktifitas membacanya.

***

Seperti biasa, Rendy menyiapkan sarapan untuknya juga Andre. Tidak seperti biasa yang selalu nasi goreng, kali ini dia hanya membuat telor mata sapi. Mood nya untuk masak lebih dari itu tidak ada. Sebenarnya hari ini juga ia sedang tidak ingin masuk kuliah, tapi karena ada kuis yang harus di ikutinya, mau tidak mau dia harus berangkat ke kampus. Sial, ini karena masalah yang sebenarnya tidak penting baginya. Tapi kenapa dia masih merasa kesal sampai sekarang?

"Rendy! Lo, mau bikin apartemen kita ini kebakaran?"

Andre yang saat itu sedang berjalan menuju kamar kecil, melihat Rendy yang sedang melamun tanpa melihat telor mata sapi yang di gorengnya mengepulkan asap. Kalau saja Andre tidak cepat menyadarkan laki-laki itu, mungkin saja dapurnya kebakaran.

Rendy yang terkejut, menyadari asap sudah mengepul, telor mata sapi itu sekarang sudah tidak berbentuk. Segera ia mematikan kompor listrik itu, meletakkan teflon di tempat pencucian piring.

"Lo, kenapa ngelamun? Untung aja gue liat, kalau nggak kita bakalan dapat masalah besar" kata Andre seraya membantu Rendy membersihkan telor yang tadi sempat terjatuh, lalu membuangnya ke tempat sampah.

"Sorry, gue tadi lagi mikirin kuis hari ini" Rendy beralibi.

"Tumbenan banget lo ngelamunin kuis, biasanya juga lu enjoy kalau ada kuis apapun"

Andre mencuci tangannya, kemudian mengambil tussue basah untuk mengelap lantai yang terkena noda gosong dari telur yang jatuh.

Rendy memejamkan mata sejenak, mengembuskan nafas berat, kemudian mengabil telflon baru untuk mengganti telor yang gosong.

"Thanks, ntar gue yang beresin sisanya"

Andre mengangkat bahu, berlalu meninggalkan dapur menuju kamar kecil. Namun, langkahnya terhenti saat Rendy mengatakan sesuatu padanya.

"Gue denger, lo pacaran sama Sindy?"

Andre menoleh, tanpa sempat menjawab Rendy melanjutkan perkataannya.

"Selamat… gue ikut senang dengernya. Akhirnya kakak gue yang pecicilan ini bisa pacaran juga" Rendy terkekeh. Dia tahu kalau Andre selama ini susah sekali dekat dengan seorang wanita, meskipun ia pecicilan dan juga kekanakan, saudaranya itu tidak mudah bergaul dengan wanita--kecuali Sisi Amelia--sahabat kecil mereka.

Rendy memandang kebawah, kemudian kembali memandang Rendy. "Karena Sindy adalah cewek yang beda" jawab Rendy singkat seraya tersenyum.

"Maaf, gue nggak ngasi tahu lo soal hubungan kami, lo malah denger dari orang lain"

"It's fine, selama lo bahagia, gue nggak masalah denger dari siapapun"

Sangat berbanding kebalik dengan realitanya.

***

Ting

Suara pesanan secara online masuk, layar komputer yang tersambung dengan aplikasi gojek menampilkan satu pesanan atas nama Julian. Di sana tertera beberapa menu makanan juga minuman yang di pesan. Sindy mencatat pesanan itu lalu menyerahkannya ke bagian dapur agar bisa segera di siapkan.

Dua puluh menit kemudian, pesanan online itu siap, dan harus segera di antar ke alamat pemesan. Namun siang itu karyawan yang bertugas sedang istirahat, agar pemesan tidak menunggu lama, Sindy memutuskan untuk mengantarnya. Ketika akan bersiap untuk berangkat, ia sempatkan untuk melihat alamat si penerima, betapa terkejutnya dia, jika pembeli itu berasal dari apartemen tempat tinggal Andre.

Julian. Sudah jelas itu nama laki-laki yang notabene adalah pacarnya. Dengan senyum semangat ia melangkah lebar menuju alamat pemesan.

Nomor kamar 3020, tepat sekali, ia sekarang sudah sampai dan sedang menunggu si pemesan keluar. Saat akan menekan bel untuk kedua kalinya, suara pintu terbuka, sosok laki-laki muncul setelahnya.

Keduanya saling tatap, tidak menyangka jika yang memesan makanan itu adalah Rendy, begitupun sebaliknya laki-laki itu juga di menyangka jika Sindy yang mengantar pesanannya. Sungguh takdir yang mengejutkan.

Karena sudah membayar melalui kartu credit, maka Rendy hanya perlu menerima saja tanpa mengeluarkan biaya apapun.

"Terima kasih" ucap Rendy dingin, sesaat setelah mengambil pesanannya di tangan Sindy.

"Eh… Rendy, tunggu!"

Tangan Sindy menahan pintu yang akan di tutup oleh Rendy. Laki-laki itu mengernyit, memandang Sindy dingin.

"Lo kenapa? Telpon gue sama sekali nggak lo angkat…"

"Maaf, gue lagi sibuk, ada banyak tugas yang harus di selesaikan hari ini" balas Rendy dingin.

"Rendy! Lo kenapa? Lo marah sama gue?"

Lagi, Sindy berusaha menahan pintu.

"Lo budek?! Gue sekarang lagi sibuk!" bentak Rendy, menutup paksa pintu apartemen.

Sindy terkejut, baru kali ini ia melihat Rendy semarah itu. Dan, baru kali ini juga laki-laki itu membentaknya selama beberapa bulan berteman. Matanya memerah, kedua tangannya mengepal, ia mendongak menahan air mata yang sedikit lagi terjatuh.