Chereads / Sweet Eighteen / Chapter 5 - Rahasia

Chapter 5 - Rahasia

Hari itu adalah hari yang sangat berkesan bagi Sindy. Pertama dalam hidupnya, seorang laki-laki menyatakan cinta padanya. Dan tepat hari itu juga dia berstatus sebagai kekasih Andre.

Andre melepas pelukannya, dia menatap Sindy dalam. Menggenggam tangan gadis itu, lalu tersenyum. "Thanks, lo udah mau jadi cewek gue.'

Sidny tidak bisa menyembunyikan ketegangannya. Maklum, ini pertama kalinya dia di hadapakan dengan situasi seperti itu. Bahkan dia belum tahu bagaimana harus bersikap di hadapan pacar sendiri.

"Lo kenapa? Sakit?" tanya Andre saat mendapati wajah Sindy yang memerah.

"Nggak, gue nggak apa-apa, cuma gue ngerasa aneh aja" jawab Sindy, menggelengkan kepalanya.

"Aneh?"

"Gue nggak nyangka aja, kita pacaran"

Andre tertawa, dia juga tidak menyangka jika mereka berdua akhirnya menjadi sepasang kekasih. Tidak ada seorang pun yang tahu kapan cinta itu datang, dia datang dengan cara tiba-tiba tanpa permisi.

Merayakan hari pertama mereka jadian, Andre dan Sindy makan soto betawi yang di bawanya tadi, kebetulan gadis itu menyiapkannya untuk porsi tiga orang. Tentu saja ada bagian untuk Rendy. Raut wajah keduanya tampak begitu bahagia. Sindy yang terlihat senang saat Andre memuji masakan yang ia buat, begitupun sebaliknya, laki-laki itu merasa sangat bahagia bisa bersama dengan orang yang di kasihinya.

***

Rendy menutup buku yang sudah selesai dia baca, lalu mengemas barang-barangnya dan memasukkannya ke dalam tas. Sudah jam tujuh malam, tak terasa dia menghabisakn waktunya selama lima jam di dalam perpustakaan itu. Seharusnya jam dua siang setelah mata kuliah Sejarah Sastra usai dia bisa langsung pulang, tapi karena ada hal yang membuatnya tidak ingin cepat pulang.

Dia menatap arloji di tangan kanannya, kemudian berdiri dan berjalan menuju parkiran mobil. Saat itu keadaan kampus masih ramai oleh mahasiswa yang mengikuti perkuliahan malam. Saat akan memasuki mobil, handphone nya berbunyi. Nama Andre terpampang jelas di layar 6,5 inch itu.

"Rendy, lo pulang jam berapa?" tanya Andre di seberang sana.

"Gue baru keluar dari kampus, sorry, gue lupa ngasi tahu lo, kalau gue ada janji sama Rino" jawab Rendy datar sambil melihat kiri dan kanan juga belakang melalui kaca spion mobil sebelum melajukan mobilnya ke arah jalan raya.

"Okay, lo hati-hati ya" kata Andre. Lalu setelah itu sambungan telepon pun terputus.

Rendy melempar teleponya ke arah tempat duduk di sebelah kirinya yang kosong. Ia menghela nafas pelan, memfokuskan pandangannya ke depan. Ada sesuatu yang entah dia sendiri tidak tahu apa yang mengganjal dalam hatinya. Ini sungguh mengusik hidupnya.

Jalanan malam itu cukup lengang, tidak semacet biasanya, angin malam yang sejuk masuk melalui celah jendela mobil yang sengaja di buka berharap bisa mengusir kegundahan hatinya. Rendy terus melajukan mobilnya melintasi jalanan yang sering dia lewati.

So let me just give up

So let me just let go

If this isn't good for me

Well I don't wanna know

Let me just stop trying

Let just stop fighting

I don't want your good advice

Or reasons why I'm alright

Alunan music berjudul You Dont Know milik Katelyn Tarver itu membuat suasana hati Rendy tak karuan. Ia terhanyut dalam setiap lirik yang ada pada lagu itu. Sedikit tidaknya arti dari lirik itu menggambarkan apa yang di rasakan olehnya sekarang.

***

Dita masih tak percaya dengan apa yang baru saja di katakan oleh lawan bicaranya itu. Dia berusaha menahan ekspresinya agar masker wajahnya itu tidak retak.

"Terus, Rendy tahu kalau lo pacaran sama Andre?" tanya Dita yang semakin penasaran dengan kelanjutan cerita Sindy.

Sindy memeluk boneka kesayangannya sambil menopang dagunya di atas kepala beruang itu. "Belum, gue nggak tahu gimana caranya ngasi tahu dia".

"Padahal Rendy duluan yang kenal sama lo, tapi malah Andre yang nembak lo" balas Dita dari seberang sana.

Benar kata Dita, Rendy lah yang mengenal Dita lebih dulu. Tapi, kita tak pernah tahu dengan siapa Tuhan akan menjodohkan umatnya. Andre memang lebih pintar dalam mengekpresikan perasaanya pada orang lain, berbeda dengan Rendy yang selalu memendam apa yang di rasakannya.

"Menurut lo, gue harus bilang apa ke Rendy?"

Dita berpikir sejenak, namun sayang, tidak ada ide di dalam kepalanya sekarang.

"Gue juga bingung. Nanti juga dia bakalan tahu dengan sendirinya, atau mungkin Andre yang bakalan ngasi tahu dia kalau kalian pacaran"

Bagai gayung bersambut. Orang yang mereka bicarakan kini mengirim pesan pada Sindy. Dalam waktu yang bersamaan Andre dan Rendy menanyakan apakah dia sudah tidur atau belum. Sungguh seperti drama korea yang sering dia tonton.

"Eh, udah dulu ya Dit, mereka ngechat gue, nih" ucap Sindy saat membuka pesan dari kedua laki-laki itu.

"Ehm, iya, iya, yang sekarang sudah punya pacar, temennya malah di usir" sindir Dita dengan nada yang pura-pura tersakiti.

"Apaan, sih lo, gue bukan orang yang akan ngebuang temen demi pacar" balas Sindy.

Setelah percakapan mereka melalui telepon selesai, Sindy beralih pada chat yang di kirimkan oleh kedua saudara kembar itu. Chat pertama yang dia balas adalah pacarnya--Andre.

Dengan semangat gadis itu membalasnya dengan senyum yang mengembang. Gini ya, rasanya chattingan bareng pacar? Ya, mungkin awalnya saja yang seru, tapi nanti bakalan biasa saja. Itulah pengalaman orang-orang dalam menjalain hubungan, bukan?

Tak cukup ngobrol dalam chat, tiba-tiba Andre menelponnya. Tanpa berpikir panjang, gadis itu menjawab.

"Hai, sayang" seru laki-laki itu dengan suara beratnya.

Mendengar suara khas cowok seperti itu pasti membuat wanita akan menjerit kegirangan. Ya, termasuk Sindy yang wajahnya langsung memerah seperti sekarang ini.

"Hai..hm, kok kamu belum tidur?" tanya Sindy malu-malu.

"Cie, udah manggil kamu bukan lo-gue lagi" goda Andre dari seberang telepon.

"Idih, apaan, sih" balas Sindy, mengerucutkan bibirnya.

Andre tertawa mendengar suara Sindy yang kalau lagi kesal terdengar lucu baginya, "Jangan marah dong, sayang" suara lembut Andre berhasil membuat Sindy senyum-seyum malu, "Aku seneng denger kamu kalau lagi kesel, gitu".

"Bodo!" balas Sindy, tidak mau kalah.

"Aku kan cuma bercanda"

"..."

"Sayang, kok diem, sih"

"..."

"Yaudah, kalau kamu marah, malam minggu besok kita jalan, yuk! Aku bakalan ngajak kamu ke suatu tempat yang pasti bikin kamu seneng" bujuk Andre.

Sebenarnya, Sindy hanya pura-pura marah saja. Dasar wanita.

"Yang bener?" tanya Sindy antusias

"Iya, besok aku jemput kamu, pokoknya dandan yang cantik, ya"

Baru kali ini dia merasakan sesuatu yang menggelitik dalam perutnya. Seperti kupu-kupu yang menari bebas di dalam sana.

***

Ibu Nia menuutup teleponnya bertepatan dengan Sindy yang keluar dari kamar mandi. Gadis itu baru saja selesai mandi setelah membereskan pekerjaan rumah yang di tugaskan oleh ibunya seperti biasa.

"Sindy" panggil Ibu Nia.

Gadis itu menoleh "Kenapa, ma?" Sindy berjalan menuju sofa tempat ibunya duduk.

"Tante Sisi minta tolong sama mama untuk ngasi tahu kamu, kalau cafe yang baru di buka tiga bulan lalu itu kekuragan staff, dan dia minta tolong supaya kamu bantuin dia ngurus usahanya"

Kebetulan sekali dia memang sudah bosan nganggur, dan ingin secepatnya menghasilkan uang dari hasil kerja kerasnya. Dengan mantap Sindy menyetujui permintaan tantenya itu.

"Kapan bisa aku mulai kerja?" Sindy sudah tidak sabar menjalani aktiitas barunya. Selain baca komik, nonton drama korea, dan mendengar omelan ibunya tiap pagi.

"Katanya minggu depan kamu di suruh ke sana, nanti ibu kasi tahu alamatnya"

Akhirnya dia bukan lagi beban keluarga--lebih tepatnya beban ibunya. Dengan itu dia bisa membantu keuangan keluarganya, mesti hanya tinggal berdua, Sindy kasian melihat ibunya yang harus banting tulang untuk menopang hidupnya.

Siang itu Dita sedang asyik memilah bahan makanan yang ingin dia beli. Gadis itu menghitung setiap belanjaan yang sudah ia masukkan ke dalam keranjang. Ada kecap, sayur, buah, beberapa snack dan juga minuman favorite nya--jus pisang.

Baiklah, hanya satu barang yang harus dia cari, itu adalah titipan kakaknya. Matanya terus mencari barang itu, dan langkah kakinya membawanya ke deretan rak yang menjual perlengkapan laki-laki. Pomade rambut yang selam ini sering di gunakan oleh kakaknya--Bima.

Saat akan mengambil barang itu, dia tidak sengaja menyenggol seseorang, refleks Dita menunduk minta maaf.

"Dita.."

Mendengar suara yang tak asing di telinganya, dia mendongak, melihat sosok yang kini berdiri di hadapannya.

"Rendy..," pekik Dita "Gue kira siapa, gila"

Laki-laki itu terkekeh melihat ekspresi lucu Dita. memang dari dulu, gadis itu tidak pernah berubah kalau sedang terkejut. Tak jarang Andre dan Rendy menjadikannya ratu meme saat masih SMP dulu.

Setelah mereka selesai berbelanja, Rendy menawarkan untuk megantar Dita pulang. Kebetulan gadis itu kekurangan uang untuk bayar taxi online, dan juga arah rumah mereka sama.

Sudah lama rasanya mereka tidak bertemu seperti ini. Di sibukkan dengan kegiatan kampus masing-masing. Terakhir mereka bertemu satu setengah bulan yang lalu saat pertemuan pertama mereka dengan Sindy.

"Kabar lo gimana, Ren?"

"Seperti yang lo lihat sekarang, biasa saja dan tidak ada yang menarik"

Dita tersenyum. Gimana mau menarik, kalau kerjaannya hanya baca buku di perpustakaan berjam-jam. Gadis itu sangat tahu hobi Rendy yang begitu membosankan.

"Perlu gue cariin cewek buat lo, biar hidup lo lebih berwarna?"

"Lo kan udah ngenalin Sindy ke gue"

Dita menutup mulutnya rapat, hampir saja dia bilang kalau Sindy sekarang sudah punya pacar. Gadis itu memalingkan wajahnya ke luar jendela, merutuki kecerobohannya yang hampir saja dia lakukan.

"Tapi, akhir-akhir ini, dia jarang banget bales chat gue, apa gue ngelakuin kesalahan, ya?"

Dita merasa kasihan pada temannya itu. Dia merasa merahasiakan sesuatu yang tak seharusnya di rahasiakan dari Rendy. Laki-laki itu juga berhak tahu akan kebenaran yang terjadi. Namun itu bukan tugasnya untuk memberitahukannya, melainkan Sindy dan Andre lah yang harus melakukan itu.

"Mungkin dia sibuk kali" jawab Dita asal.

"Kalau memang dia merasa terganggu, gue nggak akan ganggu dia lagi, kok"

Kata-kata itu membuat Dita semakin merasa bersalah pada Rendy. Bodoh, seharusnya dia menolak tawarannya untuk mengantarkan dia pulang.