Sepanjang jalan pulang, suasana canggung menyelimuti keduanya. Tak ada sepatah katapun yang keluar di antara mereka. Andre yang fokus mengemudi, dan Sindy yang memandangi jalanan dari kaca mobil. Sebuah pengakuan yang secara tiba-tiba membuat perasaan aneh hinggap di hatinya. Ia tak menduga jika Andre menyukainya. Selama ini dia tidak pernah berpikir, kalau ada laki-laki yang suka dengan gadis pemalas seperti dirinya. Wajah tak secantik Milea tokoh dalam film Dilan, cenderung biasa saja dan tak ada yang menarik.
Andre melirik Sindy, ia merasa sangat malu sekarang. Kenapa dia bisa ngomong seperti itu? Pasti gadis di sampingnya itu sekarang mengira kalau dia gila. Kenal baru tiga minggu, tapi sudah berani bilang suka, bodoh. Ia terus merutuki dirinya sendiri, ingin rasanya berteleportasi ke luar angkasa detik ini juga.
Keheningan dan kecanggungan itu membuat dirinya semakin frustasi, hingga beberapa kali ia tak fokus menyetir. Gimana caranya agar suasana kembali cair? seperti tiga puluh menit yang lalu, sebelum perkataan bodoh itu keluar.
"Hm, Sin… anggap aja apa yang gue bilang tadi cuma bercanda, jangan di bawa ke hati" akhirnya, dengan berani ia memecah keheningan. Tapi, kenapa dia malah sedih dengan ucapannya barusan?
Sindy menoleh, ia canggung, tak tahu harus menjawab apa. Otaknya kini sedang mengalami kebuntuan. Sedari tadi ia sibuk mencari kata untuk di ucapkan. Antara dia harus menjawab iya atau tidak.
"Kasi gue waktu lima hari" jawan Sindy pada akhirnya.
"Lima hari?"
"Iya.."
"Jangan di paksain kalau lo nggak bisa. Gue cuma refleks aja tadi" lagi, Andre mengatakan hal yang lebih bodoh. Dengan dia berkata begitu, jelas Sindy akan mengira kalau dia hanya main-main. Terkutuklah kau Andre.
Kecewa. Itu yang terbesit di hatinya. Kenapa laki-laki dengan mudahnya melontarkan candaan seperti itu? Dan lebih bodohnya lagi, kenapa perempuan langsung senang jika ada seseorang menyatakan cinta padanya? Padahal itu hanya lelucon belaka.
"Oh, yaudah, kalau itu cuma bercandaan doang, gue kira lo serius" Sindy terkekeh, lebih tepatnya memaksakan diri untuk tertawa.
"Lagian, nggak mungkin lo tuh suka sama cewek kaya gue, cantik juga nggak apalagi pintar, jauh banget" sambung Sindy. Entah kenapa dia merasakan kejanggalan di hatinya saat mengatakan itu. Ingin menangis rasanya.
Andre menoleh ke arah Sindy dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau kata-katanya tadi pasti menyinggung perasaannya. Jujur, Andre sebenarnya memang suka dengan Sindy, tapi karena kebodohannya itu membuat semuanya berantakan.
"Sin, gue suka sama cewek nggak beradasarkan fisik, gue suka cewek yang apa adanya kaya lo"
Sindy menoleh, tatapan keduanya kini bertemu. "Lo bercanda lagi, deh" ucap Sindy sambil terseyum kecil, "Mending lo fokus nyetir, bahaya kalau lo bercana terus!"
Andre memalingkan wajahnya ke luar jendela mobil sekilas sambil mengela nafas berat dan kemudian kembali fokus ke depan.
***
Dita mengetok pintu kamar dengan membawa dua piring cemilan yang baru saja di pesannya melalui gojek. Hari ini ia sedang main ke rumah Sindy seperti biasanya. Beruntung tak ada jadwal kuliah, jadi dia bisa bebas. Sindy membukakan pintu, melihat temannya kesusahan membawa dua piring berisikan banyak cemilan, ia mengambil alih satu piring dan menaruhnya di atas meja dekat tempat tidur.
"Eh, gimana kemarin? Pasti seru banget, kan?" tanya Dita antusias. Sindy yang mendengarnya hanya merenung dan tampak tidak bersemangat.
"Lo kenapa, dah? Di omelin nyokap lo lagi?" Dita penasaran. Tumbenan banget Sindy semurung itu.
"Di omelin nyokap udah kaya makanan pokok buat gue" sergah Sindy, mengambil cemilan yang di bawa Dita tadi lalu memakannya.
"Terus kenapa?" dengan mulut yang penuh makanan tak menghalangi Dita untuk terus bertanya apa yang sebenarnya terjadi pada Sindy.
"Kemarin waktu pulang dari nonton, Andre bilang suka ke gue"
Dita kaget, hampir makanan yang ada di dalam mulutnya menyembur keluar. Dengan keras ia menelan semua makanannya. "Serius, lo?" semakin berapi-api Dita mendekatkan dirinya pada Sindy. Sudah seperti ibu-ibu rumpi.
"Awalnya dia cuma bercanda, tapi nggak berselang lama, dia bilang suka sama cewek yang apa adanya kaya gue" Sindy menceritakan secara detail apa yang terjadi pada saat itu.
Mendengar semua cerita Sindy, Dita mencoba memberikan pendapat pribadinya. Ia tahu bagiamana perasaan temannya itu sekarang. Ia berusaha netral dan tak berpihak pada siapapun.
"Gue kenal Rendy dan juga Andre sejak SMP, gue tahu mereka cowok yang seperti apa. Selama gue temenan sama mereka, nggak pernah sekalipun gue denger mereka mempermainkan perempuan" Dita menatap lekat Sindy, "Gue yakin, dia cuma malu waktu bilang dia suka sama lo, karena gue juga punya kakak cowok, Sin, jadi gue tahu gimana cowok kalau sudah malu pasti berusaha untuk tetap terlihat cool di depan cewek. Dan.. gue yakin Andre nggak ada niatan untuk mempermainkan perasaan lo".
Mendengar perkataan Dita membuat Sindy berpikir lagi, benarkah seperti itu? Apa dirinya saja yang tidak tahu tentang sifat laki-laki itu seperti apa? Selama ini ia hanya sibuk dengan hobinya tanpa berpikir untuk dekat dengan lawan jenis, kecuali kejadian konyol dengan laki-laki gay waktu itu.
"Sekarang gue tanya.. Lo suka nggak sama Andre?"
Sindy menatap Dita. Pertanyaan yang bahkan belum ia temukan jawabannya. Karena ia selama ini menganggap Andre adalah sahabat baik dan juga lucu. Namun semua itu seketika berubah dalam waktu satu malam. Serumit inikah cinta?
"Gue nggak tahu, Dit.. gue bingung sama perasaan gue sendiri, gue takut kalau pertemanan kita hacur hanya karena masalah hati". jawab Sindy sambil memainkan kukunya.
"Nanti juga lo tahu jawabannya, karena cinta itu butuh waktu, pertemanan tidak akan hancur jika kita mampu menjaga ego masing-masing" ucap Dita, menepuk pundak Sindy sambil tersenyum.
Benarkah? Ya, Biarkan waktu yang menjawab.
***
Pagi itu, seperti biasa Sindy bangun pagi hanya untuk membaca update terbaru komik favorite-nya. Dan rutinitas yang tak pernah hilang di pagi hari. Sang ibu sudah meneriaki namanya, tidak, bukan namanya, melainkan sebutan putri duyung. Itu di karenakan Sindy seperti putri duyung kalau sudah diatas tempat tidur saat membaca komik. Sekujur kakinya ia selimuti demi kenyamanan membaca.
"Ya ampun, sampai kapan kamu terus malas-malasan terus, huh?" tanya ibunya ketika membuka pintu kamar Sindy.
"Iya, ma, sebentar lagi kelar, nih" jawab Sindy tanpa mengalihkan pandangannya dari komik itu.
"Aduh, Sin, mama nggak tahu lagi mau ngomong apa ke kamu.. Mama suruh kuliah, kamu nggak mau, kamu maunya apa, sih?" keluh ibunya kesal.
"Aku mau nyari kerja, ma.. Aku emang nggak ada niatan untuk kuliah" jawab Sindy, menatap ke arah ibunya.
"Terserah, mama sudah nyerah nasehatin kamu" kata ibunya, berbalik badan dan keluar dari kamar Sindy. Ada rasa kekecewaan di hati wanita itu melihat anaknya yang seperti itu. Ia berharap agar putrinya itu bisa menjadi anak yang sukses, itu saja.
Sindy menutup komiknya. Ia terdiam. Mendengar ibunya berkata seperti itu, membuatnya merasa bersalah, ia seperti anak yang gagal. Benar, sebenarnya apa yang ia cari? Apa tujuan hidupnya? Ia pun tak tahu akan hal itu, yang ia tahu hanyalah bergelut dengan dunianya tanpa memikirkan sekitarnya.
Jaman sekarang, jika tidak ada ijazah S1 sangat susah mencari kerja. Jadi kerja apa yang harus di lakukannya? Itu sekarang menjadi PR baginya. Alih-alih mencari info kerja di internet, seketika ia teringat akan Andre, tiga hari setelah kejadian itu, ia tak mendengar kabarnya sama sekali. Mengirim pesan bahkan menelpon pun tak pernah. Kemana laki-laki itu?
Iseng, iapun membuka Instagram untuk melihat-lihat. Saat sedang asyik sroll ke bawang ia tertegun melihat postingan Andre yang di post satu jam yang lalu. Bukan postingan photo selfie, tapi gambar-gambar lucu seperti biasa yang sering di upload olehnya. Ada hal yang mengusik keingin tahuannya, kolom komentar. Ada banyak komentar di sana, namun matanya tertuju ke salah satu nama. Sisi Amelia. Di antara banyaknya komentar tapi hanya nama itu yang di balas oleh Andre, mereka tampak akrab. Siapa perempuan itu? Rasa penasaran berkecambuk di hatinya. Bermaksud ingin tahu dengan membuka profil orang itu, namun sayang akunnya di private.
Ada rasa kesal dalam dirinya, entah kenapa ia bisa sekesal itu. Apakah Sindy cemburu melihat Andre akrab denga perempuan lain? Entahlah.
***
Rendy sudah mulai mengantuk, matanya mulai memerah. Ia sudah tak kuat lagi menyelesaikan tugas kuliahnya hari ini. Lanjutkan besok saja di perpustakaan, pikirnya. Ia pun merapikan buku dan peralatan tulisnya, setelah itu naik ke atas tempat tidur. Sebelum tidur ia mengecek HP-nya. Tak ada balasan dari Sindy, sudah dua hari ini pesannya tak di balas, bahkan teleponnya saja tidak angkat. Kemana anak itu?
Sekali lagi ia mengirim pesan ke Sindy.
Hai, sibuk ya?
Send..
Sementara itu, Sindy yang kebetulan sedang memegang HP menerima pesan dari Rendy. Oh may! Dia lupa kalau dua hari yang lalu Rendy mengiriminya SMS dan juga sempat menelponnya, karena saat itu dia sedang sibuk mencari kerja, berniat menghubunginya balik Sindy malah lupa. Tanpa basa-basi dia langsung menelepon Rendy untuk meminta maaf.
Melihat Sindy yang tiba-tiba menelpon membuat Rendy tertegun, sekaligus senang. Dengan semangat dia menjawab sambil tersenyum lebar.
"Hai, Sin.. keman aja lo? Chat gue nggak pernah lo bales" seru Rendy
"Sorry, Ren, gue kemarin sibuk nyari kerja..mau nelepon balik, gue malah lupa" jawab Sindy sambil nyengir, walaupun Rendy tak bisa melihat itu.
Terbersit di benaknya untuk menanyakan keadaan Andre karena selama beberapa hari ini ia tak ada kabar juga.
"Oh ya, Ren, Andre.." Sindy malu untuk menanyakan soal Andre pada Rendy.
"Andre?..." tanya Rendy penasaran. Kenapa dia malah nyebut nama Andre.
"Oh, nggak, nggak, nggak apa-apa.. Beberapa hari ini saudara lo itu juga nggak ada kabar, hehehe" Sindy berusaha tenang agar tidak menimbulkan kecurigaan.
"Andre sakit, karena kebanyak begadang jadi kena tipes"
"A,Andre sakit..? Pekik Sindy khawatir.
"Terus sekarang keadaanya gimana?" Tanya Sindy yang semakin khwatir ingin tahu keadaan Andre. Mendengar itu, Rendy terdiam. Kenapa gadis itu begitu khawatir?
"Sin, kalau lo pengen ngobrol sama Andre, gue kasi tau dia sekarang.."