Semenjak kejadian itu Valery benar-benar dikurung di sebuah rumah yang sangat besar dari rumah miliknya, dia dikurung di dalam kamar besar yang tidak memiliki cela untuk melarikan diri, padahal wanita itu sudah diajarkan oleh sang ayah untuk bisa melepaskan diri jika terjadi sesuatu tapi diluar kemampuan Valery, jika kamar ini memang sangat sulit untuk dihancurkan.
Sudah seminggu dia berada disini, tidak ada satu orang-pun yang mendekati dirinya, mereka hanya datang saat waktu makan saja, Valery sudah berusaha melakukan semua cara untuk bisa menarik perhatian pria yang bahkan Valery sendiri tidak tahu namanya.
"Hei!! Siapapun yang diluar, tolong lepaskan aku!!" ucap Valery, dia mengendur-menggedor pintu kamarnya.
"Lepaskan aku!!"
"Kau bisa berteriak juga?"
Saat itu juga pintu terbuka memperlihatkan seseorang dengan tinggi badannya dengan raut wajah dingin dan aura penguasa di setiap langkahnya, dia berjalan dengan pakaian hitam yang selalu digunakan akhir-akhir ini.
Dan Valery, gadis itu merasa takut dengan kedatangan pria yang membuat semua keluarganya hancur, dia berjalan hingga tidak sadar jika tubuhnya sudah ada diujung kamarnya, sampai tidak ada pilihan buat Valery untuk menghindarinya.
"Kamu punya nyali juga untuk membuat rumah ini berisik dengan suaramu." ucap Darrel, dengan tangan besarnya pria itu mengunci Valery dalam kuasanya.
"Tolong lepaskan aku!" ucap Valery.
"Daripada melepaskan dirimu lebih baik kamu menjadi partner-ku sebagai mata-mata untuk negara ini."
"Aku tidak mau! Tidak akan mau jadi partnermu!" jawab Valery dengan tegas, walau memang dia sangat takut untuk melihat pria dihadapannya, aura pria ini tidak bisa diremehkan sama sekali, dalam sekali tolakan maka pria itu akan melakukan seribu cara untuk membuat Valery berlutut di depan.
"Kamu mempunyai wajah yang cantik, lalu keahlian yang bagus dalam hal senjata dan juga memikat kaum pria, aku akan memberikan semua keinginan dirimu, aku juga akan menjamin kehidupanmu, jika kamu mau menjadi partner-ku, daripada menjadi penjahat yang tidak bisa menjamin hidupmu, lebih baik menjadi seorang mata-mata untuk negara."
Valery terdiam, penawaran yang pria itu berikan membuat pertahan Valery menjadi goyah dan dilema, dia menatap mata pria itu mencoba mencari kebohongan disana tapi hanya ada wajah yang penuh dengan keyakinan.
"Tertarik?" tanya Darrel.
Tangannya menarik dagu Valery agar mau menatapnya, saat itu juga dia melihat mata coklat milik Valery yang begitu indah.
"Aku perlu waktu untuk berpikir."
"Aku beri 3 hari untuk berpikir."
"Tiga hari?"
"Baiklah 2 hari." ucap Darrel, dia melepaskan tangannya, membiarkan wanita hadapannya bisa bernafas lega, menghilangkan ketegangan di wajah manis itu.
"Aku akan kembali nanti dalam dua hari, pikirkan baik-baik sebelum dirimu aku beri pada peliharan kesayangan ku." ucap Darrel, pria itu mulai melangkah meninggalkan Valery, dengan dua tangan yang dimasukan kedalam saku celana pria itu berjalan keluar kamar yang sekarang menjadi milik Valery.
Tubuh Valery merosot ke lantai diam menatap langkah kaki Darrel yang semakin menjauh hingga akhirnya pintu kamar itu kembali tertutup meninggalkan Valery sendirian dikamar yang sangat luas namun tidak mempunyai cela untuk melarikan diri, Valery memeluk lututnya, menangis bukanlah solusi untuk bisa melepaskan diri dari semua masalah ini.
Kini kehidupan Valery kembali ke titik dimana dia harus dipaksa membuat pilihan antara bertahan hidup atau mati, jika memilih mati itu sama dengan Valery mensia-siakan kematian seluruh orang yang selama bertahun-tahun melindunginya dan terutama kematian sang ayah yang selalu menjadi penyesalan dalam hidupnya, jika memilih untuk bertahan hidup dengan menjadi seorang mata-mata sama saja Valery membiarkan harga dirinya dikendalikan oleh orang yang sudah membunuh ayahnya angkatnya.
Kelemahan yang Valery rasakan membuatnya gadis malang itu melewatkan makan siang dan makan malamnya, sejak Darrel meninggalkan Valery, saat itu juga gadis itu belum meninggalkan tempatnya satu senti pun, ketakutan dan kebencian dalam dirinya bagaikan emosi yang membuat Valery tidak mampu untuk memilih, gadis malang itu hanya bisa menunggu sebuah keputusan yang terbaik dari Tuhan.
Hingga keesokan harinya Valery masih belum menyentuh sarapan pagi yang sudah disiapkan oleh para pelayan yang sama seperti kemarin, gadis itu bahkan tertidur dengan posisi meletakkan kepalanya di kedua tangan sambil memeluk lututnya, wajah pucat Valery mulai membuat para pelayan merasa jika kepala mereka akan segera dipenggal oleh sang majikan.
"Nona, tolonglah sentuh sedikit sarapan anda" ucap salah satu pelayan, seperti wanita yang memanggilnya 'nona' adalah pimpinan dari semua pelayan yang ada di rumah besar ini, wajahnya yang sudah seperti usia 50 tahun itu, mulai ketakutan dengan apa yang akan terjadi jika Valery tidak mau menyentuh makanannya.
"Aku tidak ingin memakannya, tolong bawa kembali makanan kalian" ucap Valery, dia mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menolak satu suapan yang pelayan itu berikan.
"Nona, setidaknya makanlah demi kami, Tuan Javier akan sangat marah jika mendengar laporan jika Nona tidak mau menyentuh makanannya lagi, kita semua diancam akan dipenggal kepalanya, aku masih memiliki dua orang anak yang membutuhkanku."
Sebuah ucapan yang begitu tulus keluar dari pelayan yang berlutut di depan Valery, gadis itu merasa iba dengan apa yang mereka lakukan, dia tidak boleh egois hanya karena dirinya sendiri ada banyak nyawa yang mungkin akan menghilang karena keegoisannya, Valery kembali menatap pelayan itu sedikit tersenyum pada mereka dan mengambil nampan yang sudah ada berbagai jenis makanan.
"Aku akan memakannya, kalian bisa kembali bekerja, aku janji saat kalian akan mengambil ini kembali, aku sudah menghabiskannya." ucapnya.
Para pelayan yang terdiri dari tiga orang itu bangkit dari posisinya, menundukan badannya pada Valery sebelum melangkah meninggalkan ruangan.
Valery kembali merasakan kesendirian di ruangan, sepanjang hidupnya Tuan Marlon tidak pernah memperlakukan Valery seperti tahanan seperti ini, gadis malang itu menatap tidak minat pada makanan yang ada di hadapannya, tapi tetap saja sekeras apapun Valery menolak pada akhirnya perutnya membutuhkan nutrisi untuk diisi dan tenaga untuk bertahan hidup.
Hal yang gadis malang itu ambil adalah sandwich yang berisikan daging, sedikit demi sedikit gadis itu menyobek roti dan memakannya dengan lahap padahal tadinya dia tidak ingin memakannya tapi sekarang dia seperti menyukai sandwich itu, memang jika urusan makanan manusia bisa menghianati dirinya sendiri.
Setelah selesai memakan sarapannya rasanya Valery perlu untuk membersihkan dirinya mengingat saat dirinya dibawa kesini kakinya belum pernah menyentuh kamar mandi, dia membuka lemari yang berisi begitu banyak pakaian baru, melihat ini membuat Valery semakin tidak bisa menolak tawaran pria bermata bulat dengan gigi kelincinya.
"Aku yakin pakaian ini bukanlah barang yang murah, aku tidak bisa memakai sesuatu barang dari pemberian orang lain"
Tangan Valery berhenti pada gaun berwarna biru yang kelihatannya bukan pakaian baru karena pakaian itu terletak dibawah dan tidak tergantung dengan pakaian lain, gadis itu membawa gaun dengan panjang selutut dan tidak terlalu terbuka, kakinya terus melangkah kedalam kamar mandi yang ukuran sepanjang dengan satu kamar miliknya yang dulu.