Dua hari kemudian.
Selama ditinggal disini Valery kehilangan segala kebebasannya, seharusnya jika dia tidak ada disini mungkin dirinya sudah selesai mengikuti tes untuk ke Universitas harapannya di luar negeri, jika saja semua ini tidak terjadi Valery masih bisa menatap wajah sang ayah yang akan selalu menanyakan tentang hari-hari Valery yang telah dilewatinya selama pria tua itu pergi.
Walaupun Valery hanya anak angkatnya tapi selama dia tinggal dirumah itu tidak ada yang membedakan dirinya dengan kakak-kakaknya, sang ayah sangat sayang pada Valery karena dia adalah putri satu-satunya di rumah itu, selama Valery tidak menentang dan melanggar aturan rumah maka dia akan diberikan kebebasan dalam hal apapun.
"Ayah, Valery rindu ayah, rindu dengan semua kebebasan yang ayah berikan pada Valery" ucap Valery, kini gadis itu sedang duduk di jendela sambil menatap bulan purnama dengan bintang-bintang sebagai temannya.
Valery bagaikan seorang putri yang terkutuk di istana, menunggu sang pangeran untuk menjemputnya dan membawanya pergi dari semua kutukan dalam di istana itu.
"Nona, Tuan menunggu anda untuk makan malam bersama dibawah" ucap salah satu pelayan yang datang kedalam kamar Valery tanpa memberitahu dulu.
"Aku tidak ingin makan."
"Tuan menunggu anda Nona, Tuan juga berkata dia menunggu anda memberitahu pilihan Nona."
"baiklah aku akan turun."
Valery turun dari tempatnya berjalan mengikuti pelayan yang ada didepan setelah sekian lama akhirnya kakinya melangkah keluar dari kamar, berjalan menuruni anak tangga dengan langkah biasanya, Valery masih hanya mengenakan gaun berwarna pink muda, dia membiarkan rambut panjangnya terurai.
Hingga akhirnya kaki itu berhenti melangkah dimeja makan yang sudah dipenuhi dengan makanan yang mungkin akan menggoda untuk Valery, dia sampai menelan air liurnya karena suasana yang begitu tegang dan cukup mencengkram karena sekarang hanya ada dirinya dan juga pria yang sedang duduk di hadapannya.
"Lama tidak bertemu, kamu semakin terbiasa tinggal disini rupanya? Gadis yang penurut." ucap Darrel dengan seringai di wajahnya, dia meneguk wine di tangannya dalam satu tegukan, mengangkat kakinya untuk bertumpu pada kaki lain, dengan tatapan tajamnya dia menatap Valery penuh dengan minat seperti menunggu sesuatu hal yang takjub untuk di keluarkan dari mulut manis gadis itu.
"seperti kita tidak perlu melakukan hal yang membuang waktu, aku ingin mendengar jawabanmu sekarang." ucap Darrel lagi.
Valery masih menundukkan pandangannya, selama Darrel memberinya hari untuk berpikir wanita itu malah mengabaikannya dan pada akhirnya dia harus membuat keputusan sekarang.
"Kau tahu, aku tidak pernah bernegosiasi dengan seseorang sampai memberikannya waktu, biasanya aku akan langsung mengambil keputusan begitu saja, itu karena kamu Istimewa, kamu adalah peluang emas untukku dalam hal bisnis." ucap Darrel sambil menatap tajam kearah Valery.
"kau akan menjualku?"
"tidak sayang, bukankah aku sudah bilang kamu akan menjadi partner-ku, bekerja menjadi mata-mata untuk negara lebih mulia daripada menjadi seorang mafia."
Kata-kata yang begitu kejam dalam sebuah penghinaan yang Valery rasakan, dia menatap wajah pria di depannya dengan tatapan tidak terima, matanya langsung bertemu dengan mata Darrel yang begitu berbinar.
"kau membuatku kehabisan waktu!"
Darrel mendekati Valery menarik tangan wanita itu yang tentu saja langsung melakukan perlawanan tapi tetap saja tenaga yang wanita itu miliki tidak sebanding dengan tenaga Darrel, pria itu menyeret Valery sebuah akuarium besar yang terdapat di ruang tamu, didalam sana ada dua ikan hiu macan yang mungkin sedang kelaparan.
Darrel menempelkan tubuh Valery ke aquarium, menahan tubuhnya disana untuk menatap ikan-ikan kesayangannya, dengan seringai yang bisa membuat siapapun takut untuk berhadapan dengan Darrel.
"kau lihat? Itu adalah kesayangan yang ku rawat dengan banyak memakan korban yang tidak menurut padaku! Mungkin sebentar lagi kau akan salah satu dari mereka yang sudah pernah ku lempar ke dalam akuarium ini" ucap Darrel dengan nada kesalnya.
"Tuan—"
"apa? Sudah berubah pikiran? Ku kira kau bersedia menjadi makan malam untuk kesayangan ku." ucap Darrel, dia balik tubuh Valery untuk menghadapnya, memegang dagu mungil wanita itu.
"aku turuti kemauanmu Tuan."
"bagus, sesuai dengan keinginanku."
Darrel melepaskan Valery, membiarkan gadis itu jatuh ke lantai dan meratapi semua perkataan yang keluar dari mulutnya, kemudian dia melangkah meninggalkan ruang tamu dengan langkah bagaikan seorang pembunuh yang tidak kenal akan siapa yang ada di hadapannya.
Valery menangis sekencang mungkin, menangisi kehidupan yang tidak pernah kenal akan namanya sebuah ancaman atau paksaan, tidak ada satu orang pun dirumah ini yang bisa menjadi tempat bagi Valery mencurahkan perasaannya.
Hanya para pelayan yang merasa iba padanya yang akan membantunya, Valery kebawa kembali setelah dirinya tertidur karena terlalu lelah menangis, bukan para pelayan yang membawanya tapi Darrel sendiri yang mengembalikannya sendiri.
Meletakkan gadis itu ke ranjang miliknya, jika Valery menutup matanya maka saat itu sikap Darrel akan berubah menjadi pria biasa yang hanya mencoba menikmati indahnya kehidupan tanpa kenal akan kebahagian untuk dirinya.
"Selamat datang di dunia dimana kamu akan menjadi orang lain." ucap Darrel, dia menarik selimut untuk menutupi tubuh Valery, mematikan lampu kamar dan digantikan dengan lampu tidur yang tidak terlalu terang.
"Tuan Darrel, ada menerima telpon dari Tuan Johan."
"Baiklah kalian tetaplah berjaga disini, selagi aku menemui dia."
Darrel menerima jas yang diberikan salah satu anak bawahannya, dia berjalan seperti biasanya dengan tangan yang dimasukan kedalam saku celananya, di malam yang tidak kenal akan pagi itu seharusnya orang lain akan beristirahat untuk menghilangkan kepenatan lelahnya bekerja seharian, berbeda dengan Darrel yang harus bekerja dan baru bisa kembali beberapa hari kemudian.
Semua ini memang sebuah tanggung jawab yang harus dipikul olehnya sejak usianya 17 tahun, menjadi tangan kanan atau detektif untuk sebuah negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan, selain harus terus berganti-ganti identitas, seorang detektif harus sering bergaul dengan kalangan atas atau golongan mafia.
Setidaknya walau memang pekerjaannya melibatkan banyak senjata dan juga nyawa yang melayang karenanya, di mata negara dia adalah sebuah pahlawan malam yang tidak bisa secara terang-terangan membuktikan jika dirinya secara bersembunyi telah memberantas kejahatan yang terjadi di dunia penggelapan akan sebuah bisnis dan korupsi.
Dan satu hal yang harus menjadi pil pahit yang Darrel telan adalah kehidupan yang tidak pernah sejalan dengan keinginannya, dia hanya bekerja sebagai sebuah balas budi yang tidak tahu kapan akan berakhir, Darrel sama seperti yang lain, yang ingin menikmati indahnya kehidupan yang begitu bebas dan menjalankan sesuai dengan keinginan, tapi sebuah fakta yang terus menghantui hidupnya jika dia dilahirkan memang untuk menjadi seorang pembunuh namun tidak pernah diseret oleh kepolisian atau hukum negara.
"Tuan Johan, aku dalam perjalanan menuju tempat yang Tuan inginkan, kali ini ada hal berharga yang harus anda dengar, ini akan menjadi sebuah keuntungan untukku dan dirimu." ucap Darrel selalu ponsel tipisnya, dia berjalan ke sebuah klub bar dengan fasilitas seperti hotel bintang lima.
"Tuan Darrel. silahkan ikuti saya, Tuan Johan sudah memesan ruangan untuk pertemuan kalian." ucap seorang wanita pemimpin klub bar itu.
"baiklah, kamu cukup cantik dan sopan." ucap Darrel, dia merangkul pinggang wanita itu sambil berjalan ke arah ruangan VIP yang sudah menjadi tempat pertemuannya dengan seorang pertahanan negara, dia adalah orang yang melibatkan Darrel kedalam dunia hitam dan putih kehidupan.