Chereads / Petualangan Mavcazan / Chapter 20 - Ancaman

Chapter 20 - Ancaman

Mereka yang tengah kelaparan setelah pertandingan itu menyantap makanan menggunakan kedua tangannya untuk menggenggam makanan itu dan memasukan ke mulut mereka tanpa ada jeda sedikitpun. Silva yang semakin eneg melihat mereka, ia melayangkan tangannya ke punggung Bruno. Mulutnya yang masih penuh beragam makanan seketika ia muntahkan ke segala arah.

"Ugh! Kau memang jorok orang desa!" kata Silva seraya melihat muntahan di bajunya

"Hahaha! Mampus kau! Siapa suruh orang makan kau pukul," Bruno tertawa mengejek Silva.

"Habis kau makan terlihat seperti hewan. Bisakah kau hentikan? Itu membuatku jijik!" Tegas Silva.

"Ohh kau bisa memberi tahuku tanpa harus memukul punggungku juga kan, bodoh. Selain itu, mengapa hanya aku yang kau pukul," kata Bruno lanjut makan.

Dalam pandangan Silva, Max terlihat seperti sosok orang yang berwibawa dan patut dihormat. Padahal ia hanya belum tau sifat aslinya. Kemudian ia mengambil lap basah dan lap kering, membersihkan muntahan yang mengenai seragamnya.

Silva yang sudah merasa tenang, juga melanjutkan makan seraya tersenyum layaknya orang sinting. Max menghiraukan pertengkaran mereka dan menghabiskan makanannya dengan cepat. Mulut, hidung, pipi nya ada banyak sekali makanan yang menempel.

"Hei, setelah makan malam, maukah kalian tur keliling asrama ini?" tanya Max pada mereka berdua. Mereka berdua menjawab beberapa detik setelah selesai mengunyah makanan.

"Tur? Memang seru sih, tapi untuk apa?"

"Tentu saja, agar kita tahu letak ruangan-ruangan di asrama ini. Kita belum tahu bagian asrama ini. Terlebih lagi asrama ini nampaknya sangat luas. Mungkin pihak asrama tidak akan memandu kita untuk tur."

"Hmm.. kau benar juga, kawan. Sepertinya menyenangkan. Benar, kan orang desa?" kata Silva, Bruno hanya mengangguk.

"Baiklah, kalau begitu setelah makan malam kita akan melakukan petualangan kita yang pertama, hehe" kata Max terkekeh kecil.

Setelah para siswa dan professor selesai makan, Profesor Nepomuceno memberikan sedikit saran.

"Baiklah, para siswa sekalian. aku harap setelah makan malam ini, kalian semua segera kembali ke kamar kalian dan istirahatlah dengan cukup. Mulai besok adalah hari pertama kalian sudah mulai belajar dan berlatih di asrama ini. Jadi kalian harus menyiapkan kondisi badan dan tenaga, agar tidak jatuh sakit. Ingat!" kata Nepomuceno mendadak tegas.

"Dan jangan ada yang keluyuran malam ini. Apalagi sampai melakukan tur di asrama ini." Secara tak sengaja, pandangan Profesor Nepomuceno menghadap mereka bertiga dengan senyum ramahnya. Mereka bertiga merasa diawasi dan menunduk di belakang siswa lain.

"Bagaimana ini? Bagaimana profesor Nepomuceno sadar kita akan melakukan tur?!" kata Silva pelan.

"Sepertinya beliau tidak tahu, itu hanya kebetulan saja ia senyum di hadapan kita bertiga." Bruno mencoba menenangkan suasana.

"Ya kau benar, itu hanya kebetulan," Max menambahkan.

Kemudian Tuan Nepomuceno mempersilahkan mereka pergi, satu persatu para siswa mulai bangkit dari kursi, meninggalkan ruang makan dan kembali ke asrama masing-masing. Namun tiga pemuda licik itu awalnya berjalan menuju asrama, tapi kemudian mereka berbelok menuju sisi lorong lainnya dan berlari secepat mungkin agar tidak ada yang melihat mereka.

"Sepertinya disini aman."

"Ya, memang aman disini, sangat sepi. Tidak ada orang selain kita," kata Max tersengal. Mereka berada di sebuah koridor yang gelap nan panjang. Bruno yang seharian sudah mengeluarkan sihirnya, belum lagi berlari menerus badannya terasa hancur dan nyaris pingsan.

Latihannya selama ini dan semangatnya lah yang membuat tubuhnya semakin kuat sedikit demi sedikit. Bruno tetap memaksakan tubuhnya demi ikut tur asrama Green Vallen bersama sahabatnya dan orang idiot itu. Pandangannya kabur, tubuhnya lemas, tetapi Max dan Silva lebih fokus mewaspadai jika ada orang yang mengikuti mereka.

Baru saja merasa lega terhindar dari pengawasan orang-orang. Tiba-tiba ada seseorang di belakang mereka seraya memberi isyarat batuk. Mereka bertiga melonjak terkejut dan menengok ke belakang dengan perlahan. Cadmus, Kepala Asrama SouthEater tepat di belakang mereka hanya beberapa centi saja.

Meski tubuhnya kurus, dengan tekanan auranya, ia mampu membuat mereka bertiga menggigil ketakutan seraya mencoba tersenyum ramah.

"H...Hai, Tuan Cadmus. M...malam yang cerah, bukan?" kata Silva mulutnya bergetar ketakutan.

"Ya, kau benar Silva. Malam cerah begini biasanya aku menggantung kepala siswa dan setelah itu membakarnya hidup-hidup di halaman depan yang mencoba menentang perintah profesor Nepomuceno. Apa kalian tertarik?" tatapan Cadmus melebihi pembunuh. Tajam, dingin, memekik belum lagi senyumannya seperti ada niat membunuh seraya mengasah pisau sakunya ke tembok.

Perkataan sadis, senyuman dan tatapan memekik membuat bulu kuduk mereka berdiri dan berlari terbirit-birit seraya berteriak, "Maafkan kami, Maafkan kami, tuan!"

Mereka berlari asal-asalan, semua mereka senggol bahkan sampai mendorong orang yang menghalangi jalan mereka. Kemudian mereka kembali ke kamar dan mengunci pintu berjaga-jaga siapa tahu Cadmus memang berniat membakar mayat mereka hidup-hidup.

Mereka tersengal-sengal, saking takutnya kaki mereka tak henti-hentinya gemetar. Bruno yang tadinya merasa lemas, mendadak hilang dan ketakutan.

Cadmus memiliki tatapan yang sangat ramah, rambutnya sangat berantakan namun itu menjadikan dirinya terlihat lebih sangar. Dibalik keramahannya, Cadmus sangat membenci orang-orang yang tak mentaati peraturan.

Bahkan ia mempunyai prinsip 'Tata tertib diciptakan untuk ditaati, bukan untuk dilanggar'. Bagi Cadmus, hanya orang bodoh mempunyai prinsip yang berkebalikan dengannya.

"Sialan, apa tuan Cadmus memang sadis seperti itu? Padahal saat pembukaan ujian tadi ia terlihat ramah" kata Bruno heran.

"Aku tidak tahu. Yang jelas aku tak ingin mayatku dibakar hidup-hidup olehnya," kata Max pada Bruno dan Silva. Mereka berdua hanya mengangguk, setuju dengan perkataan Max.

Tahu-tahu saja ada yang mengetuk pintu kamar mereka dengan keras. Sontak mereka semua heboh mencari tempat persembunyian.

Mereka pikir tuan Cadmus menyusul sampai asrama. Tetapi suara yang sedikit ramah memanggil nama Bruno di balik pintu kamar mereka. Karena takut ditipu, Bruno hanya berdiam di dalam lemari.

"Hei, Orang Desa. Dia memanggilmu keluar sana, cepat! Jangan sampai melibatkanku," Silva semakin ketakutan.

"Keluar saja Bruno. Kuharap tuan Cadmus tidak membakar mayatmu di depan Arstya" Max mencoba mendukungnya.

Bruno perlahan keluar dari lemari dan berjalan menuju pintu, kakinya masih gemetar membuat jalannya berbelok-belok. Suara itu semakin keras dilanjutkan mengetuk pintu. Bruno memegang gagang pintu dan membuka pintu itu hanya sebesar mata seraya mengintip dari dalam.

Ternyata bukan tuan Cadmus yang mendatangi mereka. Peserta baru seusia mereka bernama Rocky. Tubuhnya kecil dan pendek, wajahnya terlihat ceria, seraya membawa perban yang kusut.

"Hai, namaku Rocky. Sebelumnya, maaf mengganggumu. Aku hanya ingin mengembalikan perban yang kau jatuhkan saat kau berlari di tangga tadi" Rocky menjulurkan tangannya dan Bruno menerimanya dengan gemetar. Bruno yang baru menerima perbannya, baru sadar jika perban yang melilit tangannya lepas.

"Ngomong-ngomong, kenapa kau dan temanmu berlari? Kalian terlihat seperti dikejar-kejar pembunuh," kata Rocky penasaran.

"Tidak.. itu tidak benar," tak mungkin Bruno membenarkan perkataannya dan mengaku dia akan dibakar hidup-hidup.

"Baiklah kalau begitu aku kembali ke kamarku. Sampai jumpa besok."

"Terimakasih atas perbannya," kata Bruno sedikit menahan tawa melihat rambut mangkuknya, sangat aneh.

Bruno merasa pikirannya sedikit lebih tenang, setelah tahu Cadmus tidak menyusul mereka. Ia menghela nafas panjang seraya melilitkan kembali tangannya dengan perban krim yang kusut.

"Mau sampai kapan kalian bersembunyi. Keluarlah, kita sudah aman," mereka berdua keluar seraya menengok kanan kiri masih mewaspadai kedatangan Tuan Cadmus.

"Tadi siapa yang datang?"

"Oh hanya peserta baru seperti kita, namanya Rocky. Dia datang mengembalikan perbanku yang jauh di tangga," kata Bruno menunduk masih melilit tangannya. Ia yang terlihat kesulitan memakai perban itu, dibantu oleh Max dengan cepat.

"Selesai," kata Max sembari melihat jam.

"Ini sudah jam 9 lewat, lebih baik kita tidur secepatnya. Besok kita mulai latihan jam enam pagi," ucap Max, merapikan tempat tidurnya.

"Darimana kau tahu kita akan latihan sepagi itu?"

"Aku bertanya pada perawat yang merawatku tadi. Dia bilang latihan dimulai jam 6 pagi dan sarapan dimulai jam 5 pagi."

"Memang bukan omong kosong, asrama ini memang keras terhadap para siswanya," kata Silva menggelengkan kepala. Kemudian mereka berbaring di kasur mereka masing-masing dan berlomba-lomba untuk tidur secepatnya.