Keesokan harinya, cuaca sangat cerah, tak ada awan yang menutupi sinar matahari yang menyorot Green Vallen. Namun asrama itu masih dipenuhi dengan salju es dan tiupan angin langit yang masih membuat bulu kuduk berdiri saking dinginnya.
Bruno yang sudah berjanji menemui Suster Hanna setiap pagi, di hari pertama janji dengannya tidak bisa dipenuhi. Suster Hanna sedang tidak di rumah sakit dan hanya ada Bruno seorang diri seraya kebingungan menggeledah lemari ramuan.
Tiga menit mencari, ia tak menyangka Suster Hanna menaruh ramuan itu paling dasar lemari, di bawah tumpukan ramuan lainnya. Pagi-pagi gini ia udah dibuat repot oleh Suster Hanna, pikirnya.
Kemudian ia melihat ramuan itu, yang bentuk, bau, warnanya sama menjijikkannya dengan kemarin malam. Jangankan minum, hanya melihat ramuan itu saja, isi perut Bruno terasa mau keluar semua.
Ia berpikir minum ramuan itu di rumah sakit bukanlah ide bagus, takut ketika ia memuntahkan ramuan itu dan mengotori rumah sakit yang bersih dan wangi seperti buah apel. Ia berjalan cepat menuju kamar mandi yang letaknya tak jauh dari rumah sakit.
Ia berdiri di depan wastafel dan cermin besar yang menempel di tembok. Ia melihat ramuan yang ia pegang selama 5 menit. Bruno membuka tutup botol ramuan itu, dan mendadak ia melihat aura menjijikkan keluar dari botol itu. Aura itu seperti menandakan jika seseorang meminum ramuan itu ia langsung mati. Ia menjulurkan badannya, menjauh dari ramuan itu.
"Sial, aku bisa mati jika minum ramuan itu."
Bruno terlihat panik, seperti ajalnya sedang menunggu. Bel pertanda pelajaran sudah berbunyi diseluruh asrama. Bruno yang terkejut, tak pakai pikir langsung menghabiskan ramuan itu tanpa sisa dengan 2 tegukan.
Mendadak ia memuntahkan sesuatu namun bukan ramuan itu. Ia terlihat sangat menyesal meminum ramuan itu, perutnya seperti dipenuhi racun yang siap melahap nyawanya. Meskipun begitu ia merasa kebingungan.
Ramuan mematikan itu ternyata memiliki rasa mint anggur yang menyejukkan tenggorokan. Bruno tak habis pikir, apakah dia akan minum ramuan itu lagi atau tidak. Ia cepat-cepat meninggalkan kamar mandi dan berjalan menuju halaman seraya memegangi perutnya, menahan rasa eneg ramuan tadi dan berjalan dengan kaki yang gemetaran.
Teman-temannya, termasuk Max dan Silva sudah berkumpul di halaman, namun belum ada pengajar yang akan melatih mereka di pagi ini. Max dan Silva yang melihat Bruno berjalan tak karuan tiba-tiba menganga, terbelalak, kebingungan, tawa mencampur jadi satu.
"Hei Bruno, kenapa berjalanmu seperti itu?"
"Mampus kau, Orang Desa. Apa perutmu mau meledak karena kebanyakan makan?" tanya mereka berdua sembari tertawa keras, memukul rumput halaman.
Bruno yang kesal ingin sekali membakar wajah menyebalkan Silva dengan sihirnya, namun profesor Catherine datang, ketika Bruno sedang berusaha menciptakan bola api dengan tangannya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Catherine dingin tepat di belakangnya.
Bruno melonjak kaget ke arah Silva. Siswa kelas satu yang mengetahui Catherine datang, spontan gerak cepat membuat barisan. Kemudian mereka memberi salam hormat pada Catherine yang berdiri depannya.
"Baiklah, anak-anak. Hari ini aku yang akan mengajar kalian." Bruno, Max dan Silva tercengang mendengar perkataan yang Catherine ucapkan. Bruno mengacungkan tangannya tinggi-tinggi.
"Tapi profesor, bukankah anda ketua Asrama Higibana? Bukankah anda tidak bisa menggunakan mantra khusus sihir?"
Catherine tak menjawab pertanyaan Bruno. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya dari mulut tanpa terdengar suara hembusan nafas. Mengacungkan tangannya tinggi-tinggi juga, dengan jari telunjuk yang berdiri tegak, tiba-tiba telunjuknya terlihat percikan api. semakin lama, percikan api itu semakin banyak diikuti asap yang timbul akibat percikan itu. Mendadak api itu menjulur, terbang ke langit dan menghasilkan ledakannya yang indah. Namun getaran ledakan itu mengguncang seisi halaman.
"WOW... sihir apa itu?" Rocky terkesima melihat sihir yang dimiliki Catherine. Bruno, Max dan Silva hanya menganga sembari melotot ledakan yang mengguncang halaman itu.
"Itulah sihirku, Sihir Ledakan. Aku bisa membuat ledakan menggunakan sihirku. Meskipun efek dan dampaknya tidak seberapa."
Catherine mengibaskan rambut sedang lurusnya, layaknya sedang menggoda iman para siswa.
"Aku adalah satu-satunya profesor wanita yang bisa menggunakan sihir sekaligus ahli ramuan." Bruno hanya tepuk tangan pelan, mulutnya masih menganga, "Hebat, professor. Sangat hebat!" Senyumnya nampak setelah isi perutnya hampir keluar.
Selama 6 jam Catherine melatih mereka. Bruno yang meminum ramuan itu tak merasakan efeknya sama sekali. Ia bahkan langsung istirahat setelah menggunakan sihirnya pada Catherine. Max memanggul Bruno, membawanya ke ruang makan dan Silva dari belakang mengikuti mereka seraya tertawa melihat Bruno tak berdaya.
Selesai makan siang, Bruno meminta Max menemaninya istirahat di halaman depan. Silva lebih memilih istirahat di kamar sembari rebahan, badannya lemas, kakinya tak sanggup lebih lama menopang badannya.
Bruno juga turut tidur terlentang di atas bangku yang panjangnya 3 meter itu. Ia sendiri sebenarnya juga tak sanggup mengikuti latihan lagi. Merasa menyesal karena dirinya tak berguna di hari pertama latihan, membuat pikirannya semakin memburuk mengingat ia diterima sebagai siswa.
"Mengapa asrama ini mengizinkanku latihan disini? Apa mereka tak salah nama? Aku ini lemah, hanya beban buat teman-temanku. Tak seharusnya aku berada disini. Aku ingin pulang. Aku ingin pulang."
Wajah Bruno sangat suram.
Dari arah gedung utama, muncullah Arstya dan Myne yang menghampiri mereka yang sedang duduk santai dibangku halaman.
"Hei Bruno, Hei Max," sapa Arstya, pandangannya beralih ketika melihat Bruno yang sedang terkapar dibangku.
"Hei, Bruno. Mengapa kau tidur disini?" Bruno tak menjawabnya, membuka mulut saja tidak.
Pikiran buruknya masih menguasai dirinya, sapaan perempuan yang ia cintai pun tak sanggup membendung penyesalannya. Max membangunkan Bruno dengan menggoyahkan kakinya selama satu menit. Ia pun bangun dan terkejut, di hadapannya ada bidadari berdiri yang sedang memasang wajah khawatir padanya.
"Bruno, kau baik-baik saja, bukan?" suara lembutnya membuat wajah Bruno memerah, terlebih Arstya bertanya sembari wajah imutnya yang cemas dengan Bruno, Max menggelengkan kepala melihat kisah cinta temannya yang sangat memalukan.
"Tidak, aku tidak apa-apa. Aku hanya sedikit kelelahan," Bruno mencoba mengelak.
"Tapi wajahmu pucat sekali. Apa kau tak mau istirahat di rumah sakit?" Bruno memandang Max dengan tatapan bosan, namun Max menghiraukannya.
"Tidak, aku sudah bosan. Kami berdua kemarin istirahat penuh di rumah sakit."
"Oh pantas saja, kemarin aku mencari kalian tidak ketemu, ternyata kalian di rumah sakit," kata Arstya lega.
"Tapi mengapa kalian di rumah sakit saat teman-teman kalian latihan mati-matian?" Myne menyela.
"Tuan Cadmus yang menyuruh kami istirahat, jadi kemarin selama satu hari aku dan Max tidak mengikuti latihan apapun dan hanya memandang teman-teman asrama yang sedang semangat membara mengikuti latihan itu." Arstya mendadak diam, memikirkan sesuatu.
"Hei, aku teringat pelajaran kemarin. Aku dengar pengajarku berkata ada ramuan yang bisa menyangkal kelemahan..."
"Ya, aku sudah meminumnya tadi." Bruno menyela cepat seraya menundukkan kepala.
"Maaf Arstya, Myne. Sepertinya moodnya sedang tak baik. Gaya bicaranya juga tidak normal. Lebih baik kalian meninggalkannya untuk sementara."
Max merisik pada Arstya dan Myne. Mereka mengangguk cepat dan meninggalkan Bruno dan Max dengan cepat pula.
"Bye, Bruno. Sampai jumpa lagi" kata Arstya sembari mengibaskan tangannya, dan tersenyum kecil masih cemas karenanya. Bruno yang melihat mereka pergi hanya tersenyum paksa.
"Apa tadi kamu mengalami mimpi buruk? Atau membayangkan hal yang buruk? Atau kau memang sakit?" Max mencoba mengeluarkan semua pertanyaan yang ada di kepalanya.
Bruno mengangguk, "Kurasa pertanyaan kedua yang paling tepat. Aku bahkan tidak tahu barusan aku tidur atau tidak. Yang aku tahu, pandanganku gelap karena penglihatanku tertutup tangan. Tapi setelah gelap, tiba-tiba aja aku di suatu tempat hanya bersama guruku." Max yang mencoba memahaminya semakin kebingungan.
"Hahaha, pembicaraan kita semakin rumit. Kita anggap saja kau sedang membayangkan hal buruk. Selain itu baru kali ini kau bertemu dengan Arstya terlihat biasa-biasa saja. Apa karena latihan tadi?"
"Tidak. Ini semua salahku yang selalu memaksakan masuk asrama ini. Cita-citaku menjadi Raja Penyihir mungkin memang suatu yang hampir mustahil. Sedangkan aku masih memiliki kelemahan ini, yang selalu menghalangi impianku," kata Bruno, menundukkan kepala merenung.
Max menepuk bahunya dan mencengkeramnya. "Semua orang punya kelemahannya tersendiri. Bahkan orang hebat seperti Raja Penyihir pun punya kelemahan. Tinggal bagaimana kita menyembunyikan dan menghilangkan kelemahan itu. Tentu saja untuk menghilangkan kelemahan itu, kau tidak bisa menghapus dengan usahamu sendiri, kau butuh bantuan orang lain. Karena itu lah aku selalu menolongmu menghadapi kelemahanmu itu."
Bruno yang mendengar ucapan Max, pelan-pelan air matanya mengalir membasahi wajahnya, meski ia tak tahu apa yang Max bicarakan. Mungkin ia menangis karena terharu bangga punya teman setia seperti Max, atau kebingungan memahami semua perkataannya?