Kemudian mereka memasuki gedung utama bagian belakang, suasananya sedikit menenangkan ketika pagi hari. Mereka berjalan tenang menuju rumah sakit. Melewati koridor-koridor bagian luar, terpapar sinar matahari.
Meskipun matahari sangat menerik, mereka masih saja kedinginan. Angin-angin yang menerpa mereka pastilah melalui pohon-pohon yang diselimuti salju tebal. Saking dinginnya, mendadak mereka mempercepat langkah mereka dan bergegas menutup pintu rumah sakit sangat rapat.
Beruntunglah di rumah sakit ada selimut putih tebal disetiap kasurnya. Mereka yang dari tadi menggigil, buru-buru melepas sepatu dan kaos kaki, tak pakai basa-basi langsung membungkus kaki sampai leher mereka. Tangannya mencengkeram spray kasur, berharap hawa dingin di sekitar mereka segera hilang.
Hening lumayan lama, datanglah perawat rumah sakit dengan senyum ramah seraya membawa ramuan dan obat-obatan.
"Bukankah kalian yang kemarin dirawat saat ujian masuk itu? Ternyata kalian sudah resmi menjadi siswa Green Vallen, ya? Syukurlah," ungkapnya sambil menaruh obat dan ramuan di dalam lemari.
Entah mengapa mereka bertiga yang mendengar itu sedikit geram. Dikenal bukan karena kekuatan tetapi mereka yang belum-belum sudah dirawat di rumah sakit saat ujian masuk belum usai.
Terlebih lagi awal masuk rumah sakit, perawat itu tidak menanya alasan mereka rebahan di rumah sakit saat jam pelajaran, pikir Bruno.
"Kenapa kalian berada di rumah sakit, bukankah aku kemarin bilang kalian tidak terluka parah dan sudah bisa mulai latihan?" hening sejenak, tiba-tiba emosi perawat itu melonjak.
"Oh kalian pasti membolos di hari pertama pelajaran, ya? Keluar kalian!" geram perawat itu. Mereka bertiga yang sedang menikmati hangatnya selimut rumah sakit, seketika melonjak kaget, ketakutan. Max dengan berani menceritakan alasan mereka berada di rumah sakit.
"Hahaha... kenapa kalian tidak bilang. Baiklah tak apa." Mereka semakin memendam amarahnya, Bruno berpikir bagaimana ia bisa menceritakan alasan mereka jika baru setengah menit dirumah sakit sudah geram tanpa tanya apa-apa.
Perawat itu membuka lemari yang bersebelahan dengan lemari obat. Setelah tangannya sibuk di lemari itu, perawat itu berjalan menuju mereka dengan membawa makanan dan camilan. Tangannya penuh, terlihat dari mukanya yang kesulitan membawa semua makanan itu dan menaruh di tiga meja yang berbeda bersebelahan dengan kasur mereka.
"Makanlah, aku punya banyak stok makanan dan snack di lemari itu. Kalian boleh mengambilnya jika kalian mau." Mereka bertiga mengangguk diam, amarah dan ketakutan mereka masih menggebu-gebu.
"Kalau begitu aku tinggal dulu, Ingat!" tiba-tiba emosinya melonjak lagi.
"Jika kalian pergi dari rumah sakit ini tanpa izin dariku. Akan kupastikan leher kalian terpisah dari tubuhnya!" perawat itu membanting pintu dari luar dan meninggalkan mereka bertiga.
Mereka mulai mencicipi makanan itu satu persatu dan sangat pelan layaknya sedang sakit gigi. Mood mereka hancur ketika mereka tidak ikut latihan di hari pertama mereka sebagai siswa Green Vallen.
Ditambah lagi omelan perawat itu yang memompa naik turun amarah mereka. Setelah bosan mencicipi makanan itu, mereka kembali mengistirahatkan badan. Di atas ranjang mereka hanya membolak-balikkan badan seperti sedang berjemur di bawah atap.
Memaksakan tidur tapi mata mereka masih belum menampakkan kantung mata. Hanya terdengar suara kasur yang mendecit.
Hening beberapa menit, Bruno memulai pembicaraan.
"Apa kalian tidak bosan dari tadi berbaring sambil menatap langit-langit rumah sakit?"
"Tentu saja, dasar bodoh. Apa kau lihat dari tadi aku hanya bolak-balik badan seperti ikan dibakar," ungkap Silva. Bruno tak membalas perkataannya dan suasana hening kembali.
Dari lubuk hati terdalam, mereka semua sangat bosan. Ingin ikut latihan namun dilarang, mau tidur tapi belum waktunya, ingin tur asrama takut kehilangan nyawa mereka. Terlihat mereka seperti mayat hidup yang sedang berbaring di atas tempat tidur.
Max yang sudah tak tahan dengan suasana hening dan membosankan ini, mencoba mencari topik cerita.
"Hei, Silva. Apa kau pernah bertemu dengan Raja Penyihir?"
"Aku belum pernah melihat wajahnya secara langsung. Tapi aku pernah melihat fotonya di buku biografi Tuan Caesius yang aku beli di distrik perbelanjaan pusat Ibukota. Meskipun tampangku begini, aku adalah fans berat Tuan Caesius nomor satu."
Tahu-tahu Bruno bangkit dari kasurnya.
"Ha? Fans berat" katanya tertawa. "Jangan mengaku fans beratnya jika kau tidak tahu semua tentang tuan Caesius."
"Bagaimana aku tidak tahu tentang Raja Penyihir? aku punya buku biografinya, tentu saja buku yang aku punya sangat lengkap dan aku tahu semua. Selain itu kenapa kau tiba-tiba emosi, orang desa!? Memang kau tahu apa tentang Tuan Caesius!"
Kemudian mereka adu mulut. Max menyesal menanyakan hal itu pada Silva, dan dia sendiri baru tahu Silva ternyata sangat fanatik terhadap Raja Penyihir seperti Bruno.
"Tapi aku pernah sekali bertemu dengan mantan tangan kanannya" kata Silva tanpa ekspresi.
"Mantan tangan kanannya? Maksudmu Penasehat tuan Caesius sebelum tuan Cassanova? Memangnya siapa?" tanya Max penasaran.
"Dia bernama David Llictro. Setahuku dia sekarang tinggal di Desa Hakuba, desa tempat tinggal kalian. Apa kalian berdua mengenalnya?"
Mereka yang mendengar hal itu hanya tertawa melengking. Silva yang bercerita jujur sepenuh hati merasa dirinya dianggap ceritanya mengada-ngada.
"Mengapa kalian tertawa? Apa itu lucu?"
"Tentu saja lucu, Kepala Lemon. Guru David adalah guru sihirku saat aku tinggal di desa. Dia sendiri sudah kuanggap sebagai ayah. Mana mungkin ia pernah menjadi penasehat Raja Penyihir. disisi lain dia tidak pernah bercerita apapun tentang itu," kata Bruno memegang perutnya, tak sanggup menahan tawa.
"Terserah kalian saja." Silva merajuk dan balik badan mencoba menahan amarahnya, ia pikir itu lebih daripada menyerang Bruno dan kehilangan nyawanya melanggar perintah Cadmus. Mereka yang masih tak percaya omongan Silva, semakin menaikkan volume tawanya sampai melengking. Suara mereka mengundang perawat itu datang.
"BISAKAH KALIAN DIAM! ATAU AKAN KUHAJAR SAMPAI TUBUH KALIAN TERBELAH MENJADI DUA!"
Mereka yang mendengar luapan amarah itu, panik berkeringat, buru-buru menaikkan selimut menutupi kepala dan pura-pura tidur. Silva yang mendengar itu hanya menutup mulut sembari tertawa lepas.
Tak terasa mereka menghabiskan waktu tidur di rumah sakit selama 8 jam. Jam sudah menunjukkan pukul 5 sore. Mereka yang terbangun terlihat seperti orang mabuk. Kepala Bruno sedikit pusing setelah tidur selama 15 jam dari jam 10 malam kemarin.
Belum lagi pagi tadi mereka panik dan tak sengaja tidur dari jam 9 pagi. Bruno memandang sekeliling rumah sakit sembari mengumpulkan nyawa yang masih bermain di alam mimpinya. Tubuh mereka sangat lemah lunglai, otot dan syaraf mereka sedikit tegang.
Mereka yang seharusnya beristirahat sembari menunggu makan siang, justru mereka melewatkan momen untuk berbicara dengan teman asramanya disaat jam makan siang. Si perawat meninggalkan beberapa makanan lagi di atas meja mereka. Mereka yang merasa tak lapar, buru-buru mengembalikan makanan itu di lemari dan meninggalkan rumah sakit.
Perjalanan menuju kamar, mereka bertemu dengan Neger.
"Wajah kalian seperti penyihir tua. Lemah lunglai, kusut, menjijikkan. Apa seburuk itu latihan di asrama ini?" tanya Neger. Mereka menggelengkan kepala.
"Kami tak sengaja ketiduran selama 8 jam di rumah sakit itu" ucap Max pelan sembari membersihkan air liur di mulutnya.
"Siapa yang menyuruh kalian tidur disaat teman-teman kalian sedang latihan?!" Neger mendadak marah, membuat mereka terbangun, terkejut melangkah ke belakang.
"T…Tuan Cadmus yang menyuruh kami. Dia bilang kami harus istirahat selama satu hari." Neger yang merasa bersalah membentak mereka,
"Oh…Baiklah."
Lalu ia meninggalkan mereka dengan seenaknya.
"Tunggu tuan Neger...." Silva memanggilnya membuat langkah kaki Neger terhenti. "Dimana siswa yang lainnya? Ini sudah hampir jam makan malam. Tapi aku tak melihat satu orang pun yang melewati lorong ini."
"Apa kalian tidak tau? Di asrama ini para siswa selesai pembelajaran dan latihan mereka akan selesai jam 7 malam."
"Jam 7 Malam!?" teriak mereka bertiga, terkejut.
"Ya, benar. Dan ada 2 kali waktu istirahat, ketika jam makan siang dan jam 3 sore. Sudahlah aku harus pergi sekarang. Masih banyak hal yang harus aku selesaikan."
Pikir Bruno, bisa saja ia mati beberapa hari kemudian setelah mengikuti latihan neraka itu. Terlebih lagi fisiknya yang lemah sejak lahir menjadi permasalahannya tersendiri. Ia juga belum menemukan sesuatu yang bisa menghilang kelemahannya, seperti yang David katakan ketika ia menyarankan Bruno untuk belajar di asrama ini.
Terlintas di pikirannya, Bruno menghentikan langkah Neger lagi dan membuatnya muak. Tapi sekejap ia langsung menanggapi serius ketika Bruno memasang wajah memohon dan bertanya dimana perawat itu berada saat ini.
Neger pun memberitahunya jika perawat itu sedang berada di kantor tuan Cadmus. Bruno membungkuk, berterima kasih dan meninggalkan mereka bertiga di lorong itu, berlari sangat cepat. Max dan Silva hanya melongo kebingungan, kemudian beranjak ke kamar setelah mereka memberi salam pada Neger.
Bruno memutari tangga spiral berbahan dasar besi sangat keras sehingga dentuman kakinya mengundang perhatian orang lain. Sampai di depan kantor tuan Cadmus, Bruno mengetuk pintu itu dengan suara yang tak pelan, juga tak keras.
"Saya Bruno Mavcazan dari Asrama SouthEater, saya ingin menemui perawat rumah sakit. Bolehkah saya masuk?"