Salamnya tak dijawab satu orang pun, namun Bruno mendengar suara samar-samar dari kantor itu. Sekiranya ada 2 pria dewasa dan 2 orang wanita yang sedang berdiskusi. Bruno yang tersengal beristirahat di dekat kantor itu.
Tak sengaja, Bruno mendengar suara tuan Cadmus yang mencoba berusaha bertutur rintih, namun suaranya sedikit kejam.
"Apa kalian mau tanggung jawab ketika ada siswa kita yang mati? Sangat berbahaya kalau tuan Caesius meminta bantuan dari asrama siswa untuk membantu kerajaan perang dengan Esteria. Selain itu mental siswa jaman sekarang terlihat lemah, mereka manja dan tidak dapat diandalkan."
"Tenanglah, Cadmus." Bruno mendengar suara profesor Catherine. "Untuk itulah asrama ini dibentuk. Kita akan melatih mental, fisik dan kesiapan mereka. Jika kita tidak mengajari mereka, lantas siapa yang akan jadi penerus kita?"
"Apa kau tidak tahu? Kemarin ada 3 peserta yang tumbang di ujian masuk. Sebelumnya tidak ada kejadian seperti itu. Jelas sekali anak jaman sekarang memang tidak bisa diharapkan." Bruno yang mendengar itu mukanya memerah, tangannya mengepal keras.
Tuk...Tuk...Tuk….
Suara ketukan pintu terdengar menyaring itu menghentikan pembicaraan mereka.
"Siapa di luar?"
Tanpa izin dari Cadmus, Bruno langsung membuka pintu itu sangat keras. Wajahnya kemerahannya tak bisa disembunyikan, tangannya masih mengepal, lebih keras dari sebelumnya.
"Bicaralah, nak." Cadmus terlihat buru-buru.
"Aku mencari perawat rumah sakit, apa beliau ada? Aku ingin berbicara dengannya," nadanya sedikit kasar untuk orang yang meminta tolong pada orang lain. Perawat itu menghampiri Bruno dan sedikit menekuk lututnya.
"Maaf nak, aku belum memperkenalkan diri. Namaku Suster Hanna, kau bisa memanggilku Suster. Jika kau ingin bicara padaku, nanti saja nak. Setelah makan malam kau bisa temui aku di depan ruang makan. Saat ini aku sedang membicarakan hal penting. Kuharap kau mengerti," kata Suster pelan sembari mengusap kepalanya mencoba menenangkan Bruno.
Seperti suster pada umumnya, ia menggunakan seragam suster dan topi di atas kepalanya. Malangnya topinya terlalu kecil untuk kepalanya yang cukup besar. Di umurnya yang cukup tua, Hanna masih nampak segar seperti suster muda.
Hanna tahu Bruno mendengar ucapan Cadmus yang memang keterlaluan. Bruno pun mengangguk, amarahnya tak setitik pun menurun dan meninggalkan kantor Cadmus sama cepatnya.
Sesampainya di kamar, Max dan Silva melihat Bruno dengan tatapan penasaran.
"Hei, Bruno, kau tadi nampak sedikit cemas, dan sekarang wajahmu memerah. Ada apa kawan? Sini cerita dengan kami."
"Dia benar. Kau tadi juga terlihat terburu-buru dan meninggalkan kami begitu saja."
Hatinya yang masih memanas, pikirannya tidak bisa dikendalikan, Bruno hanya menggelengkan kepala.
"Tak apa. Tidak ada yang harus dikhawatirkan," katanya rintih.
Bruno berdiri di depan jendela kamarnya dan melihat teman-teman asramanya yang masih bersemangat berlatih di halaman itu. Professor Vorn, wakil kepala asrama yang sedang mendidik mereka. Ia melatih fisik para siswanya dengan push up, sit up, lunge pulses dan berlari kecil mengelilingi lapangan sebanyak 25 kali setiap hari.
Meskipun terlihat melelahkan, namun para siswa kelas satu tidak sekalipun memperlihatkan rasa capeknya, malah semangatnya lebih tinggi dari pagi tadi. Mendadak Bruno tersenyum kecil, tak sabar ikut latihan dengan teman asramanya.
"Ini sudah hampir jam 8, lebih baik kita persiapan makan malam," kata Bruno sembari mengarah ke pintu. Max dan Silva mengiyakan dan mengikutinya.
Setelah makan malam, sesuai janji Suster Hanna, ia akan menunggu Bruno di depan ruang makan. Max dan Silva mendahuluinya menuju kamar dengan perutnya yang sedikit membuncit, penuh akan makanan.
"Baiklah nak, apa ada yang ingin kau katakan? Raut mukamu terlihat serius tadi."
"Aku langsung ke intinya saja Suster, Apa anda punya sesuatu yang bisa menghilangkan kelemahanku?" suster Hanna terkejut mendengar permintaannya.
"Tapi apa kelemahanmu, Nak? Kau belum memberitahuku."
"Aku hanya bisa menggunakan sihirku sekali dalam sehari. Dan setelah menggunakannya, tubuhku tidak bisa digerakkan layaknya mayat hidup. Kenalanku bilang di asrama ini punya sesuatu yang bisa menangkal itu."
"Kenalanmu? Siapa?" Suster Hanna sedikit tegang, merinding memandang wajah Bruno yang serius nan dingin.
"David Llictro, beliau adalah guru sihirku saat aku masih tinggal di desa."
"Oh David ya... baiklah jika dia yang memintamu. Aku akan memberimu ramuan, tapi ramuan ini tidak terlalu manjur. Sihirmu tetap tidak akan berfungsi setelah kau gunakan. Tapi setidaknya tubuhmu masih bisa bergerak."
Bruno pun mengangguk, mengiyakan perkataannya. Lalu Suster Hanna membawanya ke rumah sakit dan memberikan ramuan itu.
"Kau kenal guru David ya, suster?" tanya Bruno penasaran.
"Tentu saja aku mengenalnya, dia penyihir yang hebat. Aku sudah 20 tahun lebih tinggal di asrama ini. Aku sudah kenal banyak penyihir hebat, diantara mereka adalah David dan Caesius yang saat ini menjadi raja di Kerajaan Okuba."
"Bahkan saat tuan Caesius belajar disini, anda sudah menjadi suster di asrama ini?" tanya Bruno sedikit terbelalak.
"Jarak umurku dengan Caesius hanya berbeda 10 tahun. Aku menjadi suster di rumah sakit ini bersamaan dengan Caesius yang saat itu masih menjadi siswa tahun kedua dan David yang baru menjadi siswa di asrama ini."
Bruno terbelalak sekaligus terkagum dengan fakta gurunya yang selama ini tidak ia ketahui. Dia memang belum mengenal gurunya lebih dekat lagi, pikirnya.
"Ini ramuannya nak," suster Hanna menjulurkan tangannya, memberi Bruno ramuan berwarna hijau gelap, cairannya sedikit kental, baunya sedikit menyengak di hidung layaknya seperti minum sampah dalam botol.
"Ihhh… bau apa ini?" Bruno mencekam hidungnya, perutnya serasa ingin mual, tak tahan dengan bau ramuan itu.
"Kau harus minum ramuan ini setiap pagi, dan kau juga harus menghabiskan ramuan ini. Jangan sampai ada sisa!" tegasnya.
"Maaf suster, sepertinya aku tidak bisa membawa ramuan ini ke dalam kamarku. Bau ini sangat menyengak. Aku pasti akan diusir oleh sialan itu," mendadak Bruno teringat wajah Silva yang membuatnya ingin memukul.
"Baiklah. Jika kau tidak mau membawa obat ini, kau harus mengambil ramuan ini setiap pagi di rumah sakit. Aku akan menaruh ramuan ini selalu di lemari rumah sakit. Jadi kau bisa mengambil ramuan kapanpun jika aku sedang tidak di rumah sakit." Bruno pun mengangguk.
"Baiklah Suster, maaf sudah mengganggu waktu malam anda."
Bruno membungkuk kemudian meninggalkan Hanna di rumah sakit.
"Lama sekali kau, orang desa!" Seperti biasa Silva selalu menyapa dengan seenaknya.
"Bukan urusanmu, sialan. Selain itu untuk apa kau menungguku?" Silva terdiam, seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Ada urusan apa kau dengan Suster Hanna?" Giliran Max yang bertanya.
Kemudian Bruno membisikkannya dan Max hanya mengangguk, "Oh…Oh, seperti itu. Baguslah kau sudah menemukannya. Kuharap itu bisa membantumu." Bruno mengedipkan matanya dan mengacungkan jempol pada Max
Silva yang tak tahu apapun merasa dirinya tak dianggap menjadi geram.
"Hei, kenapa kau bisik-bisik gitu, aku juga ingin tahu," baik Max maupun Bruno tak menanggapi omelannya. Silva merajuk dan berbaring di kasurnya, tak mau memperlihatkan wajah merahnya.
Bruno pun menengadah melihat jam sudah pukul sembilan. Ia merasa belum mengantuk sedikitpun, dan tak tahu harus berbuat apa. Ia jenuh seharian hanya berbaring di atas tempat tidurnya. Bisa-bisa tulang punggungnya terpisah dari tubuhnya. Mendadak Bruno memiliki ide, seakan-akan ada bohlam lampu di otaknya menyala.
"Kita kemarin belum sempat tur asrama bukan? Bagaimana jika kita melakukan tur itu sekarang? Mumpung belum terlalu malam juga, pasti pengawas asrama memperbolehkan. Selain itu, kita bisa buat alasan jenuh jika seharian hanya untuk tidur. Jadi ini waktu yang pas."
Bruno terlihat menyeringai gembira. Silva yang tadinya merajuk, tiba-tiba ceria.
"Kau benar, Orang Desa. Aku hampir lupa dengan rencana tur kita," Silva bangkit dan langsung mengarah ke pintu.
"Bagaimana denganmu, Max?"
"Aku ikut kalian saja." Max yang awalnya punya rencana tur asrama, tapi sekarang ia sendiri justru terlihat biasa-biasa saja. Tak ada semangat antusias seperti Bruno dan Max, hanya mengikuti langkah kaki mereka dari belakang, entah kemana mereka akan pergi.