Paginya, cuaca di luar sangat esktrem, badai salju menggemuruh yang begitu hebat membuat angin dingin dari luar masuk ke dalam asrama melalui sela-sela jendela. Mereka bertiga yang masih tidur nyenyak tetap berbaring kokoh karena selimut merah maroon tebal yang menutup semua tubuh mereka.
Semakin lama, badai itu semakin galak yang tadinya hanya angin, kini salju-salju berukuran semut kecil mulai masuk ke kamar mereka. Salju-salju itu berjatuhan tepat di atas wajah mereka. Meskipun sudah dibungkus dengan selimut, namun salju itu mencair menjadi tetesan air dingin dan sedikit membasahi mereka.
Dalam hitungan menit mereka semua terbangun bersamaan tak bisa menahan dinginnya butiran salju. Wajah mereka masih suram, rambut acak-acakan, belum lagi Max yang air liurnya menetes setiap menitnya.
"Ini baru jam lima kurang lima belas menit, masih ada waktu sedikit sebelum kita sarapan. Aku akan tidur sebentar." Silva kembali merangkul guling panjang, hampir sama dengan tingginya. Bruno dan Max berjalan keluar menuju kamar mandi. Walaupun sarapan dimulai jam 5, tetapi para siswa di sana sudah sangat rapi dan bahkan sudah ada yang memakai baju latihannya.
"Hei, lima belas menit lagi kita akan sarapan. Apa kalian belum mandi? Kuharap kalian jangan terlambat seperti kemarin malam, kami bosan menunggu." Max dan Bruno seketika terbelalak dan membangunkan Silva, menarik tangannya.
"Apa-apaan kau ini! Aku masih ingin tidur sebentar."
"Hei bodoh, sebelum sarapan kita harus mandi dulu. Kita ini sedang di asrama, bukan di rumah," tahu-tahu mata Silva juga ikut terbelalak dan mendahului mereka ke kamar mandi. Mereka mandi secepat kilat seperti mandi bebek dan memakai seragam latihan mereka, kemudian mereka mengawali paginya dengan berlari di lorong-lorong asrama.
Beruntung ada lorong yang menuju gedung utama Green Vallen tanpa harus keluar dari SouthEater. Namun lorong itu baru saja dibangun, sedikit lebih bersih dan mewah dari lorong-lorong lainnya.
Pukul 5:02, mereka sudah di pintu depan ruang makan dan membukanya perlahan. Lagi-lagi mereka terlambat untuk kedua kalinya. Myne dan Arstya juga terkekeh untuk kedua kalinya. Mereka kemudian memberanikan diri meminta maaf karena kecerobohan mereka pada para siswa dan professor. Namun profesor Nepomuceno tidak mempermasalahkan keterlambatan mereka, justru Beliau menyuruh mereka duduk tenang dan segera bergabung dengan siswa lainnya.
Setelah semua selesai makan, para senior kelas 2 dan 3 telah meninggalkan ruang makan mendahului para professor. Para siswa kelas 1 kebingungan melihat senior mereka pergi tanpa menunggu perintah atau pidato dari profesor Nepomuceno. Bruno, Max dan Silva yang sudah barbar sejak dini, masih punya rasa hormat pada para professor.
Profesor Nepomuceno hanya duduk bersandar, tersenyum melihat para siswa kelas 1 gelagapan, dari tadi hanya duduk diam memandanginya.
"Kalian boleh keluar untuk persiapan pelajaran kalian di hari pertama. Dan aku ingatkan pada kalian, jika aku tidak melontarkan satu atau dua kata pada para siswa, kalian boleh meninggalkan professor lainnya, termasuk aku," kata Nepomuceno seraya meluruskan tangannya mempersilahkan para siswa kelas 1 untuk pergi. Para siswa itu hanya menganggukkan kepala lalu meninggalkan ruangan.
"Masih ada setengah jam sebelum pelajaran, kita mau kemana sekarang?" ujar Bruno sembari mencari tempat yang nyaman untuk mengobrol.
"Kenapa harus bingung? Di halaman depan ada banyak kursi yang panjang. Ayo kita kesana." Max memimpin mereka menuju halaman.
Badai salju yang menerpa Ibukota sudah sirna, dan hanya butiran-butiran salju yang jatuh dari langit gelap. Mereka bertiga duduk di bangku halaman yang panjangnya tiga meter. Mereka bercerita sembari menunggu waktu pelajaran dimulai. Bruno dan Max menceritakan bagaimana kehidupan sehari-harinya di Desa Hakuba, sebab Silva belum pernah keluar dari Ibukota.
Sebaliknya, Silva juga menceritakan kehidupan sehari-harinya di Ibukota. Silva juga menceritakan dirinya belum pernah sekolah sama sekali. Green Vallen adalah sekolah sihir pertamanya. Selama ini ia hanya menghabiskan waktunya melatih sihir di halaman rumahnya, sama dengan Bruno dan Max lakukan di Desa Hakuba selama ia tinggal di desa.
Dari kejauhan muncullah Arstya dan Myne bersama teman satu kamarnya.
"Hai Bruno. Hai Max. Kalian sedang apa?" sapa Arstya. "Hai Arstya, kami baru saja menceritakan pengalaman kami di Desa. Kalian sendiri sedang apa?"
"Oh, kami nggak ada kegiatan, makanya dari tadi kami mencari kalian. Ngomong-ngomong siapa orang di sampingmu itu?" tanya Arstya tersenyum ramah pandangannya menuju Silva.
"Oh, ini temanku sekamarku, namanya Silva. Dia penduduk asli ibu kota."
"Dan ini, teman sekamarku juga. Namanya Rose, dia berasal dari Desa Rakiba." Rose melambaikan tangan pada mereka.
Silva yang melihat pesona Arstya, seketika menunduk, menganga melihat Arstya dengan mata yang berseri-seri. Ia juga melontarkan kata-kata romantis padanya, tapi Arstya kebingungan mengangkat bahunya.
"Oh pujaan hati, selama ini aku telah mencarimu. Akhirnya di asrama tercinta ini kita pertemukan. Di asrama ini, di halaman ini," kata Silva seraya menari-nari. Bruno yang merasa eneg, tanpa pikir panjang langsung menendang wajahnya, Silva pun terjatuh.
"Oi, sialan. Kenapa kau menggangguku? Pada akhirnya aku bisa menemukan cinta sejatiku," geram Silva.
"Tapi ia merasa muak melihatmu menari seperti badak kesurupan," kemudian mereka berdua adu mulut dan Arstya yang merasa kehadirannya hanya mengganggu keharmonisan mereka, langsung pergi meninggalkan mereka, diikuti Myne dan Rose.
"Semoga pelatihan kalian berjalan lancar," kata Arstya buang muka. Silva kecewa cintanya ditolak. Bruno ikut kecewa, hatinya yang berbunga-bunga, tiba-tiba saja menjadi hampa. Kemudian bel masuk berbunyi, semua siswa dan professor yang mengajar langsung menuju kelas masing-masing.
Siswa Asrama Higibana berbondong-bondong menuju kelas mereka sesuai tahun ajaran. Ruang kelas siswa tahun pertama berada di lantai dasar. Sedangkan ruang kelas siswa tahun kedua berada di lantai, begitu juga dengan siswa tahun ketiga. Kelas dan kamar mereka berada di lantai yang sesuai dengan tahun ajaran mereka juga.
Berbeda dengan Asrama SouthEater yang hanya mempunyai satu ruang kelas, dan sisanya hanya kamar tidur mereka dan kamar mandi. Kelas itu digunakan jika memang ada keperluan akademik, seperti ujian essay. profesor Nepomuceno sengaja membangun satu kelas saja, lantaran Beliau berharap besar pada Asrama SouthEater lebih memfokuskan sihir penyerangan dan sihir pertahanan agar mereka mampu melindungi dirinya sendiri dan seluruh daerah Kerajaan Okuba.
Sebagian besar alumni Green Vallen menjadi Prajurit Kerajaan, Menteri, dan Pelancong. Terkadang juga Raja Penyihir, Caesius meminjam beberapa siswa dari SouthEater guna menjalankan misi bersama Prajurit Penyihir dan Menteri. Tentu saja, Bruno akan senang jika dirinya dipanggil untuk menjalankan misi.
Kemudian para siswa SouthEater berkumpul di halaman belakang. Halaman belakang Green Vallen lebih luas dua kali lipat dari halaman depan. Namun disaat pelajaran, halaman itu dibagi menjadi 3 bagian sesuai jumlah kelas.
Para siswa kelas satu berbaris dengan sangat tertib. Bruno, Max, dan Silva berada barisan paling depan dan baru sadar disamping mereka adalah Claude, siswa kelas satu paling berbinar diantara siswa tahun pertama. Seperti biasa, ia selalu memandang mereka bertiga dengan tatapan dinginnya dan tersenyum melengking. Bruno dan Silva yang bosan melihat wajahnya merasa eneg, dan tahu-tahu mereka pindah barisan paling belakang.
"Sialan! Dibandingkan dia, ayahnya jauh lebih ramah," geram Bruno.
"Kenapa kalian pindah ke belakang, dan mengapa kalian tidak senang melihat Claude?" tanya Max menggaruk kepala merasa bodoh.
"Tentu saja kami marah, dialah sebab tangan dan kepalamu diperban. Lihat saja, aku akan membalasnya suatu saat," Bruno mengepalkan tangan, kuku jarinya menancap di telapak tangannya.
"Sudahlah biarin aja, selain itu juga salahku yang terlalu lemah," entah mengapa Max mendadak merendahkan dirinya. Kemudian Cadmus datang dihadapan mereka.
"Selamat pagi, anak-anak. Hari yang sedikit suram di pelajaran pertama kalian, bukan? Di hari pertama ini, aku ditunjuk tuan Nepomuceno sebagai guru kalian. Dan…." Dalam hitungan detik, tatapan Cadmus berubah menjadi sinis seraya tertawa melengking dingin, "…. Aku tidak akan memberi kalian belas kasih meski ini hari pertama kalian."
Sebagian siswa merasa ketakutan, menelan ludah berkali-kali. Bruno, Max dan Silva terlihat masa bodoh, karena mereka diperlihatkan muka kejamnya jauh lebih mencekam seraya mengasah pisau sakunya di hari pertama mereka. Selesai tertawa dingin, Cadmus lanjut mengabsen mereka sekaligus menghafal nama dan latar belakang mereka. "Yang pertama Claude. Ceritakan apapun tentangmu," kemudian Claude berdiri di samping Cadmus dan menghadap teman-temannya.
"Namaku Claude de Hans. Aku berasal dari Ibukota Kerajaan. Sebelum masuk Green Vallen, aku pernah sekolah di Ursulin selama 5 tahun. Sihir serangan dan pertahananku hanya api. Aku pengguna satu elemen. Sekian" kemudian ia menundukkan kepala, kembali ke barisan.
Kemudian satu persatu siswa dipanggil, tiba juga giliran Bruno. "Yang terakhir…Bruno." "Namaku Bruno Mavcazan. Aku berasal dari Desa Hakuba, bagian selatan jauh dari Ibukota. Aku tidak pernah sekolah sama sekali karena disana tidak ada sekolah. Penduduk desaku lebih memilih menjadi pelayan karena desa kami dekat laut. Aku pengguna dua elemen, sihirku api dan tanah. Sekian."
"Baiklah sebelum kita mulai latihan hari ini, Bruno, Max dan Silva," mereka bertiga berpaling kompak. "Di hari pertama ini, aku ingin kalian istirahat seharian penuh di rumah sakit. Luka kalian bertiga belum sepenuhnya membaik. Aku tidak mau kalian mengalami kecelakaan lebih parah dari ini."
"Tapi mengapa kami harus beristirahat? Kami telah sembuh dan tak ada luka yang….Ah!"
Bruno mencoba beralasan agar bisa mengikuti pelatihan di hari pertama. Namun malangnya, luka di punggungnya terasa menyakitkan ketika ia menggerakan badan secara berlebihan.
"Sudahlah, tak perlu sok kuat. Kalian bertiga tak perlu memaksakan diri. Istirahat juga salah satu latihan agar tubuh kalian kembali dalam keadaan prima."
Saat itu juga mereka menghela nafas berat, mengangguk dan langsung pergi meninggalkan barisan menuju ruang perawat.
"Ingat!" katanya tegas memperingatkan.
"Kalian harus istirahat. Jika aku melihat kalian melakukan tur, mungkin aku akan benar-benar membakar kalian bertiga sekaligus dan menggantungnya di halaman depan," kata Cadmus lanjut melengking. Mendadak bulu kuduk mereka berdiri, dan berlari dengan kepala menunduk seraya berteriak histeris sampai pintu belakang gedung utama Green Vallen.