Chereads / Angel and His Broken Wing / Chapter 6 - Angel and His Broken Wing Bab 6

Chapter 6 - Angel and His Broken Wing Bab 6

Aku masih berkutat dengan laptopku. Sesekali mataku beralih ke lembaran-lembaran kertas di atas meja kerja. Memilih menjalani dua profesi sekaligus membuat waktuku banyak tersita hingga pandai membagi waktu menjadi tuntutan utama bagiku sekaligus resiko yang harus kuambil. Seperti malam ini, setelah menyelesaikan tugas kuliah, aku masih harus disibukkan dengan laporan penjualan yang harus diperiksa. Furqan Haykal Ramadhan dikenal sebagai pengusaha muda yang cukup menarik perhatian karena mampu mengembangkan bisnis dalam waktu singkat, orang yang sama dengan mahasiswa Fakultas kedokteran tahun kedua yang terkenal cerdas dan berbakat. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, hanya saja, siapa tahu di antara kalian ada yang akan terinspirasi. (hehehe)

Fisik ternyata tak bisa berbohong. Mataku sudah menyipit meminta waktu untuk beristirahat, namun prinsip membuatku memaksakan diri untuk bertahan. Sejak merintis karir sebagai pengusaha, aku sudah terlanjur menanamkan prinsip bahwa tidak ada hari esok. Berkaca dari kalimat yang diutarakan oleh Benjamin Franklin "Don't put off till tomorrow what you can do today". Aku tidak pernah mau menunda pekerjaan yang sedang kukerjakan karena bagiku menunda pekerjaan sama artinya dengan membuang kesempatan lagipula pekerjaan tidak akan pernah ada habisnya. Menunda sama artinya dengan menumpuk pekerjaan itu.

Waktu sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. Akhirnya aku tiba di lembar terakhir laporan ini. Baru saja hendak beranjak untuk membaringkan diri di tempat tidurku, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kehadiran Fatimah yang berada di ambang connecting door yang menghubungkan kamar kami seraya menggendong boneka teddy bear yang besarnya hampir menyamai tinggi tubuh peri kecilku itu.

Melihat kehadiran Fatimah membuatku beralih dari tempat tidur guna menghampirinya. Setelah berdiri tepat di hadapan Fatimah, ia berlutut menyejajarkan tingginya dengan gadis berusia 4 tahun itu.

"Fat kok nggak bobo? Kenapa sayang?" Tanyaku lembut seraya tanganku terulur membelai lembut surai panjangnya

"Fat takut kak. Tadi Fat mimpi buruk. Fat nggak bisa bobo."

Aku menarik nafas dalam. Bukan menjengkelkan, justru tingkah Fatimah terlihat menggemaskan di mataku. Dalam sekejap tubuh gadis mungil itu telah berpindah ke gendonganku. Aku membawa Fatimah kembali ke kamarnya yang dominan berwarna pink dengan aksen princess Elsa dan Anna, karakter kartun Frozen favoritnya, bertolak belakang dengan suasana kamarku yang lebih didominasi warna monokrom.

Setelah meletakkan Fatimah di atas tempat tidur, aku menarik sebuah kursi lalu duduk di samping tempat tidur peri kecilku. Aku menatap lekat wajah imut yang memang terlihat khawatir itu. rasanya masih belum siap memikirkan kelak ia akan beranjak dewasa dan mungkin tidak mmembutuhkan kehadiranku di sisinya lagi. Sepertinya aku mulai memahami kekhawatiran seorang ayah saat memikirkan kelak akan melepas anak gadis yang sangat ia cintai ke tangan pria asing yang dipilihnya

"Emangnya Fat mimpi buruk apa? Mau cerita sama kak Rama?"

Cukup lama Fatimah terdiam seraya menunduk, sebelum akhirnya ia mulai membuka mulutnya untuk berbicara.

"Fat takut kak. Fat mimpi ayah sama bunda pergi. Fat sendirian."

"Fat, nggak ada yang pergi. Kita semua ada di sini sama Fat. Ayah, Bunda, kak Rama, kita semua ada di sini buat temani Fat. Itu kan Cuma mimpi sayang."

"Tapi Fat takut kak. Kalau beneran gimana?"

"Fat dengerin kakak yah. Kak Rama nggak akan pernah ninggalin Fat. Kak Rama akan selalu di sini jagain Fat."

"Janji yah."

"Kak Rama Janji sayang. Sekarang Fat bobo lagi yah. Ini udah larut malam sayang."

Tanpa menjawab, Fatimah langsung berbaring. Tangannya tak mau melepaskan tanganku sama sekali. Genggamannya semakin erat saat aku mencoba menarik tanganku dari genggamannya.

"Kak Rama temanin Fat bobo yah. Jangan pergi. Jangan tinggalin Fat."

"Iya Fat. Kak Rama bobo sini kok sama Fat."

Tak lagi kembali ke kamar, aku memilih untuk mengalah dan berbaring di samping peri kecilku untuk meredam sedikit kekhawatirannya. Rasa kantuk dan lelah akhirnya memaksa mataku untuk terlelap. Entah siapa yang duluan tenggelam ke alam mimpi, aku tak lagi sadar.

Suara alarm yang meraung dari atas nakas memaksaku membuka kedua kelopak mata perlahan. Namun saat hendak meraih ponsel, aku merasakan tangan mungil mengalung di leherku posesif seolah tak ingin aku beranjak seinchipun. Demi menjaga peri kecilku tetap terlelap, aku berusaha bergerak perlahan agar tak membuatnya terjaga.

Suara Adzan menunjukkan waktu Shalat Subuh, membuatku segera melangkahkan kaki menuju kamar mandi. Tak lama berselang aku sudah siap dengan baju koko, sarung, dan kopiah. Rutinitas yang tidak pernah aku tinggalkan adalah Shalat 5 waktu tanpa menunda sedikitpun. Di manapun atau selelah apapun, bagiku yang paling utama adalah tidak meninggalkan Shalat. Setidaknya hal itulah yang ditanamkan oleh kedua orangtuaku sejak kecil.

Saat kembali dari masjid setelah melaksanakan Shalat Subuh, aku mendapati Fatimah sudah duduk di atas meja makan sambil sesekali menatap bunda yang tengah disibukkan dengan rutinitasnya menyiapkan sarapan.

"Kak Ramaaaaa" Teriaknya girang.

"Hey peri kecil kok udah bangun?"

"Kak Rama hilang. Fat nunggu kak Rama"

"Kan kak Rama habis dari masjid." Aku beralih menatap bunda, berusaha menyampaikan kegelisahanku "Bunda, belakangan Fat sering mimpi buruk. Dia sampai sering kebangun tengah malam karena mimpinya. Menurut bunda, apa nggak sebaiknya kita cek ke psikiater?"

"Mungkin kamu Cuma terlalu khawatir Fur. Mimpi itu bunga tidur. Mungkin Fat emang lagi kecapean aja makanya mimpi buruk terus. Belakangan ini kan dia emang lagi aktif-aktifnya."

"Tapi mimpinya berulang terus dan selalu sama Bunda. Dia selalu bilang kalau di mimpinya itu dia sendirian karena kita semua pergi dan ninggalin dia. Furqan Cuma khawatir kalau itu bisa pengaruhi psikologinya Bun." Aku tidak salah kan jika mengkhawatirkan adikku?

"Kok malah jadi pinteran kamu dari bunda sih? Keseringan liat bunda jadi ibu rumah tangga atau desainer, kamu jadi lupa yah kalau bunda ini juga psikolog? Insyaa Allah Fat nggak apa-apa kok. Mungkin dia hanya terbawa sama perasaannya yang dulu waktu kamu sering nolak dia, dan sekarang kamu jadi over protective gitu sama dia. Dia jadi takut kehilangan kamu, makanya sampai terbawa mimpi. Tugas kamu sekarang cukup yakinin dia kalau kamu akan selalu ada buat dia dan nggak akan pernah tinggalin dia."

Aku baru bisa mengerti kondisi Fatimah dari penjelasan bunda. Benar, aku lupa kalau wanita hebat yang ada di hadapanku ini adalah psikolog. Aku bersyukur dapat menjadi saksi akan perjuangan wanita hebat ini. Bunda selalu menyayangiku dan mendukungku dalam setiap langgkah yang kuambil. Ia bahkan merelakan karir yang selama ini menjadi impiannya demi mendampingi setiap detik tumbuh kembangku.

Jika kalian bilang itu adalah tugas dan kewajibannya sebagai seorang ibu, aku tidak akan menampik hal itu. Tapi akan berbeda halnya jika kau adalah orang yang kehilangan kasih sayang ibu sejak kecil. Bunda, yang saat ini berdiri tersenyum di hadapanku memang bukan ibu kandungku.

Mama, orang yang seharusnya menjadi saksi tumbuh kembangku dan menghujaniku dengan kasih sayang malah memilih meninggalkan aku dan ayah ketika usiaku bahkan belum genap 3 tahun. Sejak hari di mana mama pergi, tak pernah sekalipun aku mendengar kabarnya. Bahkan ia tak pernah datang untuk mencariku. Pada akhirnya aku mulai menutup diri dari pergaulan dan hal itu membuat ayah khawatir. Hal itulah yang akhirnya mengantarkan aku dan ayah bertemu bunda, yang tidak lain adalah psikolog yang menangani kasusku dulu. Bunda juga yang membuatku mampu melupakan kenangan pahitku tentang mama.

"Kok malah bengong? Kamu mikirin apa?"

"Mikirin, apa jadinya Furqan dulu kalau nggak ketemu Bunda. Makasih yah udah jadi bunda terbaik buat Furqan, Savana, dan Fatimah."

"Itu udah kewajiban bunda."

TO BE CONTINUED