AUTHOR POV
Sudah lebih dari 30 menit Furqan menunggu seseorang, tapi orang yang dia tunggu tak kunjung datang. Furqan sudah uring-uringan, pasalnya ia harus membatalkan niatnya menjemput Fatimah sepulang sekolah karena mendadak ia menerima telfon yang mengharuskannya menemui orang tersebut saat itu juga.
"Kak Ramaaa.." Mendengar suara Fatimah membuatnya melempar senyum meski dalam keadaan yang terlihat jelas terkejut.
"Kak Rama ngapain di sini? Katanya tadi ada kerjaan, kok malah ke cafe?"
Yah, ia lupa jika cafe ini tepat berada di dekat sekolah Fatimah. Sekedar informasi, Fatimah kini telah memasuki kelas 2 SMP.
"Tadi kakak janjian sama klien kakak di sini buat meeting, tapi kayaknya dia nggak jadi datang. Kamu kok belum pulang?"
"Fat izin pulang telat yah, soalnya teman Fat ultah di cafe ini."
"Kamu kok nggak nelfon kak Rama sih kalau mau pulang telat."
"Fat udah nelfon tapi nomor kak Rama dari tadi sibuk terus."
"Maaf yah. Mau kak Rama tungguin nggak, biar pulangnya bareng?"
"Mauuu."
"Ya udah, nanti kabarin kak Rama aja yah kalau acaranya udah beres"
"Siaappp pak Bos"
Kehadiran Furqan mau tidak mau menarik perhatian teman-teman Fatimah terutama anak-anak perempuan yang berada di sana plus pengunjung lain yang sama resahnya. Ayolah! Siapa yang bisa melepaskan pandangannya dari seorang pemuda seperti Furqan. Posturnya yang tinggi dengan style casual berupa celana jeans, kaos oblong berwarna putih, dan cardigan tipis dengan warna senada menambah kesan manisnya.
Menyadari dirinya cukup menjadi pusat perhatian karena ulah sang adik membuat Furqan mencari tempat duduk di salah satu sudut yang terlihat cukup sepi. Pilihannya jatuh pada sebuah gazebo yang terletak di belakang cafe tersebut. Areanya cukup privasi sehingga ia tak perlu khawatir akan menjadi pusat perhatian seperti sebelumnya.
Tak lama berselang, seorang gadis tiba-tiba duduk di hadapan Furqan. Ia sedikit menyunggingkan senyum yang ditimpali dengan wajah jutek kakak Fatimah itu.
"Bisa nggak sih tuh muka dikondisikan? Masa loe nyambut gue pake ekspresi nyebelin gitu. Senyum kek, say welcome kek."
"Gue udah bilang kan sama loe kalau gue lagi sibuk, tapi loe malah buang waktu gue hampir sejam. Kalau emang loe telat, harusnya janjiannya nggak usah jam 1 dong. Loe tau kan gue harus jemput Fat."
"Ya sorry, tadi tuh pesawat gue delay, jadi baru nyampe. Ini aja gue dari bandara langsung ke sini buat ketemu sama loe. 5 tahun Fur, 5 tahun gue nggak ketemu sama loe, giliran gue ketemu, loe malah ngomel kayak gini. Segitu nggak pentingnya yah gue?"
"Bukannya gitu Vya, masalahnya loe kan tau paling nggak di jam makan siang, gue nggak bisa diganggu. Itu quality time gue sama adik gue."
"Kapan sih Fur, loe bisa belajar? Sekarang prioritas utama loe bukan Cuma adik loe. Gue tunangan loe. Calon istri loe. Loe juga harus belajar untuk jadiin gue prioritas."
"Loe kok jadi egois gini sih sekarang? Maksud loe apa? Loe mau nyuruh gue milih loe atau Fatimah?"
"Jadi menurut loe gue egois? Salah yah kalau gue juga minta waktu loe? 5 tahun gue ngalah buat nungguin loe. Gue udah cukup sabar untuk nunggu pernikahan kita yang tertunda selama itu."
"Jangan buat gue nyesal udah mutusin buat milih loe Vya. Gue sayang sama loe dari dulu, tapi gue nggak pernah harap ini dari loe. Loe pernah bilang kan kalau loe bakal terima Fat dan anggap dia adik loe sendiri?"
"Gue capek harus debat sama loe soal ini. Mending loe pikir baik-baik, apa artinya gue dalam hidup loe, dan apa hubungan kita masih bisa terus dilanjutin atau nggak."
Saat hendak meninggalkan Furqan di sana, Navya tanpa sengaja berpapasan dengan Fatimah. Fatimah berusaha tersenyum manis menyambut sang calon kakak ipar. Bahkan ia menyambut Navya ke dalam pelukannya, meski tak ada balasan dari Navya.
"Kak Vya kapan balik ke Indonesia kak?"
Tanpa menjawab pertanyaan Fatimah, Navya justru berlalu begitu saja. Tentu saja hal itu tidak terlepas dari pengamatan Furqan. Jangan ditanya bagaimana Furqan menahan amarahnya ketika melihat sang adik diperlakukan seperti itu di hadapannya.
"Kak Vya kenapa kak? Kakak berantem sama kak Vya?"
Furqan hanya terdiam seraya memberi senyuman kepada sang adik meski terasa berat bibirnya membentuk lengkung tipis itu. Ia sama sekali tidak pernah ingin memperlihatkan ekspresi marah atau sedihnya di hadapan Fatimah karena sudah pasti sang peri kecil tidak akan pernah suka akan hal itu.
"Udah beres kan acaranya? Kita pulang sekarang yuk. Kak Rama capek."
Fatimah bukannya tidak mengerti jika ada yang disembunyikan sang kakak. Meski usianya baru menginjak 14 tahun, namun pikirannya sudah lebih dewasa untuk memahami masalah yang ada dalam keluarganya terutama mengenai sang kakak. Hal itu tidak terlepas dari peran Furqan dalam mendidiknya.
Sepanjang perjalanan terasa menyiksa bagi Fatimah karena tak sepatah katapun keluar dari bibir sang kakak. Melihat Furqan dalam kondisi seperti itu membuatnya tak berani untuk bertanya apapun. Hingga mobil itu akhirnya memasuki pekarangan rumah, keheningan belum juga terpecahkan.
"Kak Rama... Fat boleh masuk nggak?"
"Pintunya nggak dikunci Fat."
Melihat sang adik yang berdiri di ambang pintu, tanpa berpikir panjang, Furqan merengkuh tubuh sang adik dalam dekapannya. Hal itu selalu menjadi kebiasaannya jika ia sedang gelisah. Cukup lama Fatimah membiarkan sang kakak berdiam. Tak ada yang perlu ia lakukan, hanya membiarkan Furqan memeluknya hingga pelukan itu terurai nantinya.
Setelah merasakan hatinya yang mulai tenang, Furqan baru mengurai pelukannya.
"Kak Rama berantem sama kak Vya gara-gara Fat yah?"
Furqan menatap adiknya lekat. "Kamu kok mikirnya gitu?"
"Tadi Fat nggak sengaja dengar omongan kakak sama kak Vya."
Di mata Furqan Fatimah masih peri kecil yang tak perlu menanggung masalah yang rumit seperti itu. Ia tidak mungkin menjelaskan kepada sang adik bagaimana ia harus memilih antara peri kecil yang sangat dicintainya itu, atau mempertahankan hubungannya dengan Navya. Baginya memulai hubungan dengan orang yang baru merupakan hal yang terlalu sulit, sehingga ia memilih untuk mencoba membuat Navya mengerti bahwa mencintai Furqan bukan hanya tentang menerimanya, tetapi juga menerima keluarganya dan menjadi bagian dari itu.
Awalnya ia memilih Navya karenkedekatan Navya dengan Fatimah dan bagaimana adiknya itu dengan senang hati mau menerima kehadiran Navya. Namun setahun belakangan Navya mulai berubah. Ia banyak menuntut waktu dan perhatian Furqan untuknya. Tak ada salahnya memang mengingat sebentar lagi mereka akan menikah. Namun, bukan berarti ia harus memiliki Furqan seutuhnya. Sebagai anak lelaki, Furqan mengerti bahwa tanggung jawabnya terhadap keluarganya tidak akan berubah meskipun ia telah menikah. Sebaliknya, justru Navya lah yang harus menjadi bagian dari keluarganya. Ia yakin itu bukan keinginan yang egois jika saja Navya mau mengerti posisi, hak, dan kewajibannya.
TO BE CONTINUED