Chereads / Angel and His Broken Wing / Chapter 9 - Angel and His Broken Wing BAB 9

Chapter 9 - Angel and His Broken Wing BAB 9

"Kak, kalau emang kakak disuruh milih antara Fat sama kak Navya, kakak pilih kak Navya aja yah. Fat nggak mau jadi penghalang buat kebahagiaan kakak."

Rahangku mengeras. Ada rasa kesal yang entah datang dari mana ketika mendengar kalimat Fatimah. Bagaimana mungkin ia memintaku memilih antara dirinya dengan Navya. Fatimah bahkan kehilangan kepercayaannya terhadapku. Ingin rasanya meluapkan semua amarahku namun wajah perihnya jauh lebih menyayat hatiku. Aku meraihnya ke dalam dekapanku. Sebuah kalimat yang kuucapkan, kuharap mampu membuatnya sadar di mana posisinya dalam hidupku.

"Kalau kakak harus milih, kamu jelas nggak ada dalam pilihan itu karena kamu mutlak harus selalu ada dalam hidup kakak."

Aku merasakan bahunya bergetar. Ia menangis dan tidak ada kata yang mampu keluar selain maaf dari bibirnya. Setelah 5 menit, ia berbisik lirih yang membuatku berhasil membulatkan mataku sendiri.

"Kak, bantuin bawa nampannya. Tangan Fat udah pegel."

Aku tidak mampu menahan tawaku mendengar hal itu. Lagi pula bisa-bisanya dia masih memegang nampan sambil menangis di dalam pelukanku. Dasar peri kecil.

"Fat, jangan pernah kasih kakak pertanyaan yang kamu sendiri tau pasti jawabannya." Aku mengecup puncak kepalanya, berusaha menyalurkan sedikit rasa sayang yang kusimpan dalam hatiku. Tak apa jika orang lain meragukanku, asalkan peri kecil ini memberiku kepercayaannya, maka itu sudah lebih dari cukup.

****

Sudah lebih dari 10 kali aku mencoba menghubungi Navya, namun tak ada kesempatan yang diberikan padaku untuk memperbaiki hubungan kami. Aku berbalik ke arah pintu kamarku ketika mendenar suara ketukan pintu, dan aku menemukan sosok bunda di sana.

"Fur, bunda boleh masuk nggak?"

"Boleh bunda."

"Bunda dengar dari Fat, katanya Navya udah pulang dari Singapur yah? Kok nggak pernah main ke rumah?"

"Mungkin dia masih capek Bun. Nanti juga main ke sini kok."

"Fur, ada yang mau kamu ceritain ke bunda nggak?" Ucap bunda sesaat setelah menemukan tempat ternyaman yang pada akhirnya jatuh pada kursi gaming di meja kerjaku.

Tatapan bunda masih hangat, tak ada sedikitpun gurat menyelidik yang kutemukan di wajahnya. Namun entah mengapa pertanyaan bunda lebih terdengar seperti perintah untuk mengeluarkan semua perasaan yang kusimpan dalam hatiku.

"Nggak ada kok bunda." Aku mencoba mengelak

"Nggak apa-apa kalau kamu nggak mau cerita sekarang. Satu hal yang perlu kamu tau, apapun yang coba kamu sembunyikan dari bunda, itu nggak akan berhasil. Percaya atau nggak, naluri bunda bilang kalau anak bunda yang satu ini lagi butuh teman curhat."

Aku tidak dapat mengelak. Entah bagaimana, naluri bunda soal aku atau Fatimah tak pernah meleset sedikitpun. Perlahan kepercayaan diriku surut di hadapan wanita hebat yang satu ini. Aku memilih berlutut di hadapan bunda, menggenggam tangannya, berusaha mencari kehangatan lalu menjatuhkan kepalaku di pangkuannya. Perlahan tangan bunda mulai membelai rambutku. Tangan bunda terasa sama nyamannya dengan tangan Fatimah. Mungkin karena Fatimah memang terlahir dari rahim bunda, sehingga berada di sisi Fatimah membuatku merasa berada di sisi bunda, begitupun sebaliknya.

"Bunda, salah nggak sih kalau aku sayang sama Fatimah lebih dari apapun?"

"Fur, Bunda sangat bersyukur kalau kamu punya kasih sayang sebesar itu sama Fat. Selama ini kamu sudah jadi kakak yang terbaik buat Fat, dan bunda sangat bangga sama kamu. Tapi apa yang kamu berikan sama Fat, nggak banyak orang yang bisa berikan hal yang sama, jadi kamu nggak bisa memkasakan orang lain untuk menganggap itu hal yang normal."

"Tapi harusnya Navya bisa ngerti Bunda. Nggak sepantasnya dia nyuruh aku milih antara dia atau Fatimah."

"Dia belum bisa mengerti karena dia nggak dapat perlakuan yang sama dari kakaknya. Dia menganggap seseorang yang sudah menikah harus memilih antara keluarganya atau istrinya, karena itu yang dia lihat dari kakaknya. Navya hanya belum bisa paham dan tugas kamu adalah menjelaskan baik-baik sama dia."

"Berulang kali aku coba jelasin bunda, tapi dia nggak mau ngerti."

"Navya itu adalah pilihan kamu Fur. Bunda percaya apapun pilihan kamu, kamu sudah tau konsekuensinya akan seperti apa dan kamu pasti sudah siap untuk itu. bunda nggak akan maksa kamu menentukan pilihan karena bagi bunda, seorang perempuan apabila sudah menikah, maka dia punya kewajiban untuk menerima keluarga suaminya seperti keluarganya sendiri. Itu adalah hakikat dan fitrah perempuan yang sudah menikah."

"Bunda, menurut bunda, apa pilihan Furqan kali ini salah?"

"Kamu nggak akan tahu sebelum kamu buktikan itu sendiri. Mendingan sekarang kamu coba jelasin sama Navya baik-baik. Apapun reaksi Navya nantinya, akan menjadi jawaban dari pertanyaan kamu."

Aku menyetujui perkataan bunda dalam benakku. Masalah tidak akan pernah selesai jika kita hanya terus berlari tanpa mencoba mencari solusi. Bahkan ketika solusi telah didapatkan, action adalah langkah terakhir dari sebuah penyelesaian. Sebelum benar-benar beranjak dari kamarku, aku berhenti tepat di hadapann bunda, mengecup kening bunda lembut, hal yang sudah sangat lama tak kulakukan. Lantas, aku berbisik lirih.

"Makasih bunda, karena bunda udah membawa adik semanis Fatimah ke dalam hidup aku. Aku janji, akan selalu jagain Fatimah dan bunda. Aku akan jadi anak yang bisa selalu ayah dan bunda banggakan, dan kakak yang terbaik buat Fatimah."

"You did it son. You did it. Bunda dan ayah sangat bangga sama kamu."

Ucapan bunda seolah menjadi energi baru bagiku. Seakan semua beban yang tadinya mengendap di hatiku seketika hilang tanpa bekas. Aku selalu memiliki harapan dan mimpi sederhana. Aku ingin menemukan sosok wanita setulus bunda untuk menjadi pendampingku kelak. Seseorang yang mau menerima apapun kondisiku, seperti bunda yang mau menerima kondisi ayah yang merupakan seorang duda, dan mau menerima juga mencintaiku seperti anak kandungnya meski aku tidak terlahir dari rahimnya.

"Kak Rama mau ke mana?" Suara Fatimah menahan sekejap langkahku

"Kakak mau nemuin kak Navya dulu. Kamu temani bunda di sini dulu yah. Kalau kakak pulang nanti, kakak mau ngajakin kamu makanes krim kesukaan kamu."

"Serius?" Matanya membulat sempurna sebelum akhirnya meloncat kegirangan.

"Serius. Kakak pergi dulu yah." Aku mengecup keningnya sekilas lalu pergi. Sepertinya akan menjadi kebiasaan baru memberi kecupan ringan kepada kedua wanita hebat dalam hidupku ini setiap akan meninggalkan mereka. Tidak berlebihan rasanya mengekspresikan rasa terima kasihku pada bunda dan Fatimah.

Aku sedikit termenung, sibuk dengan segala kemungkinan yang muncul di dalam pikiranku ketika duduk di cafe itu selama lebih dari 30 menit. Kedatangan Navya seolah menjadi angin segar bagiku karena setidaknya dia mau bersikap dewasa untuk menyelesaikan masalah ini. Namun sepertinya tidak akan berjalan mulus karena yang kulihat wajahnya sama sekali tidak bersahabat.

Navya duduk tepat di hadapanku, namun hanya hening yang kemudian tercipta. Aku masih sibuk dengan segala pikiran di kepalaku sedangkan dia masih sibuk dengan renungannya sendiri.

"Ngapain loe ngajak ketemu kalau ujung-ujungnya diam doang?"

"Maafin gue Vya." Navya menatap wajahku dengan tatapan menyelidik setelah mendengar kalimat itu.

TO BE CONTINUED