Jika Navya mengedepankan egonya saat itu, sudah tentu ia akan meninggalkan tempat itu setelah mendengar ucapan maaf tanpa sepatah katapun penjelasan dari Furqan. Bukan itu yang dia inginkan. Dia membutuhkan keputusan, bukan hanya permintaan maaf. Jika kakaknya bisa meninggalkannya dan memilih keluarga kecilnya, itu artinya Furqan juga harus melakukan hal yang sama.
"Gue nggak butuh maaf Fur. Gue butuh keputusan loe."
"Vya, gue juga butuh loe untuk ngerti. Pernikahan bukan berarti harus memilih. Loe harusnya paham kalau menikah itu mengharuskan kita untuk salling menerima keluarga masing-masing. Gimana bisa loe minta gue buat milih antara orangtua dan adik gue sama loe?"
"Kenapa nggak mungkin? Kak Reza juga lebih milih istrinya dari pada gue. Kenapa loe nggak bisa milih gue daripada Fatimah? Gue Cuma minta loe untuk berhenti prioritaskan Fatimah dan lebih mengutamakan gue. Gue juga butuh waktu dan perhatian loe. Selama ini selalu Fatimah. Loe pikir karena siapa kita jadi nggak pernah ketemu selama 5 tahun ini? Loe selalu punya waktu buat datang ke Singapura, tapi hanya karena Fatimah nggak mau lepasin loe pergi, pada akhirnya loe nggak datang bahkan di momen spesial kita. Annyversary, birthday gue, birthday loe, gue jalanin semuanya sendiri padahal teman-teman gue sibuk sama pacar mereka masing-masing. Loe tunangan gue, tapi gue sama sekali nggak ada artinya di hidup loe."
"Loe benar. Mungkin keputusan ini terlalu terburu-buru buat kita. Maafin gue Vya. Tapi buat gue, keluarga adalah segalanya. Istri gue harusnya adalah orang yang bisa menerima keluarga gue sebagai keluarganya dan siap untuk jadi bagian dari keluarga gue, bukan hanya mau memiliki gue seutuhnya buat dirinya sendiri. Gue punya tanggung jawab sama keluarga gue sebagai anak laki-laki. Mikirin harus ngorbanin tanggung jawab sebesar itu rasanya terlalu konyol. Gue nggak sebucin itu. keputusannya ada di tangan loe sekarang. Loe yang harus milih, mau jadi bagian dari hidup gue berarti harus jadi bagian dari keluarga gue, atau nggak sama sekali?"
Navya tentunya terkejut mendengar kalimat demi kalimat yang diucapkan lelaki di hadapannya itu. Ia tentunya tidak menyangka jika pada akhirnya serangan yang ia lontarkan akan menimpa dirinya sendiri. Apakah dia egois jika hanya menginginkan Furqan untuk dirinya sendiri? Apa itu permintaan yang terlalu mewah baginya?
"Menurut loe gue nggak bisa terima keluarga loe? Selama ini gue terima keluarga loe Fur. Gue sayang sama ayah dan bunda, gue juga sayang sama Fatimah. Tapi loe sadar nggak sih rasa sayang loe ke Fatimah itu nggak biasa?"
Furqan mengernyitkan dahinya seraya menatap penuh selidik. Benaknya tak mampu menemukan maksud ucapan Navya saat itu.
"Maksud loe apa?"
"Jujur sama gue Fur. Rasa sayang loe sama Fatimah, apa itu masih perasaan sayang seorang kakak sama adiknya, atau justru perasaan loe lebih dari itu."
"Jaga omongan loe Vya. Gue sama sekali nggak nyangka loe bisa mikir serendah itu soal gue dan adik kandung gue. Gue masih bisa bedain rasa sayang sama rasa cinta. Gue sayang sama Fatimah dan gue cinta sama loe, tapi kalau gue harus milih, loe pikir apa yang buat loe, seorang gadis asing yang tiba-tiba masuk dalam hidup gue bisa punya arti yang lebih besar dari adik yang gue rawat dan besarkan dengan tangan gue sendiri? Gue udah bilang sama loe, gue nggak sebucin itu."
Navya tentunya terkejut melihat reaksi Furqan. Ia sama sekali tidak menyangkan jika kalimatnya akan menimbulkan pengaruh yang begitu besar bagi Furqan hingga membuatnya begitu berapi-api menahan emosi yang berkecamuk di dadanya. Pasalnya ini adalah kali pertama ia bertemu dengan orang yang dengan mudahnya mempertanyakan perasaannya terhadap adik kandungnya sendiri. Furqan masih cukup waras untuk tidak terlibat dalam hubungan sedarah seperti itu. baginya rasa sayang dan over protective yang dia tunjukkan kepada Fatimah adalah hal yang wajar. Pikirnya Navya adalah orang yang dapat mengerti akan hal itu, namun nyatanya pertanyaan merendahkan itu yang justru ia dengar dari gadisnya itu.
"Fur, maaf. Gue nggak bermaksud...." Ucapan Navya tiba-tiba saja menggantung ketika Furqan berdiri dari tempat duduknya.
"Mungkin emang baiknya hubungan ini nggak berlanjut. Buat apa gue jalani sisa hidup gue sama orang yang bahkan mandang serendah itu sama pasangannya. Gue nggak tau pikiran gila dari mana yang loe dapat sampai tega nanyain hal itu sama gue. Mulai sekarang, pertunangan ini dibatalkan. Gue akan ngomong langsung sama orangtua loe sebagai bentuk pertanggungjawaban gue."
Setelahnya Furqan benar-benar pergi dari tempat itu, sedangkan Navya tak berkutik. Kakinya sudah cukup lemas hingga tak sanggup ia gerakkan. Ia mematung. Ada bulir bening yang bergantung di pelupuk matanya namun enggan terjatuh. Seakan saat itu waktunya berhenti, dunianya runtuh, dan nafasnya tercekat. Semua impian manis yang telah ia untai satu demi satu dalam sekejap berakhir menjadi sebuah skenario yang tak pernah terwujud di dunia nyata. Impiannya hancur ketika Furqan memutuskan pertunangan mereka begitu saja. Jangankan kehidupan rumah tangga yang bahagia dan romantis, sedang gaun pengantin impiannya tak akan bisa ia kenakan.
Furqan tiba di rumahnya tepat sejam setelah meninggalkan Navya sendiri di cafe tempat mereka bertemu. Namun selama lebih dari 15 menit, ia tak bergerak sama sekali dari dalam mobilnya yang terparkir di halaman depan rumahnya. Ia baru bergerak ketika dari kejauhan dilihatnya Fatimah tengah duduk di sebuah kursi teras. Ia segera berlari kecil menghampiri sang peri kecil.
"Loh, kak Rama baru pulang?" bukannya mendapat jawaban, Fatimah justru terkejut karena kakaknya tiba-tiba langsung memeluknya erat. Fatimah tahu benar jika bertanya sekarang, ia tidak akan mendapat jawaban apapun. Ia memilih membalas pelukan kakaknya.
Dr. Farhan yang melihat tingkah putra sulungnya itu awalnya penasaran dan ingin menghapiri Furqan. Ia tahu benar Furqan hanya akan bertindak seperti itu saat tengah memendam beban berat. Namun hal itu dicegah oleh sang istri.
"Biarin dulu Furqan tenang. Dia pasti punya masalah berat hari ini."
"Rasa sayang Furqan ke Fatimah terlampau besar. Di satu sisi aku bahagia, tapi di sisi lain aku juga khawatir kalau pada akhirnya mereka akan terus-menerus saling bergantung."
"Bukannya itu justru lebih baik? Kalau mereka saling bergantung, kita nggak perlu khawatir kalau suatu saat nanti kita udah nggak bisa lagi dampingi mereka kan? Karena mereka pasti bisa saling menjaga."
"Kamu benar. Furqan cerita sama kamu soal masalahnya?"
"Iya, tadi pagi dia cerita. Itu masalah dia sama Navya. Navya permasalahkan kedekatan Furqan sama Fatimah. Dia merasa kalau kasih sayang Furqan ke Fatimah buat dia tersisih."
"Itu alasannya aku selalu bersyukur karena memilih kamu menjadi istriku."
"Kenapa?"
"Karena kamu selalu berusaha dengna ikhlas menerima kondisi keluargaku tanpa menuntut apapun. Padahal pasti beban mental saat seorang gadis muda dengan karir cemerlang memilih menikahi seorang duda beranak satu yang dicampakkan istrinya dan rela mengorbankan karirnya."
"Aku milih kamu karena aku yakin kamu orang yang paling tepat buatku. Dan aku menerima tanpa banyak menuntut, karena buatku, aku sudah menerima terlalu banyak dari kamu. Furqan dan Fatimah, keluarga yang bahagia, apalagi yang perlu aku tuntut dari kamu?"
"Waktu?"
"Selain kewajiban sebagai suami dan ayah, kamu juga punya kewajiban terhadap masyarakat sebagai seorang dokter. Aku nggak bisa egois dengan memaksakan egoku kan?"
Dr. Farhan tersenyum mendengar jawaban dari istrinya. Memang benar, sulit menemukan seorang perempuan selembut dan setulus istrinya itu. Dan sosok seperti itulah yang dibutuhkan oleh Furqan.
TO BE CONTINUED