Awan mendung di langit gelap perlahan berlalu bersama badai, beberapa bintang masih dapat terlihat di angkasa dengan bulan kelabu yang juga ikut memudar.
Suara tetesan air yang berjatuhan dari ranting dan dedaunan pohon memberi suasana tenang dan sejuk dalam hutan rimbun yang di kelilingi pohon tinggi, embun air nan awalnya beterbangan bersama sepoyan angin sekarang perlahan menguap pudar seiring cahaya mentari yang mulai menyusup lembut dari sela-sela dedaunan rimbun.
Viona dan Ilya tampak menghangatkan diri di depan perapian api unggun sembari mengeringkan jubah mereka yang basah kuyup akibat badai ganas kemarin malam.
Mereka semua berhasil melewati perbatasan antara kekaisaran dan kerajaan Leon, dan kini mereka beristirahat di area kaki gunung yang juga hutan besar.
"Selanjutnya ... kita akan berpisah di tempat ini." Maltrice menunjuk ke arah lembar perkamen, kemudian menambahkan, "Setelah dari sini tak akan ada lagi halangan yang mungkin menanti."
Maltrice memberikan petunjuk mengenai medan wilayah kerajaan Leon, dan tempat apa saja yang harus mereka lewati maupun hindari kepada Dmitry selaku sebagai ketua kelompok.
Mereka berdua duduk bersama dan berdekatan di atas sebuah bekas batang pohon yang sudah patah— sambil menghadap ke arah perapian yang sama dengan Ilya dan Viona.
"Aku mengerti garis besarnya, tetapi—" Dmitry kemudian menoleh ke arah sampingnya, di mana ada figur dengan jubah hitam dan topeng yang menutupi identitas mereka.
"Aku tidak enak mengatakan ini, apakah semua bawahanmu itu memang seperti itu? Mereka terlihat seperti patung, diam tak bergerak maupun bicara," sambung Dmitry.
Maltrice mungkin lupa menjelaskannya, jadi mungkin ini kesempatan yang bagus untuk menjelaskannya.
Kelima orang itu adalah unit assasin yang berada di bawah komando langsungnya. Mereka semua sejak awal telah dilatih untuk tidak bicara bahkan jika mereka diancam untuk dibunuh sekalipun. Mereka adalah prajurit yang hanya mendengar perintah, dan melaksanakannya jika menerima perintah.
"Woaah, seram." Wraan yang juga ikut mendengarkan dari belakang, menanggapi dengan wajah penuh ketertarikan.
"Jadi begitu, ternyata kekaisaran kalian memiliki pasukan yang seperti itu?"
Menanggapi respon datar Dmitry, Maltrice menjawab, "Benar. Aku yakin juga, Imperium Britania, bahkan mungkin memiliki pasukan yang jauh lebih kejam dari kami."
"Itu berlebihan, tuan Maltrice."
"Hmm." Maltrice hanya mendengus sambil bergumam.
"Jadi, Jenderal Maltrice, kau akan bersama kelompok mana?" tanya Dmitry menatapnya.
"Aku tidak akan ikut siapa-siapa."
"Apa maksudmu?"
"Maafkan aku, tuan Dmitry, aku tidak bisa terlibat masuk bersama kalian. Tugasku di sini hanya mengantarkan kalian masuk ke negeri ini, sisanya akan bergantung dengan kalian. Aku masih memiliki sesuatu yang harus dikerjakan, kuharap anda mengerti." Maltrice menundukkan wajahnya atas rasa penyesalannya.
Dmitry menghela napasnya, ia masih terganggu akan rupa dibalik topeng seram yang menutupi sosok Maltrice. Karena ia tidak tahu sedang memasang ekspresi seperti apa Maltrice sekarang.
Dmitry lalu beranjak dari duduknya dan melambai lembut dari jemari kanannya yang menekuk-nekuk memberi kode isyarat pada Ilya dan Viona agar mendekat.
"Kemarilah, kalian berdua."
"Ada apa?" sahut Ilya saat menghampiri Dmitry bersama Viona.
Dmitry lalu menunjukkan lembar peta wilayah yang akan ditelusuri ke hadapan mereka dan memberikan arahan.
"Setelah melewati desa ini, kita akan berpisah di sana. Ambil peta ini, kalian berdua akan bergerak bersama ... dan misi kalian hanyalah menghabisi seluruh orang yang berkaitan dengan Unhuman di markas Utara dan jangan tinggalkan jejak apapun." Dmitry lalu menyerahkan lembaran kertas dari peta tadi kepada Ilya.
Ilya menerimanya lalu terdiam sejenak, wajahnya terkesan tenang dengan tatapan datar, namun pikirannya sedang berkata lain.
"Tempat ini tidaklah terlalu jauh dari tempat sekarang, dia sengaja memberikan kami keringanan pada misi ini ... entah kenapa aku malah meragukannya sekarang."
"Kita akan bertemu kembali di titik merah yang telah kutandai di dalam peta itu, mari kita lakukan seperti biasa ... regu pasukan khusus pemburu kerajaan Britania, the Black Mantle." Dmitry tersenyum sambil mengulurkan tangannya ke depan.
Ilya dan Viona juga ikut mengulurkan tangan dan memberi salaman kepalan tangan yang mereka hentakkan serentak.
Maltrice menatap mereka sambil menghembuskan napas beratnya yang mengeluarkan kepulan asap dari rongga-rongga deretan bentuk gigi di topengnya.
"Semoga beruntung, tuan dan nona sekalian." Suara halus dalam benak Maltrice.
...
Di tengah hamparan tanah lapang nan luas dengan dikelilingi rerumputan hijau serta bunga-bunga nan menebarkan serbuknya ke udara seraya sepoyan angin menerpa, terlihat Dmitry dan Wraan berhenti sejenak selagi mengistirahatkan kaki kuda mereka yang lelah berlari.
Dmitry memegang lembar perkamen yang di atasnya terukir gambaran sebuah peta dari wilayah ini. Dia sudah menyadari tempat tujuan berikutnya, sebuah kota di tengah kerajaan ini— pusat ibu kota kerajaan Leon. Yang di mana tempat itu akan menjadi lokasi bersinggahnya Wraan Moon'rheouws
Walau merasa repot dengan tingkah laku Wraan sepertinya Dmitry tidak terlalu memedulikannya. Yang penting dia harus pergi ke sana dan pergi meninggalkannya. Misi dia adalah mengantar orang itu ke ibu kota agar dia bisa melakukan tugasnya. Sementara Dmitry, akan pergi ke tempat berbeda di wilayah Timur dari sini. Setidaknya begitulah rencananya.
Selagi Dmitry berdiri tak bergerak melihat petanya, Wraan bersandar pada sebuah pohon dan memandangi langit berawan yang bergerak bersama hembusan angin. Dia bisa bersantai— sementara mengawasi kedua kuda mereka yang tertambat di batang pohon di belakangnya.
Wraan kemudian menoleh ke arah Dmitry yang berdiri dengan elegan di tengah padang rumput. Dia kemudian berkata,
"Hei, hei, tuan Dmitry? Halo? Tuan Dmitry?"
Dmitry tidak menghiraukannya karena menganggap akan repot meladeninya. Lagi pula, dia sedang sibuk dengan terus mempertahankan mata sihirnya untuk mengawasi beberapa tempat. Ini adalah salah satu kemampuan mata sihir Dmitry yang memungkinkan dia melihat area yang jauh dari dirinya dengan memanfaatkan objek hidup.
"Ahh ... membosankan. Hoii ... apa kau masih lama?"
"Dengar, Wraan. Jangan berbicara padaku, aku sedang sibuk."
Wraan mengalihkan pandangan ke langit biru di atasnya sambil menghela napas sejenak, lalu kembali berkata,
"Ahh, aku tau kesan pertama kita memang sangat buruk, tapi jangan bersikap begitu ... aku hanya ingin kita akra—"
"Nah, Wraan, apakah wajahku terlihat peduli menurutmu?"
"Mm, sayangnya tidak."
"Kalau begitu diamlah dan biarkan aku melakukan sesuatu sebentar."
"Maaf, maaf. Tapi, bukankah arah kota Rellyon itu ada di depan sana? Mengapa kau masih sibuk mencari arah? Aku bisa menunjukkanmu jalannya."
"Bukan urusanmu. Dan juga jangan bicara kepadaku."
"Ahh, kau ini ketus sekali."
...
Kota Rellyon, kerajaan Leon.
Sinar matahari yang menembus celah-celah rumah menandakan aktifitas yang semalam tertunda kembali dimulai. Sebagian orang sudah sibuk dengan pekerjaan domestiknya. Dan sebagian lagi mulai mengobrol satu sama lain, melanjutkan kisah yang tertunda.
Kegiatan jual beli pun meramaikan aktifitas yang ada di kota ini. Suara penjual dan pembeli saling bersahutan satu sama lain. Masuk ke dalam telinga sebagai suara menggangu yang menguap begitu saja.
Sepasang orang asing dengan jubah hitam menutupi sekujur tubuhnya datang dari ujung jalan sambil menaiki kudanya dan melintas di antara kerumunan manusia. Membuat orang-orang yang tadinya sibuk menyingkir untuk memberikan jalan. Sebagian lagi menunduk, tidak berani menatap orang mencurigakan itu.
Suara derap langkah kuda seakan menjadi alarm kematian, berjalan cepat seiring degup jantung. Beberapa orang memberikan tatapan kebenciannya, dan sisanya menunjukkan rasa takut akan keberadaan dua orang asing itu.
"Hei, Dmitry ... apa perasaanku saja, atau kita memang menjadi sorotan sedari tadi? Orang-orang di sini tampak aneh," bisik Wraan sambil sedikit menunduk.
Dmitry hanya diam, bola matanya berkeliling secara tajam dari balik bayangan tudungnya nan menutupi kepala. Wraan menghela napas karena tak dihiraukan kembali oleh Dmitry.
"Huuhh ...."
Wraan lalu menoleh ke kirinya dan melihat ibu-ibu yang menggendong anaknya dengan raut wajah ketakutan berlari di antara lautan manusia seolah menghindari seseorang.
"Sembunyikan anak-anak, cepat!"
"Sial, padahal baru kemarin mereka telah mengambil anak-anak di kota ini!"
Kerumunan orang saling berbisik dan heboh sendiri menjulidi keberadaan Dmitry dan Wraan.
"Ini semua gara-gara raja sialan itu!"
"Hei, jaga bicaramu! Mereka nanti dengar."
Seiring langkah mereka bergerak pelan menuju tujuan, beragam pendapat yang dilontarkan masyrakat sekitar dalam bentuk bisikan keras terus terdengar oleh Dmitry.
"Negeri ini sudah parah sekali, tak ada harapan di mata mereka, ketidakpercayaan mereka kepada pemerintah sepertinya sudah bukan hal biasa lagi di sini. Ketika seorang pemimpin bodoh yang memimpin negeri emas nan makmur sekalipun akan runtuh karena bawahan yang pintar pun akan tidak berguna di bawah kepemimpinannya. Maka hal inilah yang mungkin terjadi di tempat ini," gumam Dmitry.
Beberapa menit kemudian, Dmitry dan Wraan telah memasuki tempat dari kawasan besar di kota ini. Jalanan di tempat ini tersusun dari batuan beton berbentuk persegi yang membentang lurus ke depan. Tempat ini begitu bersih dan hening, tak terlihat seorangpun ada yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Bangunan rumah di sini tampak begitu besar dengan khas seni buatan Eropa.
Di ujung pandangan mereka, Dmitry dan Wraan sudah dapat melihat puncak atap dari istana megah yang berdiri di tengah pusat kota Rellyon. Deretan kubah hijau melancip ke atas dengan beberapa menara tinggi yang berdiri di sekelilingnya.
Dmitry memerhatikan sekitarnya, hanya kesunyian dan sisa dedauan yang tertinggal di sudut jalanlah yang didapat.
"Mencurigakan ...." Dmitry lalu menaikkan syal hitam yang ada di lehernya untuk menutupi batang hidung dan mulutnya.
"Dmitry, tempat yang akan aku tuju adalah ... istana kerajaan Leon, kau akan ikut denganku sebentar." Suara Wraan terdengar serius mengucapkannya, ia mendadak merubah nada bicaranya menjadi tenang, sangat berbeda jauh dari sebelumnya.
"Huh? Bukankah kesepakatannya adalah—"
"Turuti saja perkataanku." Wraan dengan suara rendah memotong perkataan Dmitry, dan dia menoleh dengan lirikan yang tajam dari sudut matanya.
Iris matanya berubah merah menyala.
Melihat itu Dmitry merasa janggal, ia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan orang ini dari dirinya.
"Katakan sekarang, jika ada hal yang masih kau sembunyikan dariku ... sebaiknya kita bicarakan saja di sini, karena suasana hatiku sedang tidak bagus." Dmitry menarik tali kendali kudanya, dan mereka pun berhenti di tengah jalan.
Wraan ikut berhenti dan tak bergerak— lalu berpaling menghadap Dmitry dengan menatap tajam dari atas tunggangannya. Mereka berdua saling menatap satu sama lain di tengah jalanan penuh keheningan.
Mendadak sepoyan angin bertiup kencang, mengibarkan jubah di tubuhnya mereka— dan dedaunan kering terangkat ke udara melewati jarak di tengah-tengah mereka.
Kuda hitamnya tiba-tiba meringkik sambil menggoyangkan kepala, merasakan tekanan tidak nyaman dari tuan yang menunggangi punggungnya. Dmitry di sini seakan membawa suasana ini menjadi mencekam— dengan hawa dingin yang suram.
Wraan sedetik kemudian tersadar untuk harus segera bicara.
"Ada sesuatu yang harus kau lihat di sana. Ini bukanlah jebakan. Justru, ini akan mengubah pandanganmu akan pilihan yang telah kau ambil selama ini, Dmitry. Misiku— menunjukkanmu kebenarannya, kemudian menghancurkan tempat ini setelah kau mengetahuinya."
— Apa maksudnya ... itu? Aku tidak merasakan aura darinya yang menunjukkan keraguan dan kebohongan dalam nada ucapan itu. Dmitry memikirkan itu selagi menatap tajam Wraan.
Dmitry kemudian menggenggam erat tali kudanya dan menariknya, kuda tunggangan itu pun kembali berjalan maju.
Dmitry lalu melirik tajam ke arah langit di atasnya untuk sesaat dan kembali menunduk lagi.
"Pilihan yang kau ambil saat ini telah tepat, Leonardo Dmitry. Kau boleh membunuhku jika kau meragukan apa yang kuucapkan." Wraan ikut berpaling setelah dilewati oleh Dmitry yang berjalan pelan.
"Aku tidak mengerti kenapa, tapi aku merasa harus mengikuti apa yang kau ucapkan untuk saat ini."
"Tujuanmu juga tujuan kami, apa yang kau cari akan kau ketahui darinya," ucap Wraan dengan dingin.
"Jangan mengikuti cara bicaraku, dasar badut."
Wraan menyengir dengan ekspresi pahit mendengar tanggapannya.
Kemudian, mereka berdua pergi menuju sebuah istana di tengah-tengah kota.
... ... ...
Dia memasuki koridor yang luas dalam diam. Sebuah tempat penuh keagungan dan kemegahan, mengingatkan akan sebuah kastil raksasa berbalut marmer.
Tergantung di langit–langit yang tinggi, terdapat banyak kandelar (tempat lilin) yang memancarkan cahaya hangat dan lembut. Lantai koridor yang halus memantulkan cahaya dari kandelar tersebut, bersinar indah layaknya sebuah mosaik bintang–bintang. Jika pintu yang berada di sepanjang koridor itu dibuka, perabotan mewah yang ada di dalamnya akan membuat takjub setiap mata yang melihat.
Sungguh pemandangan istana yang mengagumkan. Namun, anehnya, hampir tidak bertemu siapapun di sepanjang perjalanan di dalam istana sebesar ini.
Dmitry tampaknya sudah mengerti akan situasi ini. Bagaimanpun juga, sorot matanya yang santai dan dingin itu sudah memberitahukan kita apa yang dia sembunyikan sebenarnya.
Berjalan di depan Leonardo Dmitry adalah, Wraan Moon'rheouws. Seorang pria yang hanya tertarik dengan pihak yang lebih berkuasa. Dia bukanlah orang dengan keinginan banyak, tapi dirinya akan melakukan apapun untuk memuaskan nafsu dan keegoisan dirinya.
Wraan tiba di depan sebuah pintu yang cukup besar, dan dia sejenak berhenti seraya menarik napas sebelum menarik pintunya dengan kuat.
Ketika pintunya yang besar terbuka, tampak sebuah ruangan panjang dengan sejumlah pilar di sisi kiri dan kanan, serta sebuah kursi singgasana di atas lantai yang tinggi di ujung ruangan. Jendela besar di langit-langit menyinari area tengah ruangan, dan berdiri di bawah cahaya itu adalah seorang pria berambut hitam dengan mengenakan mantel hitam seperti jubah militer.
Pria di sana tampaknya sedang memandangi kaca jendela besar yang terpajang di dinding— tepat di belakang kursi singgasana. Jendela besar itu dilihat bagaimanapun juga, cukup menarik perhatian. Yang terukir di kaca jendela itu adalah sebuah lukisan, memiliki gambaran seperti makhluk setengah manusia dengan sayap terbuka lebar— kepala dari makhluk itu tidak ada— melainkan di sana digantikan dengan simbol seperti bintang dan bulan— dan kedua tangan yang terbentang, di atasnya mengambang lima batu bercahaya.
Mendengar suara deritan pintu sebelumnya— dia sama sekali tidak menunjukkan reaksi apapun maupun menoleh ke belakangnya. Seolah mengerti siapa yang datang ke ruangannya, pria ini menyunggingkan senyuman tipis dan irisnya yang tajam melihat dari sudut matanya.
"Aku sudah menunggu kedatanganmu, Leonardo Dmitry."
Leonardo Dmitry, awalnya hanya menunjukkan ekspresi setenang air tak beriak. Namun, ketika matanya sehabis berkedip, sorot setajam pedang terpancar dari tatapannya.
"Jadi begitu. Kau masih hidup ... Mitidral?"